Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Belakangan ini, banyak persoalan yang melukai hati dan akal sehat. Semua disebabkan gagalnya manusia melaksanakan amanah, minimal menjadi pemimpin untuk dirinya. Walau sosok pemimpin ideal sulit ditemukan, tapi tak mustahil didapatkan. Meski sesulit bak menemukan”jarum ditumpukan jerami”. Sungguh, sosok pemimpin ideal hadir karena “ia dihadirkan-Nya”, bukan diciptakan seseorang atau dipaksanakn hadir oleh komunitas, apalagi dikondisikan dengan paksaan dan tipu daya pundi-pundi yang menyilaukan. Eksistensi pemimpin ideal acapkali tak terpublikasi atau keengganannya mengikuti “permainan dunia”. Semua muncul oleh sikap tawadhu’ yang dimiliki. Sebab, ia sadar akan sulitnya tampil jujur oleh tradisi politik “belah bambu” yang lebih dominan berupaya menyingkirkan pemilik kejujuran. Andai publik mengenal, acapkali kurang mendapat tempat yang sepatutnya. Sebab, sosoknya tak mengenal tradisi “makan siang gratis” dan politik “orang siapa” yang lebih populer. Sosoknya lebih mengedepankan obyektivitas, kualitas, aturan, dan karakter mulia (adab), bukan basa-basi atau cari muka, apalagi “janji dan pundi” yang menggiurkan.
Pemimpin ideal bagai sebutir mutiara dihamparan pasir pantai. Eksisistensinya ada, tapi sulit ditemukan atau terbiarkan oleh sentuhan ganasnya ombak yang mencecah dan menyapu pantai. Sementara sosok yang minta-minta jadi pemimpin (kadang tanpa kemampuan) lebih mudah ditemukan. Sosoknya bagai hamparan pasir pantai yang sangat mudah dicari atau bagai menemukan kacang goreng yang dijual dipinggir jalan.
Sungguh, naluriah manusia suka dimuliakan, meski belum tentu dirinya memiliki kemuliaan dan layak dimuliakan. Bagi pemimpin yang memiliki kemulian, kehadirannya akan membawa kemuliaan pula pada seluruh (alam semesta) yang dipimpinnya. Berbeda dengan sosok yang ingin menjadi pemimpin tapi tak memiliki kemuliaan diri. Kehadirannya tak mampu membawa kemuliaan pada sesama, justeru kehadirannya hanya akan menjadi malapetaka pada lingkungan dan seluruh (alam semesta) yang dipimpinnya.
Padahal, eksistensi seorang pemimpin yang ideal diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai Dawud, sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.
Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (QS. Shad : 26).
Ayat di atas diperjelas oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadis di atas demikian jelas mengingatkan manusia ketika memperoleh amanah sebagai pemimpin. Namun, firman Allah dan sabda Rasulullah terkadang tak lagi diperdulikan dan dianggap tak relevan lagi menjadi acuan karena ketinggalan zaman. Mungkinkah ini yang dimaksud firman Allah dalam QS al-Ma’uun : 1 sebagai “pendusta agama”. Ketinggian agama dijual untuk “penutup borok” yang menganga, atau “tempat persembunyian” dari terungkapnya perilaku zalim. Bak pepatah Melayu mengatakan : ” Tempat yang paling aman adalah tempat yang paling berbahaya (tempat yang dinilai tak mungkin *pen). Penjahat yang pintar membasuh muka dengan batu dan tidur beralaskan aliran air”. Sungguh nasehat yang mengandung makna sangat dalam, namun terlupakan atau sengaja dilupakan.
Semua manusia ingin memimpin, tapi tak sadar bahwa tak semua manusia layak menjadi pemimpin. Sosok pemimpin dihadirkan Allah dan mampu diterima alam semesta, bukan dikondisikan manusia dan ditolak oleh alam serta “penduduk langit”. Bahkan, ketika dilihat dari hamparan alam dan unsur-unsur penciptaan manusia menjelaskan diterima atau ditolak oleh alam melalui sifat yang harusnya dimiliki seorang pemimpin, namun manusia tak pernah menyadarinya. Unsur-unsur alam sebagai wujud eksisternsinya “dihadirkan Allah” tersebut antara lain :
Pertama, pemimpin bagai matahari. Ia menjadi pedoman untuk menentukan arah bagi manusia. Ia memancarkan cahaya memanaskan bumi dengan sejuta manfaat. Ia berputar sesuai aturan (sunnatullah) dan tak pernah melanggar aturan yang digariskan. Dengan berpedoman pada rotasi matahari, seluruh alam semesta berjalan harmonis dan tercipta kedamaian. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya” (QS. al-Anbiya’ : 33).
Melalui ayat di atas, Allah mengarahkan perhatian manusia agar memperhatikan kekuasaan-Nya dalam menciptakan waktu malam dan siang. Allah menciptakan malam untuk istirahat dan siang untuk mencari penghidupan. Allah menciptakan matahari yang bersinar di waktu siang dan bulan yang bercahaya di waktu malam. Masing-masing beredar pada garis edarnya dengan setia, patuh dan tunduk kepada hukum Allah SWT.
Bayangkan bila matahari dan bulan tak lagi dapat dijadikan pedoman, beredar tak lagi sesuai pada garis edarnya, arahnya tak dapat diprediksi, sinarnya terang tapi melukai, geraknya tak lagi menempati janji, maka alam semesta yang demikian besar akan binasa. Apatahlagi manusia akan demikian mudah hancur entah kemana. Demikian sosok pemimpin. Eksistensinya bagai matahari dan bulan, melaksanakan amanahnya sesuai dengan aturan, menjadi pedoman dan suluh bagi seluruh yang dipimpinnya, dan memberi manfaat bagi sesama. Sosok pemimpin ini bagai matahari, menjadi pedoman dan membawa cahaya bagi alam semesta. Namun, bila sosok pemimpin tak lagi taat aturan, eksistensinya tak dapat menjadi pedoman, menyebarkan kegelapan, dan hadirnya hanya bermanfaat pada segelitir kelompok manusia, maka sosoknya tak lagi mampu sebagai matahari. Bila hal ini terjadi, sebagaimana matahari tak lagi berjalan sesuai sunnatullah. Alam semesta akan hancur dan kedamaian tak akan terwujud.
Kedua, pemimpin bagai rembulan. Kehadirannya menyejuk-kan jiwa dan dinantikan semua. Sinarnya anggun tak menyilaukan mata, namun mampu menerangi seluruh alam ketika gelap gelita (suluh bagi kegelapan). Ia mampu membangunkan “gelora samudera” yang luas (ombak pasang), tapi mampu “menjinakkan samudera” (surut) pada waktunya. Demikian sosok pemimpin seyogyanya hadir bagai rembulan. Lembut dan menyejukkan, tapi berkarakter unggul. Dalam keteduhannya mampu menggelorakan semangat untuk membangun peradaban. Hadirnya dinantikan dan dibanggakan. Karakternya dinukilkan dalam bait-bait syair kebahagiaan bak “rembulan”.
Namun demikian, Allah mengingatkan pada manusia agar tatkala menjadi pemimpin (aspek matahari atau bulan) agar tidak mengambil hak Allah sebagai zat yang wajib disembah. Sebab, hal ini dilarang oleh Allah. Tatkala pemimpin minta “disembah”, baik secara langsung atau tak langsung, maka sosok demikian telah nyata tergelincir dalam kesesatan. Hal ini sebagaimana penyembahan yang dilakukan pemimpin dalam varian sosok Fir’aun dan Namrudz. Peringatan Allah yang demikian tegas termaktub dalam firman-Nya : “Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, mata-hari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya” (QS. Fusshilat : 37).
Ketiga, pemimpin bagai angin. Ia peka dan bermanfaat terhadap lingkungan. Eksistensinya terasa meski tak perlu dilihat okeh yang merasakan. Kehadirannya hanya terlihat dari “karyanya” (goyangan pepohonan) yang mampu menjadikan “perkawinan serbuk sari”, bukan hanya sekedar mengandalkan fisik atau nama besar yang disandangnya. Meski ia mampu mengoyangkan dan meluluhlantakkan alam, tapi mampu hadir semilir bersahabat membuat “alam terlena”. Ia mampu menjadi kekuatan yang bermanfaat (hadir menjadi tenaga listrik) melalui kincir-kincir yang berputar. Ia hadir memberi manfaat, tapi tak pernah menampilkan wujud diri untuk mendapat pujian. Terkadang, ketika angin menampakkan kekuatannya, ia mampu meluluhlantakkan apa yang ada. Meski sering mendapat cercaan, angin tak pernah membalas cercaan makhluk padanya.
Keempat, pemimpin bagai tanah. Ia hadir siap menerima apapun jua dengan mengedepankan sejuta manfaat. Meski ia acapkali “disakiti” dan tempat muara “kotoran”, tapi ia terima dengan lapang dada. Ia balas “kotoran” dengan mencernanya menjadi pupuk dengan kebaikan tumbuhnya sejuta tanaman yang bermanfaat bagi alam semesta. Bahkan, ketika manusia mati, ia peluk dengan cinta agar “aib manusia” tak mencederai kemanusiaan dan merusak alam semesta. Bau menyengat tubuh manusia ketika menjadi bangkai, ia balut dengan “pelukan” agar tak mengganggu dan merusak tatanan lingkungan. Demikian seyogyanya sosok pribadi pemimpin yang hadir bagai sifat tanah. Eksistensinya menumbuhkan kebajikan, meredam aib sesama, mensucikan yang najis (bukan mengotori yang suci), menyadarkan yang keliru, membangun kerendahan hati (tawadhu’), dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Kelima, pemimpin bagai api. Ia siap menjadi kawan dan lawan. Ia menjadi kawan ketika ia dihargai. Ia akan memberikan cahaya, suluh, dan penuntun menerangi gelapnya malam. Ia mampu menghadirkan kehangatan bila musim dingin tiba, bahkan membantu manusia memenuhi kebutuhan hidupnya (alat memasak). Tapi, tatkala ia tak lagi dihargai dan tak dimanfaatkan secara benar, maka ia akan hadir menjadi lawan atas kezaliman untuk memenangkan kebajikan. Ia mampu membakar apapun yang ada di alam semesta tatkala genderang kezhaliman ditabuh. Perlawanan atas “kecerobohan dan kerakusan” manusia yang menentang ayat-ayat Allah. Hal ini sesuai firman Allah :
“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang telah Aku menciptakannya. Dan Aku berikan padanya kekayaan yang melimpah. Dan anak-anak yang selalu bersamanya. Dan Aku berikan padanya kelapangan (hidup) seluas-luasnya. Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambah-nya.Tidak bisa ! Sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat (Al-Qur’an) Kami. Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan” (Q.S. Al-Muddatstsir : 11-17).
Merujuk asbab nuzul ayat di atas, pilihan hanya ada 2 (dua), yaitu menjadi Walid bin Mughirah yang mendapat tuntunan, atau Abu Jahal yang senantiasa mengingkari semua ayat-ayat Allah untuk mendapat “tentengan”. Semua mereka telah memenuhi janji atas janji Allah yang tak mungkin berdusta atas janji-janji-Nya.
Keenam, pemimpin bagai lautan (air). Ketika musim hujan tiba, air laut membawa sampah dan bangkai, tapi tetap mampu menjaga kesuciannya. Hanya membutuhkan beberapa waktu, air laut mampu menyingkirkan semua kotoran ke pinggir pantai dan mempertahankan kebersihan agar seisi makhluk yang “dikandung” terjaga kehidupannya.
Sosok pemimpin cerminan air laut mengisyaratkan pemimpin yang tak terpengaruh oleh “beraneka kotoran dan najis” yang ada disekitarnya, tapi membersihkan dengan kebijaksanaan. Sosok yang tidak menanam dendam dan menyalahkan “sampah”, tapi berhati lapang dan mampu membersihkan sampah dengan kesantunan agar tetap terjaga kebersihan lingkungannya. Ia alirkan sampah ke hilir. Air laut paham bahwa meski sampah, bila di hulu mungkin masih ada manfaatnya bagi manusia.
Sungguh, kebaikan sesuatu yang dinilai secara terburu-buru akan berakibat pada kenistaan yang terburu-buru pula. Demikian pula sebaliknya. Kearifan dan kebijaksanaan elemen masyarakat akan melahirnya sosok pemimpin yang arif dan bijaksana. Sosok pemimpin bukan sosok sempurna. Eksistensinya baru bisa dinilai dan dirasakan ketika ia telah tiada, baik akibat habis masanya atau telah dijemput kematian. Ada pembanding yang membuat penilaian obyektif muncul. Namun, terlepas dari semuanya, perlu diingat bahwa “Allah tak akan mengutus seorang pemimpin pada suatu kaum, kecuali sesuai dengan prilaku (karakter) kaum yang akan dipimpinnya”. Bila pandangan ini dijadikan rujukan dalam melakukan penilaian, maka eksistensi pemimpin dan yang dipimpin bagai 2 (dua) sisi mata uang yang saling berkelindan dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.
Kesemua komponen alam di atas perlu dimiliki setiap pemimpin. Komponen tersebut bersinergi bagai alam memilikinya. Salah satu komponen hilang, maka keseimbangan alam akan sirna dan berakibat musibah dimana-mana. Ketika menimbang sosok pemimpin dengan timbangan alam, maka alam akan ramah. Namun, bila alam diijak-injak dengan menyebar kemudharatan, maka alam akan menjawab dengan kemurkaannya. Tentu pilihan selalu ada bagi setiap diri yang menentukan pemimpin type apa yang akan dipilih. Patut diperhatikan firman Allah : “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” (QS Al-‘An`ām: 129).
Demikian pula sabda Rasulullah : “Sebagaimana keadaan kalian (yang dipimpin *pen), seperti itulah pemimpin kalian” (HR. Baihaqi).
Merujuk ayat dan hadis di atas terlihat jelas hubungkait antara pemimpin dan yang dipimpin (apapun variannya). Eksistensinya bagai dua sisi mata uang. Semuanya akan “dibeli” oleh Allah atas apa yang dilakukan (dijual). Bila yang dipimpin berada pada area kebajikan, maka akan hadir pemimpin yang membawa kebaikan. Namun, bila yang dipimpin berada pada area jahiliah, maka akan hadir pula pemimpin yang membawa kejahilan. Semua “dibeli” oleh Allah secara tunai atas setiap yang ditanam hamba (fujuraha atau taqwaha). Setelah demikian jelas dan nyata ayat-ayat-Nya disampaikan pada manusia, masihkah tetap diingkari dan didustai ? Jawaban yang hanya bisa dijawab oleh setiap manusia sesuai kualitas diri yang sebenarnya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 31 Oktober 2022