Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Geliat berita hoax bagai cendawan di musim penghujan. Trend modern yang seakan menjadi hobi, profesi, atau karakter negatif yang seakan membumi. Meski pelaku telah banyak yang terjerat UU ITE akibat melakukan penyebaran berita hoax, namun sepertinya kalah oleh “kepuasan hoax” yang dirasakan.
Dalam konteks Islam, penyebaran berita hoax merupakan perbuatan tak terpuji (dilarang). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula)” (QS. an-Nur : 11).
Kata bijak perlu direnungkan, “bagi sahabat, kesalahanmu tak akan mengurangi kepercayaannya padamu. Tapi bagi musuhmu, sejuta kebenaran yang kamu miliki, tak akan berpengaruh baginya untuk percaya dan akan tetap menilaimu dengan penilaian yang negatif”. Kata bijak yang saat ini sangat mudah dilihat pembuktiannya.
Ada beberapa penyebab munculnya trend semaraknya penyebaran hoax yang terkadang menyulut terjadinya fitnah, antara lain :
Pertama, trend munculnya malas berpikir, indikasi kualitas berpikir yang rendah, atau tak mau dan tak mampu menggunakan akal sehatnya untuk berpikir lebih bijak. Pola hidup serba instan ikut menyuburkan perilaku malas berpikir bijak. Semua informasi ditelan mentah-mentah tanpa disaring dan dianalisa terlebih dahulu kebenaran dan kebermanfaatannya. Seakan, apa yang diterima adalah benar belaka. Sayangnya, berita yang diperoleh terkadang dipilah atas dasar kepentingan subyektif yang digunakan untuk “menikam” musuhnya. Sedangkan berita yang berpihak pada “lawan” disingkirkan dan “dipeti es kan”. Melihat fenomena ini, berita yang disebarluaskan ternyata disaring dengan saringan “kepentingan subyektif”.
Kedua, kekecewaan atas apa yang terjadi atau atas sosok sumber yang dituju oleh berita hoax. Acapkali, pilihan menyebarluaskan berita hoax bertujuan untuk “membunuh karakter” lawan. Sungguh, penyebar hoax tak memiliki keberanian bila berhadapan langsung dengan lawan. Pilihan berita hoax merupakan senjata untuk menutupi ketidakberaniannya. Pilihan musyawarah dan “tabayyun” sebagaimana diajarkan Islam bukan menjadi pilihannya. Padahal, Allah mengajarkan hamba melalui firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hujurat : 12).
Ayat di atas menjelaskan agar umat bijak dan memeriksa secara mendalam saat menyampaikan berita (khabar). Jika seorang fasik (terbiasa membuat dan mebyebarkan hoax) datang membawa suatu berita, maka periksa dan selidiki kebenarannya. Konteks ayat ini secara tegas melarang manusia percaya, menyebarkan, apalagi justeru membuat berita hoax atas sesaamanya. Sebab, pembuat dan penyebar hoax atas sesama merupakan pribadi keji yang perlu dijauhi.
Ketiga, karakter diri menyenangi bila melakukan penyebaran hoax dan senang bila mengumbar fitnah atas sesamanya. Ada beberapa karakter manusia yang menyenangi hoax dan fitnah, antara lain : (1) selalu mencari kesalahan orang lain dan menutup mata atas kebaikan orang lain. (2) senang menceritakan aib saudara bila berada dibelakang, tapi bermulut manis bila berhadapan. (3) senang bila melihat saudaranya gagal dan tak mau menerima bila saudaranya sukses. (4) senang menambah berita agar bisa menarik dan meyakinkan orang lain atas berita yang disampaikan. (5) menghalalkan segala cara (material atau immaterial) agar tujuannya tercapai untuk membagun ‘aib lawan. (6) menelan informasi mentah-mentah tanpa berusaha mencari fakta kebenaran atas berita yang diperoleh.
Sungguh, media sosial saat ini hadir bagai pisau yang sangat tajam. Tergantung siapa yang akan menggunakannya. Bila yang menggunakan orang yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia, maka media sosial akan bermanfaat menyebarkan kebenaran dan kedamaian. Namun, bila yang menggunakan tanpa dasar akhlak mulia, maka media sosial akan berubah menjadi mesin pembunuh massal yang menghancurkan peradaban manusia.
Lalu, apa yang diharapkan oleh pembuat dan penyebar berita hoax yang begitu intens melakukannya ? Apakah tanpa sadar sesungguhnya apa yang dilakukan akan mempertontonkan nistanya kualitas diri sendiri dihadapan umum ?
Terkadang, sungguh membingungkan. Bila hoax dibuat dan disebarkan oleh masyarakat biasa-biasa saja, mungkin masih bisa dimaklumi. Kualitas sebaranmya pun tentu sangat terbatas. Namun, bila hobi negatif ini dilakukan oleh masyarakat “strata atas”, agak sulit bisa dimaklumi dan sasarannya jauh akan lebih luas.
Sungguh, semuanya tergantung atas kualitas diri. Bahkan, terkadang manusia juga “berburuk sangka” pada ketetapan Allah. Padahal kekerdilan diri menjadi penyebab adanya hijab tak mampu melihat rahasia-Nya. Trend hoax merupakan upaya manusia “kerdil” menutupi ketakmampuan sebenarnya. Tentu, semua terpulang pada setiap diri untuk mempertontonkan kualitas yang sebenarnya. Berpihak pada ajaran agama atau justru sedang bermain-main (memperjualbelikan) dengan asesoris dan mengatasnamakan agama.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tanggal 07 Mei 2021