Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)
Ramadhan 1441 H kali ini berbeda dengan Ramadhan – ramadhan sebelumnya. Tahun ini, umat Islam berpuasa dalam situasi pandemi wabah Covid 19 yang melanda seluruh dunia. Banyak hal yang bisa diambil i’tibar dalam menghadapi musibah ini. Apakah wabah ini sebagai musibah (siksa) atau ujian bagi umat.
Merujuk Q. S. Al-Baqarah : 183 terlihat jelas bahwa perintah puasa hanya untuk mereka yang beriman (ruh), tapi dilaksanakan secara syariat oleh fisik biologis (tubuh). Bila demikian, puasa yang benar adalah gabungan dimensi puasa tubuh dan ruh.
Bila yang melaksanakan puasa adalah gabungan antara tubuh dan ruh, maka ia akan bisa merasakan nikmatnya puasa bagi kesehatan tubuh dan memberi nutrisi pada ruh untuk membangun watak muttaqien yang sebenarnya. Puasa dimensi ini akan bisa melihat bahwa Covid 19 ini merupakan musibah yang mengandung nilai ujian. Sebab, baginya kedua nilai tersebut merupakan keniscayaan bagi semua makhluk. Hal ini merujuk pada Q.S al-Mulk : 2 bahwa : “(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Keimanan vertikal akan membuahkan keshalehan horizontal (sosial). Keshalehan ini berbentuk amal konkrit dalam kehidupan. Bila tak mampu beramal secara material (membantu kebutuhan sesama yang terpapar wabah), maka umat harus mampu beramal dengan cara membantu mengikuti upaya agar musibah bisa diselesaikan. Sadarlah, bahwa ini adalah kesempatan menikmati “hidangan kasih sayang Allah”. Mumpung kesempatan masih diberikan. Umur bagai es batu. Digunakan atau tidak digunakan, ianya pasti mencair dan habis.
Namun, ada pula yang memahami keliru, bahwa wabah yang ada tak akan dan tak perlu mengganggu aktivitas peribadatan mengisi Ramadhan dan bisa dilaksanakan secara berjamaah. Umat tak perlu menjauhi masjid, tapi perlu mengimarahkannya. Sebab, persoalan ajal adalah rahasia Allah. Sikap ini lahir akibat motivasi agama yang tinggi namun tak didasari oleh ilmu syariat yang mumpuni. Di sinilah perlunya ilmu yang benar bagi membangun kekokohan iman yang benar pula.
Tapi bagi yang berpuasa hanya batang tubuh, maka Covid 19 terasa sebagai musibah (siksa). Kebijakan social and physical distancing berakibat global bagi kehidupan. Puasa secara substansi adalah “menahan” dari sesuatu yang membatalkan, maka ketika musibah saat ini, puasa perlu dipahami secara luas sebagai menahan semua aktivitas guna memutus rantai Covid 19. Bila puasa dilakukan oleh batang tubuh, maka akan muncul pemberontakan akibat pembatasan ini. Sebab, batang tubuh sulit untuk dibatasi. Hanya tubuh yang dikawal oleh ruh, maka tubuh akan mampu dikawal secara bijak.
Dalam menghadapi pandemi saat ini, Covid 19 bisa menjadi musibah sekaligus ujian. Eksistensinya menjadi musibah bila dilihat dampak yang dimunculkan. Bila musibah, berarti akibat kejahilan manusia yang menanam kejahatan dan kezaliman di muka bumi. Ke depan, manusia perlu melakukan perubaan sikap pada kebajikan. Tapi bisa dilihat sebagai ujian agar manusia mengoreksi diri atas apa yang dilakukan atau mengukur kualitas keimanan selama ini. Sekaligus menjadi acuan bagaimana bersikap pada masa akan datang bagi menanam ladang kebaikan bagi generasi yang akan datang.
Sungguh Ramadhan 1441 H di tengah pandemi Covid 19 menjadi timbangan diri. Bila setelah Ramadhan 1441 H berlalu bersamaan sirnanya Covid 19 di muka bumi perubahan prilaku manusia tak mengalami perbaikan, maka sungguh diri nan zalim yang akan memancing laknat Allah lainnya. Namun, berbahagialah bila Ramadhan tahun ini membuka mata zahir dan batin untuk memperbaiki diri guna mendatangkan nikmat Allah di muka bumi.
Semua pilihan ada. Hanya manusia yang bisa memilih secara bijak, tapi hanya hewan yang melakukan kejahatan yang sama apalagi tak punya rasa malu dalam dirinya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab……
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 12 Mei 2020