Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Manusia merupakan makhluk yang tak bisa lepas dari berbagai bentuk interaksi. Di antara sekian banyak bentuk interaksi yang dilakukan, interaksi lisan merupakan bentuk yang dominan dilakukan. Semakin modern peradaban manusia, maka semakin bervariasi bentul interaksi lisan yang dilakukan. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa interaksi merupakan manifesto diri yang sesungguhya, terutama interaksi lisan. Untuk itu, tak heran bila Rasulullah mengingatkan umatnya agar bijak menggunakan lisannya. Hal ini terlihat pada sabdanya “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Seirama pesan Rasulullah, pepatah Melayu mengatakan, “mulutmu adalah harimaumu”. Atau “bagai lidah tak bertulang”. Bahkan, dalam pepatah Arab mengatakan “Lisan itu mampu menembus apa yang tidak mampu ditembus oleh jarum”. Pepatah ini mengingatkan agar manusia berhati-hati dalam menggunakan lisan. Lidah, meskipun tidak bertulang, tapi bahaya yang ditimbulkan bisa sangat besar. Sungguh hadis dan pepatah yang mengandung kedalaman makna untuk dicerna dan dijadikan cermin setiap insan.
Dalam konteks modern, kata dalam hadis dan pepatah di atas tak lagi berdimensi oral, tapi sudah melebar pada bentuk tulisan yang saat ini muncul dominan di media sosial. Sungguh, kata (lisan) dan variannya yang hari ini muncul –dengan berbagai kualitas isi dan dampaknya– merupakan cermin diri sang pemilik kata. Sebab, kata (lisan dan tulisan) merupakan dorongan psikis yang memerintahkan pisik untuk memunculkan apa yang terbetik dan tergerak oleh psikis. Tak ada lisan yang bergerak tanpa gerak psikis diri.
Ada beberapa pantulan lisan (tulisan dan variannya di media sosial) sebagai cermin diri setiap insan, antara lain :
Pertama, untaian lisan merupakan cermin kualitas dan rutinitas amaliyah yang dilakukan. Bila kualitas rutinitas amaliyah yang dilakukan berujung pada kedekatan pada Allah, maka wujud lisan berwujud pada kebenaran dan pantulan Ilahi. Sosoknya bagai sebatang pohon rindang yang berbuah lebat nan manis nikmat.
Kerindangannya dinikmati temoat bertenduh hamba, sedangkan buahnya dinikmati penuh gizi. Namun, bila yang muncul lisan yang hanya menawarkan fitnah, kebencian bak hunusan pedang yang menyakitkan, maka ungkapannya merupakan cermin ibadah yang tak mampu membentuk akhlak diri. Meski ibadah secara zhahir terlihat “‘ bagai hamba yang alim” namun tak berisi dan mewarnai. Sisi dimensi ini bagai pohon yang indah dikejauhan namun bila dihampiri ternyata penuh duri dan buah yang pahit dan beracun. Pohon seperti ini tak bisa dijadikan tempat berlindung dan buahnya justeru mematikan.
Eksistensi kualitas lisan pada dimensi ini muncul tanpa rekayasa. Wujudnya menyeruak oleh isi psikis yang menggelora. Tampilan yang terlihat hanya sebagai bagian kecil dari sisi dalam diri bahkan membanjiri seluruh pori-pori. Bila gumpalan kebaikan yang bersemayam, maka lahir kebaikan pula. Sementara bila kabut hitam yang bersemayam, maka lahir malapetaka dari ungkapannya.
Kedua, rangkaian lisan wujud kepedulian, kegembiraan, atau kekecewaan. Warna lisan sesungguhnya menggambarkan sejuta gambaran. Di antara gambaran yang mudah dilihat adalah tampilan kepedulian, kegembiraan, atau mungkin kekecewaan. Hamba yang bijak menggunakan lisannya bagai pepatah “Sungguhpun harimau dalam perutnu, tetap kambing yang akan dikeluarkan”. Demikian bijak untaian hikmah yang ditinggalkan para leluhur agar anak cucu menjadi bijak bila bertutur. Namun sayang bila nasehat sudah diberikan, namun tak pernah dijadikan acuan.
Ketiga, gaya dan isi lisan merupakan wujud kemampuan atau ketidakmampuan diri untuk bisa berbuat lebih baik. Adakalanya, gaya lisan bisa menampilkan atas kemampuan diri atau upaya menutupi kekurangan diri. Meski kemampuan diri tak perlu dipongahkan sebab ianya karunia Allah untuk disyukuri, bukan disombongkan. Atau lidah yang bersilat merupakan upaya menutupi kekurangan diri yang coba ditutupi.
Keempat, untaian lisan merupakan cermin keperibadian (attitude) dan kebiasaan diri. Bila lisan yang muncul memberikan kesejukan, berarti eksistensi merupakan cermin atas kesejukan yang dimiliki. Namun, bila lisan yang dimiliki memunculkan fitnah dan kata yang kasar dituduhkannya, maka berarti itulah kebiasaan dirinya. Sebab, hanya orang yang pernah berbuat tau apabila orang lain berbuat. Sebab, apa yang dikatakan dan ditidihkan atas orang lain merupakan wujud apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Pribadi seperti ini “bak menepuk air di dulang”. Ia menilai orang lain dengan standar cermin prilaku dirinya. Bila ini terjadi, sungguh telah mempermalukan dirinya sendiri.
Memang lisan sangat sederhana. Namun, apa yang dinyatakan lisan wujud nyata sejuta abstraksi diri. Sangat bijak menggunakan kata agar diri senantiasa terpelihara. Menghamburkan kata yang tak bermanfaat justeru akan membuka karakter diri yang asli.
Sungguh, kehebatan dan kesuksesan –dengan berbagai variannya– merupakan guru yang buruk bila tak bijak diartikan. Sebab, bila tidak dikendalikan, ianya acapkali menggoda manusia untuk berpikir bahwa dirinya tak mampu dikalahkan. Akibatnya, diri akan memandang paling benar dan orang lain salah.
Peradaban manusia yang demikian maju benar memberikan makna bagi menunjang kekhalifahan. Hanya saja, peradaban modern hanya akan bermanfaat tatkala disentuh oleh manusia yang beradab. Namun, peradaban modern bila digunakan oleh manusia yang tak beradab, maka kehancuranlah yang akan digapai, baik kehancuran diri sendiri maupun orang lain.
Semua tergantung pada diri setiap insan. Apakah ingin tampil sebagai lisan hamba-Nya yang beradab, atau tampil dengan lisan wujud tak beradab.
Wa Allahua”lam bi al-Shawwab
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 05 April 2021