Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh kehidupan di alam semesta memiliki makna dan sejuta pelajaran bagi yang ingin belajar. Wajar bila Allah berulang kali menyebutkan “maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan” (QS. Ar-Rahman). Kasih sayang Allah mengingatkan hamba-Nya berulang kali (31 kali) agar hamba-Nya selamat dalam menjalani kehidupan. Denikian banyak nikmat Allah yang tanpa disadari manusia justeru banyak pelajarannya. Di antara pelajaran yang bisa diambil dalam hidup adalah “sosok sniper”. Terlepas dari perspektif lain tentang seorang sniper, namun ada pelajaran positif yang layak diambil dari seorang sniper, antara lain :
Pertama, seorang sniper fokus pada tugas dan amanah atas tanggungjawab yang diberikan. Aktivitasnya tertuju pada tujuan yang telah dirumuskan. Semua yang dilakukan merujuk pada aturan agar tercapai semua tujuan. Dengan fokus pada tugasnya, seorang sniper mampu melaksanakan tugasnya secara maksimal. Demikian seyogyanya pada diri manusia sebagai ciptaan Allah. Manusia seharusnya fokus pada tugas dan amanah yang diemban, yaitu sebagai hamba Allah (‘abd Allah) dan pengelola alam ciptaan-Nya (khalifatullah fil ‘aalamiin) secara bijak. Pesan penghambaan sebagai wujud ketundukan atas ayat-ayat Allah dan rahmatan lil ‘aalamiin pada seluruh alam perlu diraih. Bila titik fokus kedua dimensi tersebut mampu dipertahankan, maka tujuan kemanusiaan hakiki akan dapat diraih. Namun, bila titik fokus pada kedua dimensi tersebut hilang, maka fokus terhadap tujuan kehidupan akan sirna dan mengantar pada kesesatan. Acapkali tujuan utama dikalahkan oleh tujuan seketika. Akibatnya, manusia lupa pada tujuannya. Ia tergiring pada pencarian kelemahan dan keburukan sesama hanya meraih tujuan sesaat. Hal ini berakibat kehilangan titik fokus tujuan diri menjadi hamba yang beradab. Ketergerusan yang bermuara hilangnya tujuan diri dan berdampak ketidakjelasan apa yang dicari.
Andai setiap manusia dalam hidup mampu fokus layaknya seorang sniper, maka tak ada waktu baginya melihat kejelekan orang lain. Sebab, melihat kejelekan atau kelemahan orang lain hanya akan mengganggu kosentrasinya menuju titik fokus hidup di bumi ciptaan Allah.
Kedua, seorang sniper tak ingin dipuji. Apa yang dilakukan tak ingin diketahui, apalagi dipublikasi. Namun, tatkala di luar tugasnya, ia tetap hidup bersosial secara normal. Ia berupaya menutup identitasnya, bahkan pada orang yang terdekat dengan dirinya. Demikian dimensi “penghambaan” dan aktivitas hidup seyogyanya diraih. Seorang yang merajut komunikasi pada Allah dan rindu pada Rasulullah akan menutup “kenikmatan munajat kerinduanya”. Ia tak akan merusak kenikmatan tersebut dengan kesombongan dan publikasi atas apa yang dilakukan. Kehidupan sosialnya berjalan normal sebagaimana seorang manusia secara umum. Namun dalam aktivitasnya berirama rindu pada sang Pencipta.
Ketiga, seorang sniper bertindak penuh perhitungan. Kondisi angin, cuaca, jarak, bahkan berbagai faktor diperhitungkan secara matang. Ia ingin bersahabat dan menghargai alam. Angin, cuaca, dan kondiai alam lainnya dihargai. Kekuatan alam dibaca sebagai kekuatan mencapai tujuan. Kearifan atas alam menempatkannya mampu berteman dengan alam. Aifat bijaksana seorang sniper patut dijadikan pelajaran. Seorang hamba yang “beradab” bijak dalam beraktivitas, dan bersahabat dengan ciptaan-Nya. Kata dan perilakunya selalu dipikir secara seksama. Informasi yang diberikan selalu berwujud “pencerdasan dan kearifan” berbasis tujuan. Tak ada yang keluar dari diri yang adanpadanya sesuatu yang mubazir, apatahlagi membawa mudharat, menyinggung, bahkan menyakiti bagi dirinya dan makhluk lainnya.
Keempat, seorang sniper tak pernah diketahui orang. Ia tak pernah memperlihatkan dirinya, tapi memperlihatkan hasil atas tugasnya. Begitu “tawadhu'” seorang sniper. Sementara era modern, manusia hidup lebih pada mempromosikan diri, bahkan hal yang terkecil diunggah dilaman medsosnya. Unggahan publikasi diri mengakibatkan lupa pada tujuan dan hasil yang perlu dituju. Publikasi lebih dominan, sedangkan hasil jauh dari yang diharapkan.
Kelima, seorang sniper mampu menyatukan pisik, emosi, dan spritual dalam melaksanakan tugasnya. Integrasi ketiga unsur tersebut mendukung capaian tujuan yang ditargetkan. Ketika ketiga unsur tersebut tidak bersinergi, maka tugas sniper akan gagal. Tatkala pisik tak berhubungan dengan emosi, muncul kepongahan. Ketika pisik dan emosi tak berhubungan dengan spritual, muncul kegundahan dan penyesalan. Melalui harmonisasi ketiga unsur diri yang mampu disatukan, seorang sniper menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan menancapkan keyakinan diri bahwa semua keberhasilannya tak lepas dari kuasa, izin, dan karena Allah semata.
Sungguh, seorang sniper tak pernah memunculkan diri untuk dikenal, apatahlagi minta dipuji. Ia hanya fokus pada pengabdian dan capaian tujuan, bukan pujian. Ia selalu berkarya, tanpa banyak beretorika tanpa karya.
Demikian cermin seorang sniper. Meski diri tak pernah tampil kepermukaan, tak pula gemar dipublikasikan, namun eksistensinya sangat besar perannya. Sementara ada pula cermin sosok “you tuber” semua hal dipublikasikan, namun tak semua bermanfaat untuk keummatan.
Meski publikasi memang diperlukan, namun tak semua hal patut dipublikasikan. Jangan terjerembab pada kesombongan, namun miskin kualitas yang seharusnya diutamakan. Akibat publikasi yang bermaksud menonjolkan diri, acapkali tujuan menjadi terlupakan. Tujuan justeru hanya menjadi asesoris, bahkan tulisan teoritis pelengkap administrasi.
Sungguh sosok sniper patut menjadi renungan, sekaligus pelajaran yang sungguh berarti. Hanya saja, dimana posisi setiap diri, apakah sosok sniper, atau hanya “sleeper” atas apa yang dimiliki. Tentu hanya manusia yang berpikir (akal dan qalbu) yang mampu menjawabnya dengan penuh kesadaran.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 8 November 2021