Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Seminggu sudah hari raya Imlek (2573) dirayakan oleh masyarakat Tionghoa. Tradisi imlek tidak jauh dari kata Ang Pao. Biasanya setiap perayaaan imlek masyarakat Tionghoa memberikan ang pao kepada anak-anak atau orang yang sudah tua, terutama kedua orang tuanya. Ang Pao dalam Bahasa Tio Chu, Ang=merah, Pao=bungkus. Jadi, ang pau adalah bingkisan dalam amplop merah yang berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut tahun baru imlek atau perayaan lainnya.
Secara historis, konon tradisi ang pao berasal dari Dinasti Qin di China pada 221 SM hingga 206 SM. Pada masa itu, orang tua memberikan koin yang diikat dengan benang merah dan diberikan kepada anak-anak. Ang pao diberikan pada perayaan Tahun Baru Imlek menggambarkan kepedulian kepada sesama dan wujud kegembiraan karena diberi kesehatan dan umur panjang. Selain itu, ang pao selalu identik dengan warna merah yang bermakna semangat, keberuntungan, kebaikan, kesejahteraan dan mengusir energi-energi negatif. Bagi siapa saja penerimanya, terkandung harapan akan memiliki nasib yang baik sepanjang tahun ke depan.
Dalam tradisi orang Tionghoa, seseorang terutama bagi yang telah menikah wajib memberikan ang pao. Sebab, pernikahan merupakan batas usia dewasa dan tanggungjawab. Harapannya pemberian ang pao dari orang yang telah menikah diyakini bisa memberikan nasib baik pada diri dan keluarganya.
Menilik tradisi di atas, terlihat ang pau memiliki nilai positif. Nilai tersebut antara lain :
Pertama, pemberian ang pao menyiratkan harapan dari pemberi yang kepada menerima semoga sentiasa bernasib baik sepanjang tahun dengan rezeki yang melimpah ruah. Di dalamnya terkandung semangat berbagi pada sesama. Semangat ini mampu diwariskan secara konsisten turun-temurun, tanpa tergerus oleh gelombang modernisasi.
Kedua, ang pau diberikan pada orang tua dan anak-anak. Simbol kebaktian pada orang tua dan kasih sayang pada yang kecil. Harapan melalui berbagi dengan pilihan orang tua merupakan lambang kebaktian dan penghormatan seorang anak pada orang tuanya. Sedangkan berbagi pada anak-anak merupakan bentuk kasih sayang dan melindungi yang lemah. Pengejawantahan prilaku positif yang perlu dilestarikan. Hal ini bukan hanya dilakukan pada saat imlek, tapi juga acara-acara lain sebagai wujud kebahagiaan.
Ang pao secara tradisi diberikan seseorang secara langsung kepada yang dituju (khusus orang tua dan anak-anak). Sentuhan ini memberi kesempatan interaksi langsung antara si pemberi dan si penerima. Ang pao dalam tradisi Imlek diberikan, bukan diminta (apalagi secara “paksa”). Makna kesadaran internal yang muncul tanpa paksaan menunjukkan keikhlasan.
Ketiga, ang pau wujud kesyukuran atas umur panjang, kesehatan, dan rezeki yang diperoleh. Harapan yang sama agar tahun ke depan memperoleh yang lebih baik. Melalui tradisi saling berbagi, tersisip doa dan harapan kebaikan.
Keempat, menjaga tradisi nenek moyang tanpa tergerus arus globalisasi. Meski peradaban dunia bergerak maju, sisi pemeliharaan atas tradisi leluhur yang terjaga, patut dicontoh oleh semua elemen pengisi peradaban. Bahkan, muncul rasa malu bila tak bisa memberi ang pau meski hanya setahun sekali. Rasa malu ini membangun karakter yang diwariskan turun temurun.
Kelima, motivasi maju dan sukses agar bisa memberikan ang pao setiap tahunnya. Sebab, menjadi kebanggan bila mampu memberi ang pau setiap hari raya imlek. Bahkan, kualitas ang pau memberikan gambaran status sosial dan kekuatan ekonomi yang dimiliki. Motivasi untuk menunjukkan status dan keberhasilan agar mampu memberikan ang pau yang lebih baik menjadi daya dorong untuk lebih maju dari masa sebelumnya.
Di sisi lain, ang pao ternyata tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Ada aturan khusus yang harus dilakukan bila ingin makna berbagi ang pao bisa dirasakan. Dalam konteks ini, ang pau bukan sebatas aktivitas memberi, namun memiliki nilai ritual yang tinggi.
Namun, dalam konteks terbalik (hadir sepanjang sejarah), tradisi bungkus “merah” berubah menjadi bungkus “hitam”. Istilah ini berkonotasi negatif. Pemberiannya terkadang diberiksn secara langsung atau dititipkan melalui orang lain, namun tujuannya sama untuk memudahkan urusan dan menutupi kesalahan (bila ada). Dalam bentuk lain, prilaku bungkus “hitam” bermakna gratifikasi dan rasuah.
Bila ang pau diberikan kepada orang tua dan anak-anak, atau mereka yang kesusahan agar mereka bahagia di hari raya, namun bungkus “hitam” justeru diberikan kepada “kaum kaya dan memiliki pengaruh” untuk melancarkan tujuannya. Dimensi sosial berubah menjadi dimensi kepentingan yang penuh tipu muslihat. Hilang sudah tradisi malu. Hancur sudah karakter kemanusiaan. Hadir kokoh tradisi meminta dan memaksa. Hilang sudah harga diri yang ternyata bisa dibeli melalui pundi-pundi.
Prilaku ini merupakan penyakit kronis yang perlu diberantas secara bersama-sama. Namun, prilaku ini tentu bukan kebiasaan sederhana. Perlu upaya penelusuran mulai hulu (penyebab) dan hilirnya. Meski terkadang penelusuran hulu yang sangat panjang dan berbelok-belok yang dipenuhi duri-duri yang tajam nan “mematikan”. Bila prilaku korupsi hanya melihat tataran aliran menuju hilir semata, maka tradisi negatif ini akan terus terjadi. Bila hulu dapat diketahui, sanksi penyebab (hulu) seyogyanya setingkat lebih tinggi dibanding hilir. Sebab, si penerima memanfaatkan “posisinya” dan mengerti aturan yang secara sadar dilanggar.
Namun, sayangnya tak semua tradisi ini mampu diberantas dari hulu. Sebab, hulu acapkali bagai “hulu ledak nuklir” yang tak mampu disentuh. Sebab, ledakannya justeru mematikan siapa yang menyentuhnya. Kaum “hulu” bagai sisi pisau yang sangat tajam. Siapa yang berani menyentuh justeru akan terluka, tanpa sedikitpun berakibat pada “hulu”. Hanya yang mengetahui cara menjinakkan hulu yang mampu menyentuh dan melumpuhkan “hulu”. Namun, sudah adakah si penjinak yang mampu mematikan hulu ledak tersebut ? Bila sisi hulu sudah bisa dimatikan, proses memindai arus “bingkisan hitam” sampai ke hilir akan dapat dilakukan. Ketika hulu masih bebas mengalirkan air hitam (kekuatan), maka tradisi “bingkisan hitam” tak akan mampu diberantas.
Semoga semangat dimensi “bingkisan merah” (ang pau) membangun karakter yang mampu memotong mata rantai “bingkisan hitam” yang merusak tatanan peradaban manusia.
Wa Allahu a’lam bi al-Shawwab.
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 7 Feb 2022