Oleh : Samsul Nizar
Demikian nyatanya apa yang diberitakan Rasulullah melalui peristiwa isra’ dan mi’raj melalui i’tibar pemandangan neraka “tatkala seorang ahli neraka memakan bangkai, padahal di sampingnya ada makanan daging yang segar dan menyehatkan namun dibiarkan saja”. Sebuah i’tibar yang disampaikan Rasulullah pada lebih 14 abad yang lalu. Sebuah i’tibar bahwa kesenangan memangsa saudara sendiri menjadi trend padahal ada pilihan lain yang lebih baik dan bijak dalam membangun persahabatan dan membangun peradaban bangsa yang beradab.
Informasi dunia era millenial menjadi aneh tatkala berita buruk (negatif) menjadi informasi menarik untuk disaji, cepat tanggap, tak perlu biaya, asyik diperbincangkan diberbagai sudut dan tempat, dan banyak yang membacanya. Sedangkan berbagai informasi baik (positif) menjadi informasi yang kurang (bahkan tidak) menarik untuk disajikan, konsumsi yang tak menarik dibaca, memerlukan biaya untuk diinformasikan, tidak menarik untuk diperbincangkan, dan hanya sedikit orang membacanya. Fenomena ini menjadi aneh dan bertolak belakang bila dikaitkan dengan budaya dan ajaran agama. Apakah hal ini menjadi indikasi hilangnya budaya dan agama era millenial pada tataran substansial atau era millenial tak lagi memerlukan budaya dan agama karena sudah tergerus oleh gaya hedonisme materialistik.
Dalam perspektif hamba Allah, manusia tak ada yang sempurna. Ketidaksempurnaan dimaksud adalah agar manusia sadar akan kehambaannya dan saling melengkapi antara sesama hamba atas ketidaksempurnaan tersebut. Dalam konteks ini, ketidaksempurnaan bukan berarti mencari celah untuk mencari kesalahan. Bila dicari kesalahan, malaikat pun ada kelemahan karena tak punya nafsu. Bahkan dalam ajaran salah satu sekte Syiah mengatakan bahwa malaikat Jibril dikatakan “salah alamat” menyampaikan wahyu pada nabi Muhammad. Padahal sebenarnya malaikat Jibril seharusnya menyampaikan wahyu tersebut kepada Ali bin Abi Thalib. Bayangkan begitu angkuhnya manusia mencoba merubah skenario Allah dengan keinginan nafsu dan rasionalnya. Sudah demikian parahkah manusia millenial ?
Benar yang digambarkan pada untaian pribahasa antara “watak dan watuk (bahasa Jawa = batuk). Bila watuk (baca : batuk) bisa diobat, namun watak seseorang sangat sulit dirubah apalagi diobati. Watak terbentuk dari akumulasi interaksi fisik dan psikis
(dominasi positif atau negatif) yang mengkristal menjadi kepribadian seseorang. Bila demikian, dimana akar persoalan dan bagaimana cara mengurai persoalan guna mencari solusi membangun watak anak bangsa yang mencerminkan watak bangsa berbudaya dan beragama ? Sebuah pencarian yang sulit dicari simpul persoalannya. Bagai lingkaran setan yang dikomandoi oleh penghulunya.
Namun, fenomena ini perlu mendapat perhatian dan menjadi pemikiran bersama. Sebab, bila tidak dimulai mencari formulanya, maka akan berpengaruh pada kehidupan berbangsa. Bila dibiarkan, tradisi mencari kesalahan orang lain akan menjadi “lapangan kerja baru” yang menjanjikan. Informasi keburukan orang akan mendongkrak rating dan akan banyak pula iklan masuk karena meningkatnya daya beli. Sementara melihat kebaikan orang lain menjadi hal yang sirna dan tak perlu dilihat sama sekali, sebab tak memberi keuntungan finansial sama sekali.
Tatkala dibangun dalam ajaran tauhid bahwa Allah sebagai sang pemilik kehidupan lebih dominan melihat kebaikan ketimbang keburukan hamba. Hal ini terlihat tatkala Allah melipat gandakan kebaikan sesorang, sedangkan di sisi lain melihat keburukan
sesuai timbangan tanpa melipat gandakannya sama sekali. Di sini terlihat begitu Allah mencintai dan mengajarkan hamba dengan ajaran yang benar. Bila hamba tidak memperhatikan dan mengikuti yang diajarkan Allah, maka hamba akan menjadi tuhan diatas Tuhan. Kondisi ini akan membetuk sikap merasa paling benar dan suci bahkan di atas Allah Yang Maha Benar dan Suci. Lalu, apakah masih mengharapkan surga Allah ? Atau sudah tak perlu lagi karena manusia sudah menganggap mampu membuat surga sendiri. Na’uuzubillahi min dzsalik…
Wa Allahua’lam bi al-shawwab
Bandung, 11 Agustus 2018