Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh, semakin peradaban dunia berkembang, kehebatan al-Quran semakin teruji kebenarannya secara ilmiah. Bahkan, kebanyakan keautentikan dan kebenarannya dilakukan dan ditemukan secara scientific oleh pemeluk non muslim. Akibatnya, tak sedikit yang bermuara pada mengimani totalitas isi al-Quran, meski masih menyisakan hanya melakukan kajian ilmiah atas al-Quran secara an sich.
Kajian atas al-Quran bagai menelusuri luasnya alam semesta. Semakin dikaji, semakin ditemukan hal-hal baru yang membuka cakrawala keimanan dan akal budi manusia. Berkorelasi tingginya minat generasi (bahkan usia dini) mempelajari, menelusuri dan menghafal al-Quran, patut dibanggakan. Bahkan, negara ikut andil menyemarakkan al-Quran dengan menunjang berbagai macam jenis program membumikan dan mensyiarkan al-Quran. Sebuah harapan agar generasi semakin dekat pada al-Quran untuk menjadi ruh peradaban, bukan sebaliknya, semakin “katanya berdekatan al-Quran” semakin jauh dari isi al-Quran.
Meski apa yang sudah dilakukan perlu dilanjutkan dan didukung, namun sisi lain al-Quran perlu dikemas, dikembangkangkan, dan diperkuat agar tidak kehilangan makna hakiki yang tertinggi. Hal ini sesuai firman Allah : “al-Quran yang sempurna tanpa keraguan adalah petunjuk (hudan) bagi orang-orang bertakwa (QS. al-Baqarah : 2).
Sebab, eksistensi al-Quran bukan sebatas dipelajari, dibaca, dihafalkan, disemarakkan, dipahami, namun perlu diimplementasikan dalam kehidupan. Hal ini sesuai hadis dari Siti Aisyah radhiyallahu`anhā ketika ditanya mengenai akhlak Rasulullah shallallāhu `alaihi wa sallam, beliau menjawab: “Akhlak Rasulullah adalah Al Quran” (HR Ahmad).
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar apa yang difirmankan Allah dan dipraktekkan Rasulullah dapat diimplementasikan dalam kehidupan peradaban sepanjang masa, antara lain :
Pertama, al-Quran merupakan kitab suci berupa firman Zat Yang Maha Suci pada hamba-Nya yang Sempurna (Rasulullah). Hal ini menghantarkan pada adab perlu terlebih dahulu mensucikan diri, baik lahir dan batin untuk meraih kenikmatan bersama kitab yang suci (al-Quran). Niat perly diluruskan, perilaku perlu diselaraskan, jasmani perlu terjaga dari kemungkaran.
Kedua, al-Quran bukan sebatas huruf dan lafaz, namun mengandung isi dan makna secara lengkap. Bila al-Quran sebatas huruf dan lafaz, maka yang lahir adalah kata yang sulit dipahami, apatahlagi diamalkan. Ketika kata dan ayat tak dipahami, maka sulit untuk dimengerti dan dihayati. Tatkala tak dimengerti dan dihayati, maka sulit diimplementasikan dalam kehidupan. Bila tak mampu diimplementasikan, maka semakin jauh al-Quran dari kehidupan dan peradaban. Al-Quran adalah totalitas antara huruf, kata, kalimat, kaedah uslub, arti, maksud, makna, dan amal. Satu kesatuan yang padu dan terintegrasi yang mewarnai karakter diri hamba yang “bersama” al-Quran.
Ketiga, al-Quran kitab menuntun untuk memperoleh petunjuk Allah, bukan media mencari keuntungan sesaat. Hal ini dipertegas Allah dalam firman-Nya : “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Aku kamu harus bertakwa..” (QS. al-Baqarah: 41). Demikian jelas ayat agar manusia menjaga kesakralan al-Quran dari sesuatu yang merusak kesuciannya.
Keempat, al-Quran media mengejar ridha Allah, bukan cara untuk mengejar prestise. Hal ini dinukil dalam firman-Nya : “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (Q.S. al-Baqarah: 207). Ketegasan Allah mengingatkan manusia beradab atas al-Quran.
Kelima, al-Quran menjadi media pementasan karakter diri, bukan sebatas pementasan momentum yang berujung euforia. Apatahlagi bila euforia yang bertentangan dengan ajaran al-Quran. Jangan sampai membuat diri ta’jub atay merasa paling quarnik. Hal ini diingatkan Allah : “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).
Keenam, al-Quran perlu didengarkan secara hikmat, adab yang mulia, dan membangun kerinduan pada Sang Pemilik Kalam. Hal ini sesuai firman Allah : “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (QS. al-A’raf : 204).
Demikian agungnya al-Quran dan kemuliaan bagi yang bersamanya. Meski hanya mencintai al-Quran bernilai ibadah, apatahlagi membaca, menghafal, dan mempelajari al-Quran. Hanya saja, upaya mencintai al-Quran perlu berlanjut dengan mengamalkan al-Quran sebagai kebutuhan hamba atas petunjuk Allah. Tatkala seluruh amaliah diri merupakan cerminan al-Quran, maka akan lahir karakter qurani yang diharapkan. Hal ini tertuang pada firman-Nya : “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS. Al Isra: 9).
Ketika al-Quran mampu menjadi bagian diri, maka ia akan menuntun manusia pada akhlaq al-karimah sebagaimana yang ditampilkan oleh Rasulullah. Al-Quran demikian anggun karena Kalam Yang Maha Sempurna. Bahasanya menyejukan dan mudah dipahami. Kalimatnya penuh makna dan memunculkan kerinduan. Ada beberapa makna keteduhan dan kesejukan al-Quran, antara lain :
Pertama, al-Quran bagaikan air mengalir menuju daerah yang rendah. Ia hanya mengalir dan menemui hamba yang rendah hati (tawadhu’). Demikian hukum sunnatullah. Kalam Allah mengalir pada hamba yang memiliki hati sebagai “hamba”. Al-Quran tak mengalir ke atas pada hamba yang angkuh, apatahlagi mengaku dan merasakan diri bak “dewa”.
Kedua, al-Quran menyirami manusia bagai tumbuhan. Al-Quran menjadi petunjuk bagi manusia yang tau tujuan hidupnya (QS. az-Zariyat : 56). Semua manusia fitrahnya rindu siraman al-Quran untuk menumbuhkan sisi penghambaan diri pada Sang Khaliq. Semakin banyak siraman dan nutrisi al-Quran pada diri, maka semakin sehat akhlak manusia, baik vertikal maupun horizontal. Namun, bila siraman dan nutrisi al-Quran tak membuat diri menjadi baik, maka ada 2 (dua) jawaban yang mungkin terjadi, yaitu : (1) diri telah mati (meski sebelum kematian tiba). Bila hal ini terjadi, merugilah diri. (2) manusia terbuat dari plastik yang tak pernah memerlukan nutrisi apa pun jua. Bila hal ini terjadi, nestapalah diri.
Ketiga, al-Quran menjadi penerang, baik ketika gelap maupun terang. Ia akan menerangi mata (lahir dan batin) hamba yang memancar pada prilakunya. Bila lampu hanya diperlukan temporer untuk menerangi tatkala tak ada cahaya dan dimatikan bila cahaya tiba. Namun beda dengan al-Quran. Ia abadi menjadi penyuluh bila ketika gelap gulita dan penerang tatkala cahaya tiba. Ia tak pernah meninggalkan hamba, selama hamba senantiasa istiqomah bersamanya.
Keempat, al-Quran menjadi obat bagi hati yang sakit. Obat yang menjamin sehatnya batin, mendorong terbangunnya kesehatan jasmani. Sebab, sumber penyakit sesungguhnya ada pada hati. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : “Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu” (HR Bukhari dan Muslim).
Sungguh begitu dalam makna hadis di atas. Keindahan, kebaikan, kebahagiaan, keselamatan, dan keharmonisan hanya muncul tatkala hati yang sehat. Semua muncul ketika hati selalu menghadirkan Allah, rindu Rasulullah, dan berbaik sangka atas semua yang ada dengan mengembikan pada Yang Maha Memiliki. Sebaliknya, kejelekan, keburukan, kesengsaraan, kenestapaan, dan kekacauan muncul akibat rusaknya hati. Kerusakan hati yang tak pernah diobati akan melahirkan “busuknya hati” yang berakibat pada kesombongan, kezhaliman, keserakahan, iri dengki, kemunafikan, dan lain sejenisnya.
Imam al-Ghazali menggolongkan hati dalam tiga kelompok, yaitu hati yang sehat (qolbu shahih), hati yang sakit (qolbu maridh), dan hati yang mati (qolbu mayyit). Seorang yang memiliki hati sehat tak ubahnya memiliki tubuh yang sehat. Ia akan berfungsi optimal, ia akan mampu memilah dan memilih setiap rencana atas suatu tindakan. Setiap apa yang diperbuatnya benar-benar sudah melewati perhitungan yang tepat berdasaran suara hati. Namun, bila hati yang sakit apatahlagi mati, tak ada kebenaran yang mampu ditangkap, apatahlagi diberikan pada sesama. Semua dianggap salah dengan “kacamata kuda”. Padahal, perilaku demikian bak pepatah “menepuk air di dulang”. Kesalahan yang diukur atas ukuran dirinya yang acapkali berbuat salah, lalu ditimpakan kejahilan serupa pada sesama. Demikian nyata terlihat prilaku manusia atas kehinaan diri yang ditampilkan sendiri, namun ditutupi hanya sebatas “kain sejengkal”.
Sungguh, alam sedang menantikan hamba yang mengenal, menyemarakkan, dan mengajarkan al-Quran. Namun alam demikian merindukan hamba yang melanjutkan apa yang dinantikan alam dengan mengimplementasikan al-Quran dalam karakter diri yang sebenarnya (bukan dalam ruang kemunafikan). Tatkala kerinduan alam pada hamba yang bersama al-Quran terjawab, maka alam (beserta seluruh isinya) akan senantiasa ramah padanya. Bila kejahilan yang dijawab hamba, maka alam akan memuntahkan kegundahannya yang berakibat nestapa seluruh isi alam semesta. Sesama hamba mungkin bisa ditutupi atau sepakat menutupi prilaku yang bertentangan dengan al-Quran, tapi alam tak pernah ingkar janji atas kalam Zat Yang Maha Adil. Kesemua amal akan diperihatkan secara jelas.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 25 Juli 2022