Kampus Melayu (humas) Bengkalis – Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkalis kedatangan 3 orang tamu peneliti dari kampus IAIN Purwokerto, Kamis (01/07/2019).
Kedatangan para peneliti di Kampus Malayu atas nama Dr. Supriyanto, Lc, M.Ag, Agus Sunaryo, M.S.I, dan Mawi Khusni Albar, M.Pd.I adalah dalam rangka melakukan Forum Group Discussion (FGD) penelitian mereka yang berjudul “Mencari Format Ideal Deradikalisasi Islam di PTKIN; Studi di STAIN Bengkalis, IAIN Purwokerto, dan UIN SUnan Kalijaga.
Sekitar 20an dosen dan pejabat di lingkungan STAIN Bengkalis hadir dalam FGD tersebut. Dalam sambutannya, Pembantu Ketua III STAIN Bengkalis, Wira Sugiarto, menyampaikan apresiasinya atas kehadiran para peneliti dari tanah Jawa, terlebih ketika model pembinaan kemahasiswaan di STAIN Bengkalis dalam upaya menangkal radikalisme di kalangan mahasiswa dijadikan objek studi dalam penelitian mereka.
Lebih lanjut Wira menjelaskan bahwa pencanangan STAIN Bengkalis sebagai kampus melayu belumlah final. Masih banyak agenda besar lainnya yang akan dilaksanakan guna memperkuat basis epistemologis proses “melayu” nisasi di lingkungan kampus STAIN Bengkalis. Harapannya, dengan mengintegrasikan budaya melayu yang moderat dan toleran dalam desain pembelajaran dan pembinaan mahasiswa, tidak ada lagi celah bagi radikalisme untuk berkembang di STAIN Bengkalis.
Merespon apa yang disampaikan oleh Pembantu Ketua III bidang kemahasiswaan STAIN Bengkalis, Supriyanto, selaku ketua peneliti menjelaskan bahwa pencanangan STAIN Bengkalis sebagai kampus melayu memiliki daya tarik akademis tersendiri sehingga dijadikan salah satu model deradikalisasi yang layak dikembangkan oleh kampus-kampus lain. Local wisdom yang banyak tersimpan dalam budaya dan nilai-nilai masyarakat melayu dapat dijadikan modal ampuh untuk mengajarkan moderatisme, toleransi, dan persatuan.
Pada sesi paparan penelitian, Agus Sunaryo menjelaskan bahwa munculnya radikalisme tidak bisa dipisahkan dari faktor, yaitu: 1) Faktor Metodologi dalam Memahami Agama, 2) Faktor Pemikiran, 3) Faktor Ekonomi, 4) Faktor politik, 5) Faktor sosial, 6) Faktor psikologis, dan 7) Faktor pendidikan. Melihat hal ini PTKIN tentunya bisa berkontribusi besar dalam rangka menekan berkembangnya paham radikalisme.
Lebih lanjut Agus menambahkan bahwa ketiga kampus yang diteliti setidaknya bisa merepresentasikan kebaradaan PTKIN di Indonesia, baik STAIN, IAIN, maupun UIN. Dalam konteks STAIN Bengkalis, tertangkapnya pelaku teror beberapa waktu lalu di Propinsi Riau dengan pelaku mahasiswa dan warga dari Propinsi Riau menjadi tantangan tersendiri bagi STAIN Bengkalis sebagai Kampus Melayu di satu sisi, dan bagian dari PTKIN yang dituntut mengajarkan nilai-nilai moderasi Islam.
Dalam sesi diskusi, H. Amrizal, Ketua MUI Kab. Bengkalis yang juga dosen di STAIN Bengkalis memberikan paparannya tentang bagaimana budaya melayu bisa bersinergi dengan ajaran Islam. Semboyan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, serta masyarakat melayu sebatih mencerminkan bagaimana eratnya relasi antara budaya melayu dengan ajaran Islam. Dan perlu ditegaskan bahwa Islam yang masuk ke daerah Melayu adalah Islam yang bercorak sufistik. Sehingga karakter yang toleran, menjunjung tinggi kebersamaan dan persatuan, serta mengakomodir budaya lokal begitu kuat. Agak aneh tentunya jika ada aksi pengeboman di Kantor Polda Riau dengan orang melayu sebagai pelakunya. Apalagi ketika motif pelaku dalam melakukan aksinya adalah sebagai bentuk perlawanan kepada para pemimpin yang dianggap kafir.
Menurut Slamet Mulyani, dalam konteks pembinaan mahasiswa, ada beberapa program yang mungkin bisa dikaji oleh para peneliti terkait bagaimana STAIN Bengkalis membangun budaya melayu dan membangun nilai-nilai Islam yang moderat. Slamet, yang juga merupakan salah satu pembina kemahasiswaaan di STAIN Bengkalis, mencontohkan bahwa dari sisi simbol, mahasiswa dan bahkan seluruh civitas akademik STAIN Bengkalis menerapkan program wajib berpakaian adat melayu dan berbahasa melayu setiap hari rabu. Selain ini, dalam setiap perkulian dosen diarahkan untuk selalu menyisipkan materi tentang budaya melayu kepada seluruh mahasiswa yang diampu. Penguatan materi keislaman yang moderat dilakukan dengan mengadakan kajian kitab turats (kuning) kepada mahasiswa, khususnya mereka yang tergabung dalam Lembaga Keagamaan Kampus (LKK). Kitab-kitab yang dikaji adalah kitab-kitab standar yang dipakai oleh pesantren-pesantren di pulau Jawa seperti, ta’lim al-muta’allim, adab al-‘alim wa al-muta’allim, arba’in nawawi, dan lain sebagainya.
Pembinaan terhadap mahasiswa dan mahasiswa yang terindikasi “radikal” juga terus dilakukan. Misalnya, ketika ada mahasiswa/I yang mengenakan simbol-simbol tertentu yang umumnya dipakai oleh kelompok-kelompok radikal, pihak kampus akan memanggil yang bersangkutan dan menanyakan motif serta tujuan mereka memakai simbol tersebut. Seandainya bertentangan dengan kode etik serta aturan kampus maka mahasiswa/I tersebut akan diminta untuk menyesuaikan. Namun jika yang bersangkutan tetap tidak bersedia mengikuti kode etik serta aturan kampus, maka pihak kampus akan meminta yang bersangkutan pindah dari STAIN Bengkalis.
Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa STAIN Bengkalis juga mengusung misi penguatan budaya melayu dan nilai-nilai Islam yang moderat. Mahasiswa KKN diminta untuk betul-betul bisa menunjukkan karakter sebagai kampus melayu sekaligus kampus STAIN. Artinya, mereka harus bisa memberi contoh kepada masyarakat bagaimana seharusnya orang melayu beragama Islam, dan sekaligus orang Islam yang hidup di masyarakat dan budaya melayu.
Di akhir sesi, pihak STAIN Bengkalis berharap agar hasil dari penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti dari IAIN Purwokerto bisa menambah khazanah keilmuan bagi kedua pihak, khususnya dalam upaya bersama-sama membentengi mahasiswa dan civitas akademik dari paparan radikalisme di Perguruan Tinggi. Jika ada beberapa peneliti yang menyebutkan adanya beberapa Perguruan Tinggi yang terpapas radikalisme, maka kedepan STAIN Bengkalis, IAIN Purwokerto, dan UIN Sunan Kalijaga bisa dijadikal role mode bagaimana sebuah Perguruan Tinggi kebal dari ancaman dan paparan radikalisme. FGD kemudian diakhiri dengan sesi foto dan jabat tangan antara para peneliti dan semua peserta.