Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Dalam bahasa sederhana, istiqomah dimaknai dengan istilah konsistensi diri. Semua orang tau dan sering menggunakan kata sederhana ini. Namun, tak semua mampu menerapkan dan mempertahankannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh dahsyat bila kata istiqomah dalam makna positif mampu dilaksanakan setiap diri. Bayangkan, kokohnya gunung mampu diratakan hanya karena adanya sisi istiqomah pekerja memukul batu gunung yang demikian keras. Tak terhitung milyaran bahkan trilyunan hentaman godam diayunkan tanpa henti untuk mampu meratakan kerasnya batu gunung nan kokoh menjulang. Dengan istiqomah akhirnya gunung mampu dihancurkan dan diratakan.
Demikian pula sebaliknya, bila istiqomah telah punah, muncul kejenuhan, kegelisahan, mudah menyerah, dan putus asa. Akibatnya, jangankan gunung yang menjulang, tumpukan debu pun tak mampu dibersihkan karena hilang istiqomah untuk membersihkan debu yang datang silih berganti.
Sungguh, istiqomah merupakan kunci untuk meraih keberhasilan, baik komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal. Demikian pula sebaliknya, tanpa istiqomah tak akan ada hasil yang mampu dicapai secara maksimal.
Untuk memiliki istiqomah dalam hidup, meski bukan pekerjaan sulit, namun tak semua orang mampu memiliki, apatahlagi mempertahankannya. Banyak cibiran datang menghantam, fitnah dan celaan silih berganti, dan perubahan sikap sesuai kepentingan sesaat. Namun yakini diri masih tersisa decak kagum meski hanya sayup-sayup sampai atau bahkan tanpa suara. Tergantung pada diri, apakah cibiran dan fitnah akan meluluhlantakkan semuanya ? Bila hal ini terjadi, sirnalah asa bersamaan hancurnya cita-cita. Namun, bila cibiran mampu dihadapi secara bijaksana dan decak kagum tak pula menyilaukan mata, maka keberhasilan hidup akan diraih dan manisnya hasil bak madu yang akan menyehatkan semua.
Meski sifat manusia bagai dua sisi mata uang, keduanya perlu hadir untuk menguji konsistensi diri. Cibiran tak selamanya harus dibayar lunas dengan kata pedas, tapi lebih dituntut pada bukti berupa karya nyata yang dinikmati oleh semua. Decak kagum tak pula harus menjadi diri ujub karena akan merusak diri dan membakar prestasi (amaliah).
Berkaitan sisi penilaian manusia atas istiqomah diri, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan “Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, sedangkan yang membencimu tidak akan percaya (akan) itu.”
Hanya diri yang selalu tawadhu’ akan mampu menjaga dimensi istiqomah dengan benar dalam kehidupan. Kepeduliannya hanya untuk tercapainya dimensi kekhalifahan yang diamanahkan padanya guna menggapai rahmatan lil ‘aalamiin.
Sungguh, sehebat apapun seseorang, bila tidak memiliki sifat istiqomah dalam menjalani kehidupan, maka hanya kegagalan yang akan diperoleh. Namun, terlalu percaya diri tanpa sifat tawadhu’ akan melahirkan prilaku arogan dan kesombongan. Bila hal ini terjadi, maka tamsil Iblis jadi cerminan yang demikian nyata.
Ada beberapa dimensi dalam memaknai istiqomah dalam realitas nyata secara positif, antara lain:
Pertama, konsisten dalam perilaku, meliputi kepatuhan dan ketaatan hukum (agama dan hukum yang ada), idealisme yang terjaga, dan tidak pernah meninggalkan prinsip yang dipegang meski terkadang berhadapan dengan resiko atau tantangan. Apatahlagi bila sifat konsistensi berhadapan dengan lingkungan “baling-baling di atas bukit” dèngan “politik belah bambu” yang dianut.
Kedua, mampu mengendalikan diri dan emosi dengan baik. Sifat istiqomah akan mengarahkan diri untuk melihat yang ada dengan pikiran positif, dinamis, dan tidak pernah mundur ke belakang meskipun berada pada situasi yang tertekan. Konsiatensinya pada prinsip kebenaran akan mampu menciptakan kepercayaan diri, integritas, dan menjadi motivasi bagi yang lain untuk mengikutinya. Ia hanya sibuk mengevaluasi diri atas kekurangan yang ada sembari memperbaiki diri, namun menutup seluruh “sisi panca inderanya” atas kelebihan yang dilakukan seakan tak pernah ada dilakukannya.
Ketiga, memiliki dimensi istiqomah dijanjikan hadirnya ketenangan hati, hilang perasaan takut dan sedih, serta hadir puncak kebahagian atas khabar gembira yang dijanjikan Allah padanya. Hal ini dinukilkan Allah dalam Q.S al-Fushilat : 30. Eksistensi istiqomah melahirkan manusia yang memiliki pengetahuan (citra dan konsep) diri, harapan (tujuan) diri, dan senantiasa sibuk mengevaluasi kekurangan diri.
Sifat istiqomah perlu diraih bagi manusia yang berhasrat memilikinya. Capaiannya tentu bukan seperti membalikkan telapak tangan. Perlu ada upaya maksimal yang meliputi pembiasaan diri (kebenaran), merujuk pada sosok pemilik ketauladanan yang jadi rujukan (Rasulullah), pemahaman pada ajaran agama yang benar (addiin haniif), dan memulainya dari hal yang kecil atau sederhana. Kebiasan tersebut akan melahirkan berbagai “gerak” nyata dan meninggalkan kebermanfaatan bagi alam semesta.
Orang yang bijak akan malu bila apa yang dilakukan tak sebesar apa yang dikatakan. Meski terlalu mudah mencari bukti apa yang dikata (manusia) acapkali lebih besar dari apa yang dilakukan. Lalu, dimana letak diri kita yang sebenarnya. Apakah istiqomah hanya sebutan pemanis bibir yang berkorelasi tegak lurus dengan retorika menjulang namun tanpa karya? Moga sebaliknya. Hanya kita yang awalnya tau, meski akhirnya banyak orang yang tau, atau biarlah Allah saja yang tau.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 13 Okt 2021