Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Perintah puasa diawali dengan kata “hai orang-orang yang beriman…”. Sungguh panggilan istimewa dari Allah pada hamba-Nya. Tatkala ibadah lain acapkali Allah menggunakan kalimat “tijarah” pada manusia dengan perkalian derajat atau fadhilah yang dilipatgandakan, namun untuk puasa Allah langsung yang akan menggandakannya. Hal ini sesuai hadis qudsi, bahwa dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya (manusia) kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Panggilan istimewa dari Allah agar manusia berpuasa seyogyanya dijawab oleh hamba dengan jawaban “aku tergolong orang yang bertaqwa”. Jawaban ini tertera pada akhir ayat QS. al-Baqarah 183. Namun, apakah panggilan Allah telah mampu dijawab atau belum sama sekali dijawab oleh hamba-Nya. Bila puasa ibaratkan air dan aktivitas puasa yang dijalankan oleh hamba bagai media (batu dan daun talas), maka ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh hamba atas panggilan Allah tersebut, antara lain :
Pertama, menjawab panggilan Allah dengan pendekatan syariat, yaitu melaksanakan puasa sesuai tuntunan fiqh. Panggilan Allah yang dijawab dengan ibadah zhahir. Hal ini baik, namun tak mampu menyentuh wilayah bathin. Eksistensinya bagai siraman air di daun talas. Daun talas menjadi basah selama air menyirami daunnya. Namun, tatkala hujan berhenti, mentari bersinar memanaskan bumi, air di daun talas pun seiring kering tanpa bekas. Seakan hujan tak pernah jatuh di daunnya. Begitu pula perumpamaan ini pada puasa secara zhahir. Memang keindahan dan aktivitas puasa akan terlihat begitu meriah selama bulan ramadhan. Namun, tatkala ramadhan berlalu berganti bulan-bulan setelahnya, aktivitas ramadhan tak terlihat membekas pada bathin yang memerintahkan lahiriyah beraktivitas yang mencerminkan ramadhan. Seakan, ramadhan hadir hanya membasahi sisi kemanusiaan, namun tak mampu membekas pada sisi kehambaan. Akibatmya, ramadhan hanya mampir sebentar dalam sisi kehidupan, namun nilai-nilainya hanyut tanpa bekas dari tontonan praktik komunikasi vertikal dan horizontal seirama bergantinya bulan.
Kedua, menjawab panggilan dengan pendekatan bathin secara personal, namun alpa sisi zhahir (sosial). Kenikmatan ramadhan hanya keindahan yang dirasakan secara individual, namun bentuk keshalehan sosial tak mampu terlihat karena keasyikan personal yang lebih dituju. Jawaban panggilan semacam ini bukan pilihan bijak. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga” (HR. Tirmidzi).
Ketiga, menjawab panggilan Allah dengan mensinergikan zhahir dan bathinnya. Zhahir menyesuaikan syariat, sedangkan bathin merasakan nilai-nilai ramadhan untuk diukir dalam hatinya dengan ukiran seluruh nilai ramadhan. Ramadhan baginya adalah tetesan air cinta Allah yang menyiram zhahir dan bathin. Tak ingin melepas ramadhan kecuali dengan membekaskan ramadhan pada diri, bagai tetesan air yang mampu membuat batu yang keras berlobang (peristiwa Ibnu Hajar). Dengan ramadhan yang membekas pada sisi rohani, memberikan perintah pada jasad untuk beraktivitas sebagai orang yang bertaqwa, sekaligus menjawab panggilan Allah dengan iman, amal, dan akhlak terpuji. Hal ini maksud kenapa Allah mengkhususkan ibadah puasa antara hamba dan Allah, sebab puasa yang bersinergi zhahir dan bathin akan terhindar dari penyakit riya’ dan memamerkan ibadah. Untuk itu, Allah sandarkan puasa kepada diri-Nya.
Sungguh, dari ketiga jenis jawaban atas panggilan Allah pada perintah puasa di atas, maka pertanyaan selanjutnya pada posisi manakah kita ?. Apakah puasa bagai air yang menetes di daun talas yang lunak tapi tanpa bekas atau air yang menetes pada bongkahan batu yang keras tapi mampu melubanginya. Hanya kita yang mampu menjawabnya secara jujur. Semoga ramadhan tahun ini merupakan ramadhan terbaik kita persembahkan sebagai hamba pada Sang Pencipta. Munajat dan pinta pada Allah, semoga ramadhan tahun ini mampu membekas ihsan pada bathin dan menampilkan akhlak pada zhahir. Mungkin ramadhan tahun ini merupakan kesempatan terakhir bagi kita memeluk ramadhan dengan iman. Sangat beruntung hamba yang mampu menjawab panggilan Allah dengan iman, Islam, dan ikhsan yang memancar akhlak mulia pasca ramadhan. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 19 April 2021