Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Perhelatan demokrasi Pilkada serentak di sejumlah wilayah di NKRI telah usai. Meski di tengah wabah pandemi Covid-19, perhelatan akhirnya dapat diselesaikan dengan lancar. Berbagai spekulasi muncul melihat hasil pilkada serentak. Ada perhitungan manual laporan saksi masing-masing kandidat dan versi quick count menunjukkan angka masing-masing kontestan. Meski tetap hitungan real count dari KPU menjadi kepastian final siapa yang akan muncul memimpin sebagai kepala daerah. Tak ada istilah menang dan kalah. Yang ada hanya siapa yang lebih tinggi memperoleh amanat dari masyarakat. Istilah menang dan kalah acapkali menimbulkan persoalan pasca pesta demokrasi dilaksanakan.
Keberadaan tim sukses dan partai pendukung tak bisa dielakkan. Semua berupaya menarik simpatik masyarakat dengan “menjual” sosok kontestan yang diusung. Berbagai bentuk strategi diterapkan. Berbagai bentuk janji terucap, meski sulit untuk menjadi “barang bukti” tertulis. Kadang janji kurang memperhatikan pada kebijakan dan aturan yang berlaku, baik tataran teks maupun konteks (politis). Semua dilakukan agar konstituen terpikat dan memberikan sokongan yang diharapkan.
Muncul nama pasangan yang memperoleh suara tertinggi versi quick count menunjukkan semakin dewasanya masyarakat dalam berpolitik. Pasangan petahana tak sedikit turun elektabilitasnya di mata masyarakat. Tak sedikit pula pendatang baru yang muncul memperoleh simpatik masyarakat meski tersisa trial and error dan perlu pembuktian nyata.
Belum lagi hasil final pilkada diumumkan, Presiden RI, Joko Widodo pun melakukan reshufle kabinetnya. Tentu atas sejumlah pertimbangan dan evaluasi komprehensif atas kandidat yang dimunculkan dan alasan dilakukannya reshufle. Kesemuanya dilakukan untuk memperbaiki kinerja tim yang dimiliki agar tercapai tujuan negara sesuai amanat pada butir-butit Pancasila.
Pro kontra atau kepuasan ketidakpuasan berbagai pihak dalam konstelasi demokrasi tentu tetap ada. Namun, bukan berarti menghilangkan makna demokrasi. Kesemua perbedaan bukan berarti menghilangkan identitas bangsa yang berperadaban. Namun sayangnya, bak permainan sepak bola, munculnya “para penonton” yang berkomentar bagai pemain profesional muncul. Kemunculannya bila dibangun dalam bingkai bangsa berperadaban akan membuat dinamika demokrasi yang mencerdaskan. Akan tetapi, bila komentar dilakukan dengan cara yang kurang bijak dan cenderung memperkeruh konstelasi demokrasi, maka hal ini perlu dijauhi. Berikan kesempatan untuk mereka membuktikan kerja yang diharapkan oleh bangsa. Mereka merupakan pilihan bersama dan anak bangsa yang patut diberi kesempatan yang sama. Bila “kicauan negatif” tetap dilakukan, maka indikasi peradaban yang rendah.
Ada beberapa catatan yang perlu diberikan pada putra-putri anak bangsa yang mendapatkan amanah dari pentas demokrasi yang berlangsung, yaitu : Pertama, perbedaan bukan membuat perseteruan. Semua kesempatan dan peluang untuk menjadi bagian demokrasi dimiliki oleh seluruh anak bangsa. Tunjukan kedewasaan dan martabat yang terpuji. Jangan anggap diri yang paling baik dan pantas. Bila hal ini terjadi, maka indikasi kesombongan telah melekat pada diri. Biarlah kebaikan diri dinilai oleh orang lain. Bila hal ini bisa dipertahankan, maka indikasi pribadi yang mulia. Jangan mencari “kehinaan kawan”, sebab kehinaan diri jauh lebih menganga lebar.
Kedua, bangun sifat tawadhu’ dalam diri. Semua yang terjadi pasti ada hikmah yang belum mampu diketahui. Keyakinan bahwa semua yang ditakdirkan Allah merupakan keputusan terbaik. Jangan biarkan sifat membenarkan diri dan menyalahkan orang lain menguasai diri. Berbaik sangka pada ketetapan hidup sembari melakukan introspeksi diri jauh lebih terpuji.
Ketiga, sadari apa yang diperoleh merupakan amanah yang memerlukan bukti mampu mensejahterakan seluruh lapisan. Yang terpilih tak merasa angkuh, sedangkan yang belum terpilih tak merasa pecundang. Para pemegang amanah perlu banyak belajar dan mengambil i’tibar atas pemegang amanah sebelumnya. Jangan melanjutkan kesalahan yang sudah terjadi untuk diteruskan pada kesalahan yang lain. Untuk itu, perlu dicerna nasehat Syekh Mutawalli Sya’rawi bahwa “sesungguhnya orang zhalim tidak akan mati dengan mudah, sehingga Allah membalas kezhalimannya dengan kehancuran, kehinaan dan azab yang luar biasa”. Sungguh dalam nasehat tersebut dan sungguh nyata kebenaran atas nasehat yang diberikan.
Keempat, mampu melepaskan diri dari “para pendukung”, baik politik maupun tim sukses. Bila pemegang amanah mampu melepaskan diri dari “cengkeraman dan bayang pendukung”, maka ia akan lebih bermartabat dalam melaksanakan amanah yang dipikul. Bila pemegang amanah masih dibayang-bayangi dan mengikuti irama “para pendukung”, maka mereka akan menjadi boneka atau robot yang tak memiliki martabat dalam melaksanakan amanah yang diberikan. Para pendukung telah selesai tugasnya tatkala mengantarkan “para pemegang amanah” pada harapan yang diinginkan. Para pendukung perlu sadar atas posisinya, bukan menjadi bayang-bayang yang terus mengikuti tubuh. Pemegang amanah perlu memutus mata rantai tersebut bila ingin amanah mampu dilaksanakan.
Kelima, pemegang amanah perlu menyadari dan ingat pada komitmen yang pernah diucapkan. Jati diri akan terlihat pada bukti. Ingat pesan pepatah “sebelum memperoleh yang diinginkan, nama Tuhan selalu diucapkan. Namun, tatkala sudah mendapatkan apa yang diinginkan, maka dirinya berubah menjadi Tuhan”. Bila hal ini terjadi, maka celakalah diri.
Keenam, meletakkan dan memberikan urusan pada yang memang “ahlinya”. Ingatlah firman Allah : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab: 72). Hal ini dipertegas oleh pesan Nabi Muhammad, bahwa “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan?’ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran” (HR. Bukhari).
Bila tradisi meletakkan orang bukan pada ahlinya, perhatikan janji Allah : “jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah 49).
Sungguh, begitu jelas ayat-ayat Allah dan akal membenarkan semua kebenaran. Lalu, mampukah kita menjawabnya?
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 28 Desember 2020.