Oleh : Samsul Nizar
Ketua STAIN Bengkalis
Mata merupakan salah satu anugerah Allah yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Mata zhahir berguna untuk melihat fenomena zhahir bisa digunakan oleh orang awam. Namun mata zhahir bisa juga digunakan untuk menangkap makna disebalik fenomena bila digunakan oleh orang khawas.
Meski mata dapat melihat objek fenomena, namun bila digunakan oleh orang awam, mata bisa memunculkan informasi yang keliru. Kekeliruan tersebut bisa dipengaruhi banyak faktor, antara lain keakuratan mata menginformasikan, bias cahaya yang membantu mata memperoleh informasi, atau kebutuhan informasi yang diperlukan oleh yang memiliki mata.
Mata yang akurat dan sehat saja bisa salah dalam menangkap objek, apatahlagi bila yang melihat ternyata memiliki mata rabun. Sayangnya, yang memiliki mata rabun terkadang kukuh mengatakan kebenaran atas suatu objek, padahal sadar bahwa
matanya memiliki keterbatasan dan masalah. Fenomena kata rabun yang demikian justru banyak terlihat di era modern. Akibatnya, pembenaran atas persoalan yang salah dan menyalahkan persoalan yang benar acapkali terjadi.
Bila pemilik mata rabun zhahir bisa diminimalkan kesalahannya melalui alat bantu kacamata, namun bagaimana kalau yang rabun adalah mata hati dan akalnya. Belum ada obat zhahir ditemukan untuk mengobatinya.
Sikap pemilik mata rabun (makna mata hati dan akal yang rabun), acapkali melihat fenomena dan persoalan dengan kapasitas dan kepentingannya. Apalagi kalau kerabunan mata zhahir diperparah dengan rabunnya mata hati dan akal. Mereka tak peduli dengan kepentingan dan harga diri orang lain. Baginya, kebenaran hanya yang dilihat dengan kapasitas kerabunannya, bukan dilihat oleh banyak orang. Mereka tak peduli dengan standard kebenaran orang. Mereka hanya tau standard kebenaran atau kesalahan dalam kerabunannya saja.
Meski sunnatullah mengajarkan agar yg rabun berteman dengan yang tak rabun untuk menelusuri jalan kebenaran. Interaksi keduanya bagaikan organ tubuh yang saling berinteraksi dan melengkapi. Namun, apa jadinya bila keduanya tak saling melengkapi dan hanya memunculkan egoisme masing-masing yang merasa benar dengan standardnya masing-masing ? Sudah saatnya menyadari, bahwa bagi yang punya mata sehat untuk menuntun yang rabun. Sementara mata rabun, perlu menyadari kelemahannya untuk menerima tuntunan yang bermata sehat. Apalagi dalam waktu yang sama, baik yang bermata sehat dan rabun sama-sama menjernihkan mata hati dan akal masing-masing. Bila hal ini terjadi, maka kebenaran akan terlihat jelas untuk dipedomani dan kesalahan dijadikan pelajaran untuk saling memperbaiki. Begitu indah hidup tanpa kerabunan…
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 11 September 2018