Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Kehadiran sosok pemimpin sangat diperlukan. Namun, tak semua pemimpin visioner hadir dalam kapasitas ideal dan mampu merealisasikan tanggungjawab yang besar. Ada beberapa tipikal pemimpin, antara lain :
Pertama, pemimpin visioner yang berjiwa besar, mengayomi, bijaksana, serta siap dan mampu memikul tanggungjawab yang besar. Rasulullah bersabda “Ibnu Umar r.a berkata: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tangggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Sungguh, kamu sekalian pemimpin akan ditanya (diminta pertangggung jawab) dari hal yang dipimpinnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas memperlihatkan sosok pemimpin visioner yang memiliki tanggungjawab besar atas apa yang diamanahkan padanya. Pemimpin visioner bijak dalam mengambil pijakan, santun dalam memberi arahan, serta sabar dan adil dalam mengambil keputusan. Kepribadiannya tangguh dengan idealisme yang konsisten. Sikap inklusif untuk menerima masukan pihak luar (kelompok intern atau ekstern) dengan menyaring informasi secara bijaksana. “Telinganya” tipis oleh tangisan fakir miskin dan kaum teraniaya. Namun, “telinganya” tebal akan celaan mereka yang kebiasaan mementingkan diri dan kelompok yang “kebiasaan lamanya terusik”.
Kedua, pemimpin besar lahir melalui kontinuitas dan sinergi pemimpin sebelumnya. Pemimpin besar membangun mata rantai dengan ulama dan ilmuan sebagai “pengawal” untuk menjaga marwahnya. Bagi pemimpin besar, ulama dan ilmuan bagai “mata elang” yang terbang tinggi melihat bumi. Namun, elang tak lupa turun ke bumi untuk ikut bersama makhluk bumi atas apa yang dilihatnya. Nasehat ulama didengar sebagai pijakan, masukan ilmuan diperhatikan untuk dilaksanakan. Apa yang dilakukan memberi acuan bagi pengembangan pembangunan masa depan dengan pijakan yang terukur. Pondasi pembangunan dan sejumlah rencana pengembangan disiapkan untuk dilanjutkan oleh penerusnya. Tatkala pemimpin visioner hadir sebagai kelanjutan estafet kepemimpinan sebelumnya, pijakan kebijakannya berupaya merealisasikan mimpi besar pemimpin terdahulu dengan acuan yang telah disusun sebelumnya. Beberapa modifikasi dan improvisasi dilakukan agar rencana yang telah disusun pemimpin sebelumnya mampu diwujudkan. Pemimpin visioner tak ingin terjebak oleh syahwat pribadi yang mengantarkan pelaksanaan pembangunan harus berawal pada KM 0. Sebab, kepemimpinan adalah kontinuitas atas kepemimpinan sebelumnya, bukan mengambil titik KM 0.
Bila setiap pemimpin menyiapkan mimpi besar dan realisasinya dilanjutkan oleh pemimpin sesudahnya, maka pembangunan akan dapat diwujudkan secara efektif. Sikap ini akan mengantarkan kesejahteraan universal yang dirasakan umat. Hal ini merupakan buah manis yang ditanam oleh kontinuitas pemimpin-pemimpin visioner yang bersinergi.
Pilihan “tim penguat” ditunjukan oleh Rasulullah melalui sosok khulafautrasyidin. Hadirnya sosok Abu Bakar Siddiq yang obyektif (siddiq) dan ‘alim, Umar bin Khattab penjaga keamanan dan melindungi, Usman bin Affan sosok penyandang dana yang dermawan, dan Ali bin Abi Thalib sosok ilmuan cerdas dan tqwadhu’. Kekuatan empat pilar ini perlu dimiliki oleh pemimpin visioner bila ingin lepas dari rantai KM 0.
Namun, bila pemimpin dikelilingi mereka yang bukan ahlinya atau hanya berpikir kepentingan personal, maka akan bermuara pada kenestapaan. Seorang ulama dan ilmuan sejati tak pernah menyatakan dirinya ulama dan ilmuan. Meski masyarakat luas menilainya sebagai ulama dan ilmuan sejati. Bila sosok demikian mengelilingi pemimpin, maka kepemimpinan akan terarah dan menyejukkan. Eksistensinya menjadi pelita digelapnya malam atau kompas agar tak tersesat. Sedangkan bila diri menyatakan dirinya ulama dan ilmuan, sungguh sebenarnya pernyataan sebaliknya. Apalagi masyarakat tak pernah menilainya sebagaimana dimaksud. Bila sosok ini mengelilingi seorang pemimpin, maka menyuburkan kegagalan dan stagnasi capaian. Eksiatensinya akan menyulut percikan api yang membakar rumah kebersamaan.
Ketiga, pemimpin tanpa mimpi besar dan bangga berangkat dari pijakan KM 0. Ia hanya bermimpi dengan mimpi diri sendiri dan mengawali kepemimpinannya dari KM 0. Masa yang diamanahkan padanya terbuang percuma hanya memikirkan pondasi KM 0. Karakter kepemimpinan seperti ini akan menjadikan pembanguan berjalan stagnan, bahkan mundur. Masa kepemimpinannya hanya melakukan aktivitas rutin tanpa improvisasi dan modifikasi percepatan tercapainya tujuan pembangunan. Sifat gengsi melanjutkan mimpi pemimpin sebelumnya (dengan berbagai varian alasan) disuburkan rasa ingin dinilai hebat akan memantik ego sektoral negatif.
Persoalannya, apakah kita ingin bermimpi ? Bila demikian, lanjutkan tidurmu, maka mimpimu akan berkelanjutan. Atau kita ingin merealisasikan mimpi ? Bila demikian, bangunlah dan mulailah berusaha menggapai mimpi tersebut dengan upaya maksimal.
Pilihan tentu ada pada setiap diri. Sebab sekecil apapun kita semua adalah pemimpin. Pemimpin besar berawal dari pemimpin kecil yang berhasil mewujudkan mimpi besar. Sedangkan pemimpin kecil hanya bermimpi besar, namun tak mampu merealisasikan mimpi yang kecil. Sementara ada pula yang tak pernah punya mimpi dan tak mengerti merealisasikan, namun hanya menyalahkan orang bermimpi dan berusaha merealisasikan mimpinya.
Wa Allahua’lam bi al-sawwab
Terbit di Harian Riau Pos Tgl. 1 Nop 2021