Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Era milenial yang begitu maju telah menghampiri sisi kehidupan manusia modern. Sasarannya bukan hanya pada generasi Z, akan tetapi juga pada generasi beberapa tingkat di bawahnya. Demikian era milenial mempengaruhi kehidupan dan kadang merubah kebudayaan. Namun, era milenial ternyata masih menyisakan beberapa ruang kelemahan. Di antaranya menjadikan manusia berbudaya “instan” dan tampil kurang bijak dalam memainkan perannya di pentas kehidupan. Kelemahan tersebut ikut mempengaruhi arah logika dan hati manusia.
Katakanlah agenda Munajat 212 yang diselenggarakan di Monas pada tanggal 21 Pebruari 2019, menampilkan puisi Neno Warisman yang berisi doa nabi tatkala Perang Badar agaknya kurang tepat digunakan pada kondisi saat ini. Meski puisi tak bisa dilihat dari sebatas teks, tapi jauh melampaui batas-batas imajinasi, namun tak semua yang mendengarkannya mampu memahami sesuai dengan maksud pengarangnya. Wajar bila kemudian menimbulkan polemik dan pro-kontra. Sebab, baik pada tataran konstelasi politik pada Pilpres 2019 maupun situasi Indonesia secara umum tidak tepat menggunakan puisi tersebut. Sayang bila doa yang dimunajatkan baginda Rasulullah mengakibatkan umat terpecah dan saling menghujat. Padahal, doa tersebut justru memohon persatuan umat Islam dalam bingkai persaudaraan, bukan saling menghujat demi kepentingan sesaat.
Apa yang diperlihatkan genarasi di bawah genarasi Z ini kurang bijak ditampilkan, sebab akan berpengaruh pada pola fikir dan budaya genarasi Z, generasi milenial era 4.0. Sebab, kita perlu mempertontonkan keanggunan karakter bangsa yang perlu diwariskan pada generasi milenial. Bila kita gagal memberikan tontonan politik yang bisa menjadi tuntunan, maka bisa dibayangkan bagaimana karakter generasi bangsa ke depan.
Di sisi lain, budaya milenial yang mampu menembus ruang dan waktu acapkali dijadikan media menyebar kebencian dan fitnah. Seyogyanya, kita bijak memilih pola kesatunan yang lebih mendidik. Jangan sampai para politisi, praktisi, dan apa pun posisi kita saat ini justru berhadapan dengan generasi milenial era 4.0, tapi pengambilan media era 3.0 dengan pribadi yang membericontoh justru dengan karakter era 2.0. Alangkah naifnya bila hal ini terjadi. Tatkala kita berharap adanya perubahan, maka perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
Bila ingin politik santun, maka gunakanlah kesantunan dalam berpolitik. Bila ingin generasi 4.0 memiliki karakter mulia dengan keperibadian luhur bagsa, maka.seluruh elemen bangsa (penentu kebijakan, pendidik, orang tua, dan masyarakat) perlu menampilkan karakter luhur dalam berprilaku sehingga menjadi contoh dan tuntunan bagi generasi milenial. Tradisi saling menyalahkan bukanlah cara bijak untuk menyatakan diri benar. Sebab, menjadi orang benar adalah baik, namun merasa paling benar justru bukan sikap terpuji untuk ditonjolkan.
Sudah saatnya anak bangsa Indonesia yang memiliki budaya luhur melakukan perubahan dalan berprilaku. Saatnya pintu logika harus berada lurus dengan pintu hati. Hati yang suci akan mewarnai logika. Sedangkan logika yang bijak akan melahirkan prilaku yang berakhlak. Demikian pula sebaliknya, akhlak yang tak terpuji lahir dari logika yang tersumbat dari kebenaran hati yang tak akan bisa dipungkiri.
Semoga dentuman era 4.0 membuat kita semakin sadar untuk memberikan tuntunan pada generasi milenial dengan tuntunan yang beradab. Tak ada manusia yang luput dari kesalahan, namun upaya kita adalah meminimalkan kesalahan sebatas upaya kemanusiaan yang ada pada diri.
Wa Allahua’lam bi al-shawwab
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 27 Pebruari 2019