Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis Kampus Melayu
Banyak anak negeri di rantau Melayu lupa bahwa setiap tanggal 16 September, diperingati hari Tanjak Sedunia. Meski saat ini masih banyak yang memakai tanjak, namun belum tentu mengerti rahasia dan filosofi tanjak dalam budaya Melayu yang sesungguhnya. Apalagi menempatkan tanjak pada alurnya. Sebab, setiap tanjak ada orangnya, setiap orang menyesuaikan tanjak yang dipakai, dan setiap jenis tanjak ada amanah yang menyesuaikan pada diri si pemakainya. Bila filosofi tanjak tak dimengerti, maka muncul generasi memakai tanjak, namun “tanjak yang tak berempunya” (hampa makna) dan hilang nilai esensinya.
Tanjak dalam budaya Melayu mengandung makna yang dalam. Bukanlah sembarang memakai tanjak bila diri tak mengerti atas tanjak dipakai, apalagi tak sebati dengan karakter diri dan perilaku yang ditampilkan sehari-hari.
Dalam budaya Melayu, tanjak merupakan tradisi dan jati diri orang Melayu. Tanjak memiliki lambang kewibawaan, struktur masyarakat, semangat, cita-cita, dan harga diri. Kompleksitas bentuknya menunjukkan tugas yang berbagi sesuai jenis tanjak si pemakainya. Tanjak biasanya digunakan lelaki saat ingin pergi keluar, layaknya sebuah songkok dalam budaya nasional. Namun, filosofi tanjak tak sesederhana yang dipahami dan sebatas penutup kepala belaka. Sebab, tanjak memiliki arti “nanjak atau naik/menjulang ke tempat yang tinggi”, baik status, kualitas diri, cita-cita, bahkan karakter budi (akhlak) yang menjadi tauladan. Tanjak adalah lambang kehormatan yang patut dijaga, kekuatan (berbagai varian maknanya) yang bertaut marwah, berbingkai harga diri. Tanjak merupakan lambang amanah sesuai kualitas yang memakai. Tanjak simbul bingkai peradaban, bukan sebatas dipakai namun jauh kepribadian.
Jenis dan Makna
Jenis tanjak disesuaikan struktur adat si pemakai. Ada beberapa jenis tanjak dan makna yang tersimpul, antara lain Tanjak dendam tak sudah memiliki arti kasih sayang, tanjak elang menyongsong angin melambangkan kebijaksanaan dan kecermatan, tanjal pial ayam memiliki arti keberanian, tanjang elang patah kepak memiliki rasa tanggung jawab, tanjak pari mudik memiliki arti kerendahan hati dan kerukunan, dan lain sebagainya. Sungguh luas memaknai tanjak dan cermin diri si pemakai seyogyanya disesuaikan dengan tanjak yang dipakai. Sungguh tanjak menunjukkan sesuatu yang ditinggikan bukan direndahkan. Ia ditempatkan di kepala perlambang tempat tertinggi dan dimuliakan.
Filosofi Tanjak
Ada beberapa filosofi tanjak dalam budaya Melayu, antara lain :
Pertama, tanjak dipakai di atas kepala, meruncing ke atas. Pesan yang diselip gunakan akal budi sebelum bertindak, berkata sopan sesuai alur, memutuskan persoalan berkeadilan, membangun negeri dengan kebajikan. Ketika tanjak telah di tabalkan berarti kewajiban dan tanggungjawab sudah terpikul menunggu bukti.
Kedua, tanjak sesuai struktur fungsi kemasyarakatan dan jati diri si pemakai. Tanjak bukan pakaian umum yang digunakan semua orang dan semua tempat. Tanjak dipakai sesuai “empunya” dan digunakan pada saat yang diperlukan.
Ketiga, terbuat dari kain dan memiliki simpul. Simpul yang berada pada tanjak melambangkan tentang persatuan/ikatan, baik regional maupun negara. Tanjak dipakai membangun persatuan, bukan sebaliknya menjadi pemecah belah sesama.
Keempat, tanjak dikenakan saat acara adat dan dipakai oleh yang mengerti adat.
Tanjak bukan hanya sebuah hiasan kepala untuk sekedar bukti melestarikan budaya. Tanjak sebenarnya membawa pesan moral yang luar biasa bagi siapapun yang memakainya. Sebab, dalam tanjak ada nasehat, anjuran, kedudukan, amanah, dan tanggungjawab supaya orang dapat menyesuaikan tanjak yang dipakai agar memanfaatkan segala kemampuannya sesuai pengetahuan yang dimilikinya untuk kepentingan diri dan masyarakat.
Tanjak adalah sebuah makna dalam bingkai peradaban, karena tanjak sesungguhnya akan selalu menganjur ke atas dan berkata bijak. Bak pepatah :
“Sekali bernama destar, Duanya bernama tanjak. Yang diujung kepala, Dipakai berpatut patut. Yang beradat lembaga, Yang beradat berketurunan, Yang dijaga dipelihara, Yang Bertempat dan bertepatan, Yang ada asal usulnya”.
Ketika tanjak telah ditabalkan, berarti kewajiban dan tanggung jawab besar sudah menunggu untuk dilaksanakan. Gelar adat sesungguhnya tak sembarang diberikan bila tak seirama dengan tanggungjawab dan perbuatan. Moral disandang, akhlak jadi panutan. Adat bukan untuk dipermainkan atau dipamerkan, apalagi sekedar mengisi waktu berselubung kepentingan sesaat yang penuh muslihat. Padahal, adat terbungkus dalam lembaga, agama dijunjung, akhlak terbawa.
Sungguh dalam makna filosofi tanjak pada budaya Melayu. Meski tanjak banyak dikenal dan dipakai saat ini, namun penempatan tanjak acapkali terlepas dari akar makna yang sesungguhnya. Tanjak bergeser pada simbol budaya tanpa makna, bahkan dilembagakan secara politis tanpa terlihat pada karakter si pemakai dan penerima anugerah. Bahkan ada pula yang bertolak belakang dengan simbol yang diberi dan dipakai.
Kondisi ini perlu dikembalikan pada makna adat yang sebenarnya. Bak pepatah “mengembalikan keris ke sarungnya”. Bila tidak, keris akan menjadi alat membunuh, bukan membela sesama. Bila hal ini terjadi, maka tanjak akan kehilangan makna dan hanya tersisa simbol tanpa nilai yang mengelabui. Hadirnya sebatas asesoris trend budaya, meski sebenarnya telah menelantarkan nilai budaya yang hakiki. Meski banyak yang mengaku tau, tapi belum tentu mampu mengamalkannya.
Apakah di hari Tanjak Sedunia mampu menyentakkan semua pemangku adat untuk mengembalikan nilai-nilai tanjak pada akarnya ?
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di harian Riau Pos, tgl. 3 September 2021