Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag (Ketua STAIN Bengkalis)
Sesuai fitrahnya, manusia selalu ingin berubah dan berupaya melakukan perubahan (hijrah). Perubahan seyogyanya bersifat positif-religius. Namun, acapkali perubahan mengalami pergeseran nilai yang bersifat negatif.
Abad entertain menjadi era melakukan perubahan melalui pencitraan dengan modal media sosial. Media sosial bagai bom atom. Meski sang penciptanya membuat dengan tujuan mulia yang berdimensi kemanusiaan, namun pengguna ternyata belum siap tampil bijak sesuai harapan sang penciptanya. Bagai bom atom yang bertujuan mencegah peperangan, maka demikian pula media sosial. Meski awalnya bertujuan kemanusiaan dengan berbagi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan membangun silaturrahim. Namun, abad entertain merubah media sosial menjadi media informasi fitnah, hoax, dan pemutus silatirrahim. Pengguna medsos seperti ini memandang kebenaran dan kesempurnaan hanya miliknya atau kelompoknya. Di luar jaringan tersebut dianggap salah dan tak pernah benar. Kesemua ini dilakukan oleh segelintir pengguna medsos yang belum memiliki peradaban tinggi.
Demikian dahsyatnya abad asesoris melalui tampilan publikasi media sosial yang dikemas dengan kalimat teligius. Banyak dampak yang dirasakan dalam masyarakat. Masyarakat hari ini merupakan komunitas yang hidup dalam global yang sulit disatukan, namun mudah dibakar dan cepat menerima isu-isu yang tak jelas sumber dan tingkat kebenarannya. Media sosial membangun komunitas yang gampang kagum dengan ekspos berita dan sosok yang dilengkapi asesoris religi yang memukau. Kondisi masyarakat seperti ini dimanfaatkan oleh “ahli entertain” dengan membungkus berbagai isu yang “dijual” melalui media sosial yang disusun rapi. Anehnya, meski jualan palsu berkualitas sampah, tapi peminat yang ingin membeli bahkan mengkonsumsi jualan yang tak sehat tersebut semakin banyak. Abad asesoris yang menggunakan media sosial sebagai media transaksi publikasi kebenaran tunggal, tanpa mengindahkan kebenaran orang lain.
Seyogyanya, menghadapi abad entertain saat ini, masyarakat perlu memiliki filter dengan temperatur batin yang bergemuruh dengan tasbih pada Allah. Kekuasaan, ilmu, kekayaan, dan sebagai bila diemban oleh sosok yang memiliki temperatur batin yang berzikir, maka akan selamat dan mampu memberi manfaat. Tapi kekuasaan, ilmi, kekayaan, dan sebagainya bila dipegang oleh sosok yang tak memiliki iman, maka akan hancur. Bahkan, apalagi dilakukan melalui “selimut kemunafikan” yang menggunakan asesoris-asesoris berbagai bentuk kebaikan, padahal intinya hanya tipuan belaka menutupi bangkai diri. Perilaku ini akan berakibat fatal dan sangat membahayakan. Semua asesoris hanya menyilaukan mata peminat dunia asesoris-materialistik duniawi, tapi tak mampu membutakan hati pencari kebenaran hakiki Sang Kholiq.
Sungguh pilu abad entertain. Sebab, demikian mudah manusia mempublikasikan diri sebagai sosok pemilik kebenaran tunggal. Di sisi lain, sungguh mudah pula mengatakan manusia lain salah. Abad entertain acapkali membangun keangkuhan dan kedengkian. Bahkan, abad entertain menjadikan manusia melampui “Tuhan” dengan menghukum manusia lain karena berbeda kepentingan.
Hadirnya abad modern menyediakan berbagai fasilitas manusia memiliki peradaban tinggi sebagai pengejawantahan insan kamil. Namun, dengan berbagai kemampuan manusia modern menggunakan abad asesoris, justru sebaliknya menjadi serigala berbulu domba yang ganas. Sungguh tinggi filosofi pepatah leluhur dengan bahasa metafor tersebut. Ternyata, pepatah leluhur seakan mampu membaca tabiat manusia ke depan.
Semangat Tahun Baru Hijrah
Melihat fenomena abad asesoris di atas, sungguh tepat bila semangat tahun baru hijrah (1 Muharam 1441 H) dimaknai untuk cermin diri melakukan perubahan positif. Semangat hijrah yang dilakukan Rasulullah sungguh berdimensi murabbiy. Banyak pelajaran yang ditampilkan Allah melalui peristiwa tersebut, antara lain :
Pertama, tinggalkan asesoris keshalehan namun sebenarnya membiakkan kesalahandan kepongahan. Era hijrah meninggalkan atribut strata dan keshalehan asesoris menuju keshalehan substansi.
Kedua, membangun solidaritas dan silaturahim kelompok muhajirin dan anshor dalam ikatan Islam. Mereka hidup rukun oleh semangat ajaran Islam.
Ketiga, menuju tauhid hakiki dan meninggalkan kepercayaan nenek moyang yang sinkretik. Anehnya, abad asesoris masih mempraktekan kepercayaan sebelum Islam untuk memperoleh apa yang diinginkan. Lagi-lagi pergeseran makna hijrah Rasulullah pada manusia abad asesoris.
Keempat, menghancurkan asesoris diri dengan atribut-atribut yang mengarah pada kesombongan menuju tawadhu’ dan akhlak yang diajarkan Rasulullah, baik pada dimensi ibadah, kehidupan, maupun kepemimpinan. Sebab, meski manusia bisa ditipu dengan asesoris, namun Allah tak pernah bisa ditipu.
Kelima, semangat tahun baru hijrah adalah perubahan sesuai ajaran Islam. Bukan menjadikan agama dengan berbagai asesoris sebagai “alat” untuk mendustai sesama (Q.S. al-Ma’un : 1).
Semoga kita terselamatkan dari abad asesoris dengan atribut agama sebagai pakaian untuk membenarkan diri. Hijrah secara substansi yang sebenarnya perlu dilakukan untuk terhindar dari kenistaan yang dibungkus tampilan asesoris religius dan medsos kenestapaan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 02 September 2019