Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Covid-19 telah masuk tahun ke-2 menerpa dunia. Terlepas silang pendapat penyebab munculnya, namun yang jelas musibah yang ditimbulkan telah meluluhlantakkan hampir semua sendi peradaban manusia. Tak ayal, bagi manusia yang dipenuhi seluruh pori-porinya dengan keimanan, musibah ini membuat diri semakin merasa kerdil dihadapan Allah. Makhluk super kecil yang dibungkus dengan nama Covid-19 membuat manusia yang selama ini merasa hebat tunduk tak berdaya. Namun, bagi manusia yang tak lagi tersisa iman dalam diri, Covid-19 pun menjadi tempat empuk menguras “pundi-pundi menggunung” bagi memperkaya diri atau golongannya. Entah ini yang dimaksud Allah dalam QS. al-Baqarah : 8 bahwa “Dan di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman”.
Terlepas dari apa yang terjadi, namun ada yang menarik dari Covid-19 dan upaya pencegahan yang dianjurkan untuk dilakukan saat ini, antara lain anjuran “memakai masker”. Meski hubungan Covid-19 dengan masker dapat dijelaskan secara gamblang melalui pendekatan medis, namun peristiwa tersebut secara konteks kemanusiaan dapat dihubungkait dengan pendekatan agama.
Meski banyak ayat, hadis, fatwa, bahkan pepatah leluhur yang menjelaskan untuk waspada terhadap mulut, namun agaknya tak lagi terkendali mulut digunakan selama ini sehingga harus ditutup oleh wabah Covid-19.
Di antara hubungkait tersebut antara lain : Pertama, mulut merupakan salah satu pemantik sumber dosa. Apa yang dimasukan melalui mulut acapkali tak dipedulikan lagi, baik zat maupun sifat atas apa yang masuk melalui mulut. Karena yang masuk tak lagi jelas zat dan sifatnya, maka yang keluar dari mulutpun seringkali buah dari apa yang masuk melalui mulut. Pernahkan ada sedikit waktu untuk manusia memikirkan hal ini untuk menilai dirinya. Hampir dialpakan. Kalau pun ada, hanya seketika saja dikalahkan oleh nafsu kepentingan.
Kedua, mulut pengumbar firnah, menggunjing sesama, janji yang tak ditepati. Hal ini dinyatakan Allah di antaranya pada Q.S. al-hujurat : 12, bahwa Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Meski agama secara tegas dan jelas agar manusia menjaga mulut, sayangnya firman Allah tak mampu menyekat lidah menari di medan mulut mencari sejuta alasan pembenaran atas kesalahan yang dilakukan. Bahkan, meski telah ditutup oleh Covid-19 melalui masker, ternyata tak juga mampu menghilangkan “hobi lidah menari” membenarkan keinginan demi kepentingan.
Ketiga, mulut sumber kata menggores luka. Bak kata bijak para ulama mengatakan, “Lidah itu sangat kecil dan ringan, tapi bisa mengangkatmu ke derajat paling tinggi dan bisa menjatuhkanmu di derajat paling rendah” (Imam Ghazali). Atau “Lidah itu seperti singa, jika kamu membiarkannya lepas, ia akan melukai seseorang” (Ali bin Abi Thalib).
Betapa banyak manusia acapkali menggunakan lidah yang “bersilat memelintir” untuk memperoleh kedudukan dan tumpukan harta. Anehnya justeru mereka yang sering memperoleh berbagai peluang. Meski sadar tak memberi manfaat bagi umat, namun mendapat perhatian lebih menjadi pengawal keinginan.
Keempat, membangun karakter munafik dengan bungkusan kata indah mencitrakan kebaikan diri, namun menyimpan racun berbisa nan mematikan. Agaknya, apakah ini petanda akhir zaman. Bak pepatah “tong kosong, nyaring bunyinya”. Atau “mereka yang membual sebenarnya tidak punya apa pun.” Namun, anehnya masyarakat justeru senang dibohongi dan berulangkali dibohongi oleh lidah yang menari-nari dengan sejuta janji. Meski ada pepatah “jangan jatuh dilobang yang sama”. Harusnya, masyarakat tak lagi bisa dibohongi, tapi tetap saja ditipu dan diperdaya. Atau mungkin inilah gambaran bahwa semua sebenarnya adalah para penyenang kebohongan sehingga harus ditutup dengan masker oleh wabah Covid-19.
Kelima, mulut medan bagi bersilat lidah. Yang benar bisa salah dan yang salah bisa menjadi benar. Semuanya tergantung lidah menari di medan mulut yang “berbau busuk”. Sungguh mulut memiliki punggawa bernama lidah yang bagai “pisau sembilu”. Tajam dan mematikan. Meski banyak manfaat bila digunakan secara bijak dengan ruh tuntunan agama, namun bisa membunuh bila di tangan manusia tanpa iman.
Namun, mulut sebagai medan bermainnya lidah akan dapat memberi manfaat kebaikan, tatkala manusia sadar akan dirinya. Gerak mulut dan lidah dikontrol untuk selalu terjaga, antara lain :
Pertama, perbanyak zikir dan menghadirkan Allah dalam setiap perbuatan.
Kedua, berkata yang baik atau diam bila tak perlu. Lihat firman Allah QS. al-Isra’ : 23 dengan kata qaulan kariima (kata yang mulia), QS. an-Nahl : 125 dengan kata billati hiya ahsan (kata yang baik), Q.S. al-Ahzab : 70 dengan kata qaulan syadidan (kata yang benar),
Ketiga, jaga mulut karena akan diminta pertanggungkawabannya di hadapan Allah. Hal ini terlihat pada firman Allah “…Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18] .
Tamsilan memakai masker dengan menutup hidung dan mulut di saat Vovid-19 tak obahnya sosok mayat yang ditutup mulut dan hidung ketika dikafan. Sungguh nilai yang patut dipikirkan. Bila dengan kondisi ini manusia tak juga memperhatikan semua yang terjadi sebagai “ayat-ayat Allah”, maka nistalah diri. Tatkala di saat pandemi dengan memakai masker saja (bagai mayat hidup) tak mampu memperbaiki diri, bagaimana mungkin tatkala pandemi ini sudah sirna di muka bumi. Atau bahkan, kalau pun benar-benar sudah menjadi mayat, dihadapan Allah pun mulut dan lidah akan terbiasa “menari-nari” mencari alasan membenarkan apa yang dilakukan dipengadilan Ilahi.
Semua terserah kita, apakah akan menjadi lebih baik, atau mulut akan semakin menggila di tengah gilanya wabah Covid-19 ini.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos, senin tgl. 2 Agustus 2021