Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadhiem Makarim, dalam sebuah acara yang muncul melalui you tube kembali menjelaskan langkah-langkah untuk menggenjot peningkatan kualitas SDM Indonesia. Langkah strategis adalah dengan pendekatan teknologi. Upaya menggandeng Google untuk mencapai tujuan tersebut perlu diberikan apresiasi. Melalui Google for Indonesia, Nadhiem meminta Google untuk memberikan prioritas untuk Indonesia. Melalui program ini, diharapkan Google dapat memberikan informasi teknologi di era 4.0. Teknologi diharapkan membentuk manusia unggul yang memiliki efisiensi dalam melaksanakan tugasnya. Arah untuk mengejar ketertinggalan negeri ini perlu merujuk pada pendidikan di negara-negara maju. Dari sisi teknologi, apa yang dikatakan Nadhiem ada benarnya. Meski ide tersebut bukan ide baru, namun kembali diapungkan oleh figur menteri, sehingga ide tersebut menjadi perhatian kembali.
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan setiap publik figur, apatahlagi sekelas menteri. Sungguh bijak bila publikasi yang berkaitan dipublikasikan secara utuh agar tak salah penafsiran bagi masyarakat. Bila publikasi dipotong dalam penggalan-penggalan, maka akan menyesatkan dan menimbulkan fitnah. Bila tak ingin dipublikasikan secara utuh info yang disampaikan, sebaiknya jangan dipublikasi. Semoga ada para punggawa medsos disekitar menteri yang secara cepat mampu memfilter dan meluruskan info bila ada yang keliru.
Nadhiem yang mewakili generasi milenial memiliki energi yang dinamis. Cetusan pemikirannya bernas. Namun, tatkala tanggungjawabnya sungguh berat membidangi pendidikan negeri ini, maka perlu didampingi dengan “jamu-jamu” dari para pemikir yang memiliki kemerdekaan intelektual. Sebab, terlalu banyak disuguhkan manisan justru kurang baik bagi negeri ini.
Hanya saja, ada beberapa catatan untuk tawaran di atas agar tidak kehilangan ruh bagi manusia Indonesia, antara lain : Pertama, ruh pendidikan beda dengan ruh pengajaran. Bila pengajaran hanya pada ranah kognisi dan bermuara pada skill. Penguasaan teknologi dengan berbagai vatiannya bisa menjadi standard ukur. Namun, bila pada tataran pendidikan, capaian ranah kognisi dan skill bagai tubuh tanpa ruh. Sasaran pendidikan mencoba mengisi sisi afeksi peserta didik dengan nilai-nilai, baik nilai agama, budaya, idiologi bangsa, dan lainnya. Penguatan ranah afeksi memerlukan “sosok ketauladanan” yang menjadi contoh sekaligus memperkuat afeksi. Dalam sisi ini, Google for Indonesia tak mampu melaksanakannya. Dimensi ketauladanan seorang pendidik tak bisa digantikan oleh teknologi yang bernama “Google”.
Kedua, dalam sebuah nasehatnya, Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-‘Utsaimi pernah berpesan “siapa gurunya adalah buku (termasuk teknologi *pen), maka kesalahannya jauh lebih besar ketimbang benarnya. Sebab, kitabnya para ulama adalah ulama itu sendiri”. Gagasan Google for Indonesia perlu diberikan rambu-rambu agar peserta didik jangan sampai lebih hormat pada google ketimbang guru.
Ketiga, dalam pengembangan teknologi, google for Indonesia perlu memahami idiologi, keragaman agama, budaya, adat istiadat yang ada di Indonesia. Perlu ada batasan bagi Google melakukan tugasnya. Jangan sampai apa yang disampaikan berbenturan dengan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan pengawasan atas info yang ditawarkan agar tidak merusak sendi-sendi yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia.
Keempat, manusia merupakan makhluk dinamis dan memerlukan perubahan yang lebih baik. Berbagai perubahan perlu dikaji secara komprehensif melalui kajian yang seksama sesuai kebutuhan. Perubahan dalam bentuk fisik bisa dilakukan secara revolusi. Akan tetapi, perubahan yang menyangkut wilayah psikis, hanya bisa dilakukan secara evolusi. Dalam al-Quran, Allah SWT menawarkan perubahan atas pengharaman khamar. Paling tidak, ada tiga periode Allah lakukan sampai benar-benar mengharamkan khamar. Demikian pula para wali songo melakukan perubahan keyakinan dan budaya animisme menjadi tauhid dengan proses yang panjang tapi konsisten. Melalui perubahan ini, tatanan psikologi masyarakat dapat terjaga. Begitu petuah para ulama, bagai pepatah “menarik rambut dalam tepung, rambut tak putus dan tepung tak berserak”.
Kelima, dalam pendekatan filsafat Islam, tak ada sesuatu yang bebas nilai. Semua yang dilakukan manusia sarat nilai, minimal nilai niatnya. Untuk itu, produk karya dan karsa manusia memiliki nilai yang meliputi dan mewarnai atas karyanya. Untuk itu, perlu tim yang mengevaluasi atas nilai-nilai yang ditawarkan oleh google melalui Google for Indonesia. Bila tidak, dikhawatirkan ada nilai yang dapat membahayakan generasi Indonesia.
Tanpa berpretensi negatif, tapi apa yang ditawarkan Nadhiem perlu diberi apresiasi positif. Gagasannya perlu didukung, sekaligus dikawal agar lahir SDM yang berkualitas dengan penguasaan teknologi mumpuni, namun juga kokoh pada bangunan karakter diri sebagai anak bangsa Indonesia yang bermartabat Pancasila. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab…
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 28 November 2019