Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Tak dapat disangkal, bahwa ramadhan merupakan bulan tarbiyah. Eksistensi ramadhan berupaya mencerdaskan manusia, baik IQ, EQ, maupun SQ. Pesan-pesan ramadhan hanya bisa ditangkap oleh hamba-Nya yang memiliki kecerdasan akal sehat.
Substansi ramadhan membangun kecerdasan akal sehat sesungguhnya memiliki kesamaan dengan “reformasi” yang secara hakiki mengembalikan akal cerdas anak bangsa pada posisi dan fungsinya. Namun, baik ramadhan maupun reformasi seakan gagal menempa manusia era now disebabkan mindset manusia terjebak oleh kehidupan glamour dan perangkap materialistik yg dominan.
Tatkala ramadhan memberikan kesempatan bagi umat memaksimalkan tadarrus al-Quran, sesungguhnya Allah memberi peluang agar manusia berdiskusi dengan Allah Sang Pencipta. Proses ini melahirkan kecerdasan imani yang menaikkan derajat hamba di hadapan Kholiq. Demikian pula era reformasi sesungguhnya memberikan anak bangsa untuk memperbanyak ruang diskusi guna mengembalikan akal sehat yang dimiliki pada posisinya yang sakral dan netral.
Apa yang diinginkan oleh ramadhan merupakan amanah Allah agar manusia mampu cerdas sebagai syarat kepantasan menjadi khalifah Allah di muka bumi. Pengejawantahan makna ramadhan sebenarnya dimiliki makna reformasi. Artinya, secara konstitusi NKRI menugaskan negara mampu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Upaya mencerdaskan bangsa tentu antara lain membuka ruang diskusi dan kritik konstruktif yang bertanggungjawab. Namun, sayangnya kritik seringkali dimusuhi dan dimaknai secara negatif (wujud ketidaksenangan), sehingga aura edukasi yang dicita-citakan oleh negara menjadi gagal.
Kecerdasan hari ini sedang mengalami ujian dikebiri oleh kekuatan kepentingan yang tak berakal. Akibatnya, literasi kebenaran menjadi membusuk dan menyebabkan manusia kekurangan fikiran. Pemilik kekuatan kepentingan berupaya menutupi kekurangcerdasannya dengan menggunakan kekuatan kekuasaan yang sedang dimiliki untuk memunculkan seolah-olah dia cerdas (pseudo intelektual). Ketidakcerdasan yang dimiliki diakibatkan oleh ketidakmampuannya mengungkap kebenaran dunia realitas dan metafora yang berkualitas dan dapat diterima oleh akal sehat.
Ketidakcerdasan di atas muncul akibat manusia gagal berfikir sehat. Untuk menutupinya, maka dilakukan upaya menghindari perdebatan ilmiah dengan alas akal sehat. Berbagai forum dan majelis hanya dikondisikan untuk melakukan doktrinisasi atau penyampaian program, bukan mengkritisi program agar lebih tepat guna. Kondisi ini menyebabkan nuansa forum dan majelis hanya media sosialisasi, reuni, refresing, cerita pepesan kosong dan publikasi, ungkapan syair kosong tanpa makna, dan sebagainya. Sandaran pembenaran acapkali ditumpahkan pada demokrasi (suara terbanyak). Padahal, demokrasi bukan hanya meletakkan suara terbanyak sebagai domain kuantitatif, akan tetapi juga kecerdasan akal sehat sebagai domain kualitatif.
Apakah ramadhan 1439 H akan berlalu sama dengan nasib reformasi ? Tak ada yang bisa menjawab tatkala akal sehat belum dikembalikan pada posisinya.
Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 12 Juni 2018