Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Judul tulisan yang berserak, namun mengandung hubungkait dalam kontestasi negeri ini bila ingin melihat dari sisi obyektif. Sungguh, pesta demokrasi terbesar dan serentak dilakukan di Indonesia pada tanggal 17 April 2019 telah usai. Pesta domokrasi Indonesia yang berjalan lancar dan aman tak ayal mendapat decak kagum dunia. Bayangkan, dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah kepulauan yang luas terhampar, pesta demokrasi dapat diselesaikan dalam satu hari. Kesuksesan perhelatan demokrasi ini tak bisa dilepaskan pada beberapa faktor, antara lain :
Pertama, karakter bangsa Indonesia yang memiliki kesantunan dan karakter terbuka dalam melaksanakan demokrasi.
Kedua, kerjasama seluruh komponen bangsa, terutama “pahlawan demokrasi” yang tak mengenal lelah dalam mensukseskan pemilu 2019. Bahkan, bukan hanya tenaga dan pikiran yang mereka baktikan untuk negeri ini, nyawa pun mereka untuk ibu pertiwi. Pesta demokrasi kali ini, membuktikan betapa besarnya jasa mereka. Paling tidak, ada 12 orang “pahlawan demokrasi” meninggal dunia akibat kelelahan dalam mensukseskan pemilu 2019. Mereka demikian ikhlas dan maksimal bekerja, lalu bagaimana dengan kita yang hanya sibuk mengkritisi pemilu tanpa pernah berbuat seperti yang mereka lakukan ?
Ketiga, kesuksesan pemilu 2019 menunjukkan bangsa Indonesia bangsa yang besar dan peradaban tinggi. Perbedaan yang terjadi diselesaikan di meja musyawarah dengan keinginan yang sama untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sebuah sikap yang patut dibanggakan dan dilestarikan oleh seluruh elemen bangsa.
Sungguh masa penantian hasil rekapitulasi KPU menyisakan pori-pori peradaban manusia dengan berbagai bentuk dan warna. Pori-pori tentunya tergantung pada nilai apa yang masuk di dalamnya. Bila unsur yang masuk dalam pori-pori adalah vitamin, maka akan menyehatkan tubuh demokrasi. Namun, bila unsur yang masuk zat beracun, maka tubuh demokrasi bangsa akan mengalami kerusakan.
Sudah saatnya kita tampilkan demokrasi yang sehat dan menyehatkan. Meski sadar atau tanpa disadari terkadang ada sekelumit debu kotor yang menyertai. Tugas kita justru membersihkan debu tersebut dari tubuh, bukan membuang vitamin, apatahlagi membunuh tubuh (demokrasi).
Bagai Permainan Sepak Bola
Selesainya pesta demokrasi melalui Pemilu 2019 ternyata menyisakan sedikit persoalan. Menunggu hasil rekapitulasi KPU ternyata membuat titik kesabaran bersentuhan dengan kecurigaan. Sikap saling mencari kesalahan dengan memperlihatkan berbagai aib lawan. Berbagai bukti (katanya kecurangan) tersebar di dunia maya. Kita tak lagi bisa memilah mana
informasi yang benar dan hoax. Semua bagai gado-gado informasi yang membingungkan. Bila kebingungan hanya berakibat pada pribadi penerima informasi, maka dampaknya tak seberapa. Tapi bila kebingungan menyeruak pada komunitas luas yang bermuara pada trueth claim, maka akan berdampak luas dan membahayakan.
Padahal, terkadang diri (sekecil apa pun) ikut berlaku sama sebagaimana mungkin juga dilakukan lawan. Bila persentuhan tersebut hanya bermuara pada kewaspadaan dan mawas diri, maka ianya akan berdampak positif dalam pendidikan politik bangsa. Namun, bila persentuhan tersebut bermuara pada saling mengklaim kemenangan dan pembenaran pada masing-masing kontestan, maka sikap tersebut serasa tak baik untuk ditonton lagi, apalagi bila diwariskan pada generasi yang akan datang.
Pengklaiman atas kemenangan tak dapat dihindari dari sikap pembenaran diri dan mencari kesalahan lawan. Bagai pemain sepak bola, semua pihak pasti ingin menang dan memainkan berbagai trik (teknis, bahkan non teknis) untuk memenangkan pertandingan. Kadang ada yang memainkan trik halus seakan menggiring bola namun sikut tangan menari antara rusuk lawan. Kelihaian seperti ini bahkan terkadang tak terlihat oleh wasit di lapangan. Namun, ada pula kadangkala yang terlepas dari keindahan dalam memainkan bola. Kaki beradu bahkan terkadang lawan harus ditandu ke luar lapangan. Meski fair play menjadi komitmen bersama, namun di lapangan hijau, persentuhan antara tujuan dan emosi membuat riak-riak kecil pelanggaran yang dibalut dengan berbagai trik kecurangan tak terhindarkan. Semua tim berlaku sama, hanya saja ada yang tertangkap oleh penglihatan wasit dan hakim garis, namun ada pula yang tak tertangkap oleh penglihatan mereka. Menyadari keterbatasan yang ada, maka disetiap lapangan sepak bola disediakan VAR untuk membantu melihat realita yang tak dapat dilihat oleh mata melalui rekam elektronik. Miniatur pemilu 2019 bagai permainan sepak bola. Pemain sepak bola adalah para politisi, wasit adalah KPU, hakim garis adalah BAWASLU, dan VAR adalah Mahkamah Konstitusi.
Nilai Peradaban Sepak Bola
Meski di lapangan mereka adalah lawan dengan menggunakan sejumlah trik untuk memenangkan pertandingan, namun ada nilai peradaban yang dimiliki dalam permainan sepak bola, antara lain :
Pertama, ketaatan atas keputusan wasit. Bila keputusan wasit dianggap kurang adil, maka mereka meminta agar VAR ditayangkan untuk melihat kebenaran. Bila hasil rekaman VAR memperlihatkan yang terjadi, maka mereka semua mentaati keputusan yang ada. Mereka tak pernah menyalahkan VAR dibuat oleh siapa, dipasang oleh suku apa, dan dioperasionalkan oleh kelompok mana. Mereka semua sepakat menerima keputusan yang diambil.
Kedua, meski dalam pertandingan acapkali bersentuhan pisik, bahkan terkadang non pisik, namun setelah selesai pertandingan, mereka bersalaman (bahkan berpelukan dan bertukar kaos jersey). Seakan, apa yang terjadi di lapangan tak ada menyisakan dendam pada diri pemain. Apatahlagi mencari-cari kesalahan lawan. Para pemain, pelatih, manager klub, dan para pendukung saling mengoreksi kelamahan diri secara internal dan mencoba memperbaiki kualitas permainan pada pertandingan selanjutnya. Sebab, bila para pemain sepak bola sibuk mencari kelemahan dan cacat lawan, maka waktunya akan habis melihat sisi kelemahan lawan. Akibatnya, mereka tak akan pernah memperbaiki diri dengan memperbanyak latihan dan meningkatkan skil pemain.
Ketiga, para pemain menyadari posisinya sebagai pemain, bukan merangkap wasit. Mereka menyerahkan keputusan wasit. Sebab, mereka menyadari tanpa wasit permainan sepak bola mereka bagai permainan tanpa budaya.
Lihatlah, permainan sepak bola yang maju tampil dari budaya menghargai wasit dan mengakui keunggulan lawan. Namun, permainan sepak bola yang terkebelakang tampil karena inginnya menang sendiri dan menganggap di luar timnya adalah tak memiliki kelayakan untuk menang. Bila timnya kalah, maka sejuta tindakan dilakukan, mulai perusakan fasilitas stadion, membakar ban bekas, menyerang wasit dan pemain lawan, bahkan kadangkala anarkhis pada masyarakat luar stadion. Prilaku seperti ini akan menyulitkan diri berkembang, apalagi profesional.
Manusia dan Aib Diri
Acapkali ketika ingin mencapai tujuannya, manusia selalu menggunakan plan-B dengan membuka aib lawan. Padahal, dalam hadis qudsi, Allah SWT menyatakan bahwa “bila seseorang hamba menutup aib saudaranya (karena Allah), maka Allah akan menutup aibnya. Bila seseorang hamba membuka aib saudaranya (karena ingin memperoleh keuntungan), maka Allah akan membuka aib dirinya”. Bahkan, dalam QS al-Hujurat : 12 jelas disebutkan pembuka aib dan penyebar fitnah bagai memakan daging bangkai.
Ayat dan hadis di atas sesungguhnya Allah mengingatkan pada manusia untuk mengontrol diri dalam menilai orang lain. Sebab, manusia merupakan makhluk yang memiliki kelebihan dan kelemahan. Setiap manusia memiliki kelebihan dalam kelemahannya dan memiliki kelemahan dalam kelebihannya. Kesadaran ini perlu ditumbuhkan untuk mewaspadai dan memperindah akhlak diri.
Sesungguhnya, dalam dimensi tasauf semua manusia memiliki kelemahan dan aib diri. Hanya saja, kelemahan dan aib diri ada yang sudah dibuka oleh Allah dan ada pula yang belum dibuka oleh Allah. Bila Allah membukanya, maka mungkin kehinaan lebih tinggi dibanding kehinaan diri saudaranya yang dihina. Sungguh, upaya menampilkan asesoris prilaku bagai pakaian menutup tubuh. Bila pakaian lebih besar dibanding tubuh, maka tubuh akan tertutupi. Tapi bila pakaian lebih kecil dibanding tubuh, maka pakaian tak akan mampu menutupi tubuh. Pakaian dan tubuh yang dimaksud adalah upaya menutupi aib diri.
Pelajaran yang sunggu tinggi. Allah ingin mengajarkan agar manusia jangan sombong dan merasa paling suci dan benar. Mungkin, sejuta aib nista ada dalam diri yang belum diperlihatkan. Jadilah diri bagai organ tubuh. Semua menjalankan fungsinya, namun kesemuanya sadar akan peran organ lainnya. Bila salah satu organ mengalami gangguan dalam menjalankan fungsinya, maka organ lain akan terganggu. Agar jangan ada gangguan, maka setiap organ seyogyanya saling membantu bila ada organ lain mengalami persoalan dengan mentransformasi kebaikan. Sungguh, menjadi benar adalah sikap terpuji, tapi merasa paling benar adalah sikap yang tidak terpuji.Wa Allahu a’lam bi al-Shawwab
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 22 April 2019