Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh banyak tanda-tanda kebesaran Allah yang terlepas dari perhatian manusia. Padahal, terkadang ayat-ayat tersebut berada paling dekat dan ada pada setiap diri. Semua ada maksud, meski tak semua mampu mengupas rahasia ciptaan-Nya. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : ” …Ya Tuhan kami, tidak-lah Engkau menciptakan semua ini sia-sia …” (QS. Ali Imran : 191).
Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas menjelaskan bahwa akal dan qalbu yang memiliki kecerdasan dapat mengetahui segala sesuatu dengan hakikatnya secara jelas dan gamblang. Mereka memahami bahwa setiap ciptaan-Nya mengandung hikmah yang menunjuk kebesaran penciptan, kekuasaan, pengetahuan, dan rahmat-Nya. Semuanya merupakan bukti atas kekuasaan Allah yang hanya bisa ditangkap oleh orang yang berakal dan mempergunakan pikiran mereka “melihat Allah” dalam gambaran hikmah. Di antara ayat Allah pada diri yang terlupakan meliputi :
Pertama, Air liur tawar rasanya. Allah menjadikan air liur tawar agar lidah bisa merasakan semua rasa yang ada. Dengan rasa tawar, lidah mampu membedakan berbagai macam rasa makanan, minuman, atau apapun yang masuk ke mulut. Melalui kemampuan rasa yang ditangkap oleh air liur, manusia mampu memilih dan memilah segala sesuatu sebelum masuk (ditelan) dalam tubuhnya.
Pada masyarakat tradisional, air liur dianggap steril (desinfektan) yang dipercaya dapat menyembuhkan luka (kecil). Padahal, secara medis ada lebih dari 600 jenis bakteri pada mulut dan air liur yang dapat menyebabkan infeksi. Terlepas pemahaman tradisional tersebut, air liur sangat penting bagi manusia, antara lain : memecah makanan dalam mulut agar dapat dirasakan oleh lidah dan lebih mudah dicerna oleh perut, membersihkan makanan dan sel-sel mati dari lapisan mulut, mengikat makanan menjadi bola agar mudah ditelan, membersihkan makanan dan bakteri dari gigi, mencegah lapisan mulut kering, menghancurkan atau mencegah pertumbuhan jamur tertentu, menetralisir asam pada makanan dan minuman, serta membantu menumbuhkan enamel gigi yang rusak.
Sungguh, air liur yang dianggap sesuatu yang menjijikan, ternyata memberi manfaat yang sangat besar bagi manusia. Di tengah manusia yang dianggap atau merasa mulia tak mampu memberi manfaat pada sesama. Atau bahkan hanya memberi kesengsaraan dan mudharat pada alam semesta. Ternyata, air liur mengajarkan makna sabda Rasulullah : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, dan ad-Daruqutni).
Pada aspek lain, manusia seharusnya belajar dengan tawarnya air liur dalam berinteraksi dengan alam semesta. Berpikir dan menempatkan objek interaksi pada titik 0 agar mampu menilai sesama dengan bijak. Tak ada subyektifitas dikedepankan, apalagi diawali rasa kebencian. Bila ada kebaikan dalam interaksi, maka diambil untuk menyehatkan dirinya. Namun, bila interaksi bernilai negatif dan merusak diri, maka “luahkan” agar tak meracuni dirinya. Namun, manusia pada umumnya tak pernah belajar dengan air liurnya dalam berinteraksi. Seakan, rasa air liurnya acapkali berubah-ubah sesuai tujuan dan siapa objek interaksinya. Bila objek interaksi dari kalangan bangsawan, punggawa, atau pemilik strata sosial yang tinggi, maka meski yang dirasakan pahit atau asin, tapi tetap ditelan dan dinyatakan manis menyehatkan. Tersungging senyum merekah, padahal pahit derita mendera. Lidahnya telah terbiasa beralih rasa sesuai kepentingan dan kebutuhan sesaat. Tak peduli apakah yang ditelan merupakan “racun” yang akan merusak organ tubuh atau mengakibatkan sakitnya diri. Berbeda bila berinteraksi dengan objek yang memiliki status sosial rendah, tak memberi manfaat, atau bahkan sosok yang dianggap “musuh”, madu yang keluar akan dimuntahkan dan dikatakan pahit. Padahal, madu manis menjanjikan kesehatan dan kebaikan, tapi semuanya tak dihiraukan. Sikap ini merupakan karakter manusia berperadaban rendah. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Sesungguh-nya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian” (HR. Muslim).
Rasa tawar air liur mengajarkan lidah untuk berkata jujur (obyektif). Bila manis, katakanlah manis. Bila pahit, katakanlah pahit. Bila salah, katakanlah salah. Bila benar, katakanlah benar, dan seterusnya. Meski demikian, Allah mengajarkan manusia untuk menggunakan lidahnya melalui untaian kesantunan (ahsan). Hal ini dinukilkan melalui firman-Nya : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang bijak…” (QS. an-Nahl : 125).
Ayat di atas mengajarkan hendaknya manusia menjaga dan mengendalikan lidah ketika berbicara hanya pada hal-hal positif yang mengandung nilai kebaikan. Tidak perlu membicarakan hal-hal yang bisa menjerumuskan diri ke lubang kesesatan. Jangan gunakan air liur untuk menghantarkan makanan yang haram (sifat atau zat). Jangan pula lidah digunakan untuk “menjilat” penuh muslihat. Sebab, setelah yang “dijilat” tak lagi ada “rasa” (kuasa), maka ia akan ditinggalkan bagai “mayat hidup” tak berarti dan menjijikan. Sungguh lidah munafik hanya menyisakan busuknya mulut menembus langit dan bumi. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan” (HR. al-Bukhari).
Sungguh pepatah Melayu mengingatkan bahwa “lidah tak bertulang”. Mudah “menari-nari” bila ada kuasa, tapi kelu bila dijepit oleh kesalahan (aib) yang terbuka. Tarian yang acapkali tanpa kendali. Pepatah arab mengatakan “kalau pedang melukai tubuh masih ada harapan sembuh, tapi bila lidah melukai hati kemana obat hendak dicari“. Begitu dahsyatnya bahaya lidah, bahkan sampai mati sekalipun orang akan mengingatnya. Oleh sebab itu, hati-hatilah mengumbar lidah bila berbicara dan gunakan air liur dengan iman agar dapat memilah apa yang akan dimasukan (dirasakan) dalam tenggorokan. Apakah sesuatu yang “najis” (haram) menurut zat maupun sifatnya. Di sisi lain, pepatah mengingatkan “air liur atas” bahwa “air liur atas memang asin dan sakti”. Meski salah, dinilai mulia. Berbeda dengan “air liur bawah” seakan tak berarti, meski benar dinilai salah. Bak pepatah mengatakan kebenaran dari “kaum bawah” bak “meludah ke atas, jatuh ke diri sendiri”. Akibatnya, manusia teraniaya hanya mampu munajat pada Zat Maha Mendengar.
Kedua, Air mata asin rasanya untuk menjaga mata agar terjaga dari kerusakan. Rasa asin berfungsi menjaga dan melindungi mata. Air mata yang keluar membuat mata membersihkan diri dari debu dan menjadikan bola mata tetap sehat. Secara medis, air mata merupakan kelenjar yang diproduksi oleh proses lakrimasi untuk membersihkan dan melumasi mata. Air mata keluar bukan hanya saat manusia menangis sedih, menahan sakit, kebahagiaan, atau saat tertawa terbahak-bahak. Apa pun alasannya, mengeluarkan air mata merupakan hasil dari fungsi anatomi yang wajar dan alamiah. Namun, secara psikologi, air mata keluar dominan karena dorongan emosi, baik emosi secara horizontal maupun vertikal.
Bila emosi secara horizontal berkaitan interaksi diri dan alam semesta, maka emosi vertikal berkaitan interaksi hamba dan Khaliq. Hal ini dinukilkan dalam sabda Rasulullah SAW : “Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah bersabda : ‘Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut pada Allah, sampai air susu kembali ke putingnya dan tidak akan bisa berkumpul debu di jalan Allah dengan asapnya neraka jahanam” (HR. Muslim).
Buya Hamka mengingatkan bahwa “air mata berasa asin karena air mata adalah garam kehidupan”. Demikian dalam makna yang disampaikan. Sebab, dalam hidup ini ada onak dan duri yang harus dilalui, dilihat, dan dirasakan. Untuk itu, air mata secara normal menunjukkan sifat kepedulian dengan sesama. Ketika tangan terluka, telinga atau gigi sakit, hati tergores, maka mata mengeluarkan air mata wujud
emosi manusiawi. Namun, ada pula air mata abnormal yang hanya dimiliki oleh manusia yang mengalami gangguan kejiwaan dan gangguan “kemanusiaan”. Bila mengalami gangguan kejiwaan, maka tentu psikolog yang bisa membantu. Tapi bila mengalami gangguan “kemanusiaan”, maka hanya setiap diri dan hidayah Allah yang mampu mengobati. Gangguan “kemanusiaan” mengeluarkan air mata sebagai strategi tipuan untuk memanipulasi situasi. Fenomena ini dikenal masyarakat dengan istilah “air mata buaya”. Jenis ini berpotensi dimiliki semua manusia tanpa terpengaruh pada jenis kelamin dan sosial. Air mata yang dikeluarkannya hanya sebatas wujud kemunafikan semata untuk mencapai tujuan. Namun, bukan air mata atas dorongan emosi yang sebenarnya sebagai pancaran keikhlasan dan kesyahduan munajat pada Ilahi.
Ketiga, Air telinga pahit rasanya. Secara medis, air telinga pahit akibat hasil sekresi dari kelenjar-kelenjar dalam telinga yang bersifat basa dan lengket. Sekresi memungkinkan telinga tak dimasuki oleh serangga karena cairan yang cenderung lengket dan pahit. Bila makhluk kecil masuk, ia tak akan bertahan lama dan segera keluar dari telinga.
Demikian Allah menjadikan air ditelinga pahit rasanya untuk membunuh kuman dan menjaga telinga dari berbagai hewan yang masuk dalam telinga. Dengan air telinga yang pahit, tak ada binatang yang masuk dan manusia aman untuk istirahat. Bayangkan ketika air telinga rasanya manis, maka manusia akan sulit menjaganya (terutama istirahat) dari gerombolan semut atau hewan lainnya. Demikian kasih sayang Allah Yang Maha Rahim.
Organ pendengaran (telinga) merupakan panca indera yang pertama kali berfungsi sejak bayi dilahirkan. Untuk itu, disunnahkan mengumandangkan azan dan iqomah di telinganya, serta diingatkan untuk mengingat Allah pada saat menjemput sakratul maut agar meraih husnul khotimah. Allah berfirman : “…pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (QS. al-Isra’ : 36).
Penjagaan dan perawatan telinga tak hanya secara fisik semata. Secara rohani merupakan bagian yang tak boleh dilupakan. Imam al-Ghazali berkata, “Hendaknya engkau menjaga telinga. Jangan dengarkan perkara bid’ah (fitnah), pembahasan hal ikhwal orang lain yang negatif, kata-kata jelek, perbincangan bathil, atau bahasan tentang kejelekan-kejelekan orang lain”.
Demikian jelas pesan di atas, namun fenomena berkata sebaliknya. Padahal, secara filosofis, pahitnya air telinga mengajarkan agar manusia berhati-hati menjaga telinganya. Semua informasi yang didengar terlebih dahulu dan dicerna dengan kehati-hatian. Air telinga yang pahit bak meminum jamu yang pahit. Bila suguhan jamu pahit yang menyehatkan, lalu diminum. Tatkala bertemu jamu pahit yang tak bermanfaat, apalagi membawa mudharat, maka segera hindari. Demikian filosofi pahitnya air telinga atas semua informasi yang diterima agar disaring dan difikirkan secara bijak sebagai tanda manusia berperadaban tinggi, bukan bak manusia berperadaban rendah atau tanpa peradaban.
Sungguh, ketiga organ manusia di atas (mulut, mata, dan telinga) berkaitan erat. Allah ciptakan 2 mata dan 2 telinga agar manusia lebih bijak atas apa yang dilihat dan didengar untuk difikirkan secara matang. Sementara Allah ciptakan mulut hanya 1 agar informasi bijak oleh mata dan telinga dinarasikannya dengan penyampaian kebenaran tunggal yang menyejukkan dan mencerdaskan. Namun, bila 2 mata dan 2 telinga (apalagi ada mata-mata dan para pembisik) tak digunakan secara bijak, maka yang akan keluar dari mulut “yang mendua” (munafik) lahirnya narasi (terkadang) pedas, manis tapi menyakitkan, dan menyinggung sesama. Bahkan, bila hal ini terjadi pada “mulut” pemegang amanah, maka akan hadir ketidakadilan (kezhaliman) atas kebijakan dan putusan yang diambil. Meski mulut yang tunggal, namun acapkali menjadi “liar” bagai “seribu sembilu melukai tubuh” dengan “lidah menari” membangun opini kemunafikan dan fitnah. Meski jelas akibatnya yang diperlihatkan Allah sebagai i’tibar, namun manusia acapkali memilih mengulangi kesalahan yang serupa. Seakan, menantang Allah atas mata, mulut, dan telinganya dengan kebebasan tanpa batas. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka mempunyai mata (potensi melihat) tapi tidak menggunakannya untuk melihat (yang baik), dan mereka mempunyai telinga tapi tidak mengguna-kannya untuk mendengar (tuntunan). Mereka itulah yang seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat (hina). Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. al-A’raf : 179).
Sungguh, dalam hidup ini manusia diajarkan menerima keberadaan orang lain dengan segala perbedaan sifat dan karakter. Tujuannya, agar saling menghargai, mengisi, dan tidak menimbulkan permusuhan. Dengan pola pikir yang terbuka (seluas hamparan langit dan bumi), bukan “seperti katak dalam tempurung” yang berpikir sempit seputar “ikat pinggang”. Semua pendapat orang lain berupa kritik tak membuat diri sakit hati dengan dendam kesumat nan abadi, serta berbagai pujian tak pula membuat diri jumawa dan lupa diri. Namun, dalam realita acapkali yang terjadi justeru sebaliknya. Lalu, sudah siapkah air liur, air mata, dan air telinga yang dimiliki setiap diri kelak akan mempertanggung-jawabkan semuanya dihadapan Allah ? Tak ada yang tau, kecuali setiap diri dan pemilik diri (Allah) yang mengetahuinya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 7 Nopember 2022