Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag (Ketua STAIN Bengkalis)
Munculnya sosok pemimpin lahir minimal dalam 2 (dua) model, yaitu melalui pengangkatan oleh kelompok elite dan melalui kepercayaan publik. Meski keduanya pada tataran aplikasi saling diperlukan, namun mekanisme pengangkatan model pertama sangat riskan bila menafikan model kedua.
Meski ada beberapa bentuk pengangkatan melalui hak prerogatif yang dimiliki kelompok elite, namun perlu memperhatikan “suara publik” atas sosok pemimpin (pejabat) yang akan diangkat. Hak prerogatif bukan hak mutlak yang bersifat otorisasi elite, tapi hak mengangkat dengan mempertimbangkan banyak hal, terutama “suara publik” pada akar rumput sebagai kelompok yang akan dipimpin.
Acapkali pengangkatan yang dilakukan elite menafikan “suara publik”, baik pada aspek pemikiran maupun aspek psikoligis. Pengangkatan hanya melihat pada aspek pengenalan singkat melalui wawancara vis to vis ala pit and propher test tanpa melihat suara akar rumput.
Apatahlagi bila hanya menerima info sepihak dari kelompok yang ingin minta diangkat, akan sangat berbahaya atas institusi yang akan menerima pemimpin model ini. Lalu, siapa yang bertanggungjawab? Tentu pribadi pemimpin dan elite yang mengangkatnya. Lahirnya pemimpin ala model ini berakibat ketundukan vertikal pada yang mengangkatnya, namun bersikap arogan secara horizontal. Akibatnya, tak sedikit pemimpin yang lahir melalui mekanisme elite gagal diterima dan memperoleh kepatuhan secara ikhlas. Hal ini bisa dilihat pasca kepemimpinannya. Tak jarang, seorang pemimpin selama masa kepemimpinannya dihormati, namun pasca era kepemimpinannya diterlantarkan oleh publik.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 16 Agustus 2018