Oleh : Samsul Nizar
Ketua STAIN Bengkalis
Hidup adalah kausalitas interaksi antara hamba dengan Allah dan antara sesama hamba (makhluk). Hidup bukan mono interaksi, akan tetapi multi interaksi. Seorang yang hebat karena ada bantuan dari sejumlah interaksi dan adanya individu yang tak berkualitas. Namun, kesemuanya harus berinteraksi harmonis, bukan membangun tembok strata yang menimbulkan ketidakharmonisan dengan baju keangkuhan.
Bila hidup ingin berkualitas dengan sejumlah prestasi berdimensi keummatan, awali hidup dengan menebar kualitas kekhalifahan. Berupaya menjadikan orang lain berkualitas akan mengkokohkan kualitas diri. Hidup bukan membangun kualitas pribadi dengan menghancurkan orang lain. Atau seseorang tak dikatakan hebat bila menjadikan diri hebat, namun pada waktu bersamaan membodohi yang lainnya.
Berbagi benih prestasi pada orang lain agar juga berprestasi akan lebih berarti. Dalam hidup ini, tatkala menebar benih kebaikan pada sesama, maka akan berbuah kebaikan bersama. Menebar benih prestasi pada sesama, maka akan berbuah prestasi bersama. Baginya, kehidupan yang berbagi kebaikan akan berbuah kebaikan. Kaca prestasi hidup bila orang cerdas bila mampu mencerdaskan orang lain, orang bahagia bila mampu membahagiakan orang lain, bahkan orang berhasil bila mampu mensejahterakan orang lain. Demikian indahnya bila hidup menebar kebaikan.
Berbeda dengan pola hidup makhluk berbudaya rendah. Mereka hanya ingin berprestasi sendiri tanpa mau disaingi, berkuasa sendiri tanpa mau melakukan pembinaan atas kuasa yang dimiliki. Menebar benih ketidakadilan, namun mengharap keadilan. Menebar benih kebencian, namun mengharap dihormati dan disayangi. Menebar benih keserakahan, namun mengharap kesejahteraan. Tipikal ini merupakan tipikal kepribadian Qobil. Menebar kejelekan, namun mengharap surga Allah. Jadilah diri bagai Habil yang memiliki kecerdasan mumpuni. Menebar kebaikan tuk mengharap posisi terbaik di hadapan Robbi.
Penebar benih kebaikan atau kebencian tak bisa dilihat pada tampilan asesoris lahiriyah. Bisa jadi tampilan bagai dewa turun dari kahyangan dan peradaban tinggi, namun sesampai di bumi ternyata hanya membawa benih keburukan dan kebencian angkara murka. Mungkin saja tampilan biasa nan kumal yang datang dari tengah sawah, namun benih yang disebarkan adalah padi berkualitas unggul, maka akan tumbuh padi bernas yang berkualitas. Hasil tanamannya bukan hanya dinikmati oleh manusia, namun semua makhluk Allah di muka bumi dapat merasakan manfaatnya. Orang yang mengukur dirinya mulia dengan kacamata kesalehan, namun melihat orang lain dalam kacamata hitam serba kesalahan, merupakan ciri pribadi kerdil yang mencoba menutupi ketidakmanpuan diri berprestasi. Prestasinya hanya kehebatan penuh propaganda provokatif dan miskin hasil.
Belajarlah dengan filosofi padi. Padi dikatakan berkualitas bila semakin merunduk. Merunduk padi merupakan bentuk kesyukuran (sujud) dan pengabdian pada Ilahi. Butiran bernas dipersembahkan untuk dinikmati seluruh makhluk guna menunjang fungsi kekhalifahan yang disandang. Jangan hidup berguru dengan ilalang. Berbunga putih tanpa aroma dan berdiri kokoh tanpa membawa berkah.
Begitu sulitkah untuk saling menghargai dan membantu sesama dalam berbagi karunia Allah ? Masihkah tersisa rasa dan asa untuk menjadi citra hamba yang membangun peradaban berdimensi kerahmatan ?
Wa Allahua’lam bi al-shawwab
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 16 Oktober 2018