Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan RI. Tanggal sakral dan sangat berarti bagi seluruh bangsa Indonesia. Kesakralannya perlu menjadi daya dorong bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan martabat dan kedaulatan NKRI. Pernyataan sakral yang dinukilkan dalam naskah Proklamasi.
Sungguh, naskah Proklamasi merupakan titik tonggak kemerdekaan RI dan acuan utama seluruh dimensi pembangunan negeri ini. Susunan naskah proklamasi kemerdekaan RI merupakan “kata sakti” penuh filosofi. Ungkapan cerdas, bijaksana, dan penuh makna yang disusun oleh anak negeri pilihan. Melalui naskah proklamasi kemerdekaan RI, janji dan cita-cita kemerdekaan dituangkan secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Acuan dan barometer cita-cita bangsa yang seyogyanya dijadikan timbangan melihat apa yang terjadi dan akan terjadi. Ada beberapa makna filosofis kemerdekaan yang tercantum pada pembukaan UUD 1945, antara lain :
Pertama, Kemerdekaan (secara universal) merupakan hak asasi setiap manusia. Apa pun jenis penjajahan perlu dihapuskan, baik politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Meski bangsa Indonesia telah merdeka secara fisik dari penjajah kolonial Belanda dan Jepang, namun eksistensi kemerdekaan perlu dipahami lebih luas dan komprehensif.
Dalam KBBI disebutkan bahwa penjajahan adalah “proses, cara, perbuatan menjajah”. Adapun penjajah berarti “negeri (bangsa) yang menjajah: dengan kekuatan senjata akhirnya kaum ~ itu berhasil menguasai daerah itu; orang yang terlalu menguasai (menindas dan sebagainya) orang lain (bawahan dan sebagainya)”.
Merujuk KBBI terlihat bahwa penjajahan berarti perbuatan menjajah yang dilakukan oleh suatu negara atas negara lain atau orang (kelompok orang) yang melakukan penindasan atas orang (kelompok orang) lain. Penjajahan pada varian substansi bukan sebatas pertarungan antara ‘pribumi tertindas’ versus ‘asing penjajah (penindas)’. Bukan sebatas dominasi orang luar terhadap penduduk lokal. Sebab, merujuk pada KBBI atas makna penjajahan ternyata bisa dipahami secara luas. Penjajahan bukan semata pada aspek geo politik, tapi bisa terjadi pada aspek ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. Aspek dominasi dan monopoli ekonomi oleh perorangan atau kelompok, monopoli dan politik yang bermuara pada perpecahan bangsa, pembiaran “budaya” asing yang menyebabkan ruh budaya bangsa menjadi tergerus atau “terjajah” yang bertentangan dengan konstitusi (seperti praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang sulit diberantas, budaya kebebasan tanpa batas yang mengatasnamakan HAM untuk mengkebiri saling menghargai dan luputnya budaya leluhur, dan lain sebagainya. Kesemua ini merupakan bentuk “penjajahan” era kemerdekaan yang perlu dicegah secara dini. Sebab, seluruh aspek yang berusaha mengganggu kemerdekaan dan tujuan kemerdekaan NKRI secara langsung maupun tak langsung perlu segera diantisipasi, diwaspadai, dan diberantas. Bukan sebatas teriakan NKRI, tapi lebih penting apa yang dilakukan untuk negeri ini mencapai tujuan kemerdekaan yang hakiki atas berdirinya NKRI. Ruh kata bijak KH. Ahmad Dahlan mungkin bisa ditarik dengan modifikasi yang sesuai dengan tulisan ini, yaitu “hidupi dan jaga NKRI, bukan mencari kehidupan dan minta dijaga oleh NKRI”.
Semua bentuk yang dikhawatirkan atau terindikasi mengganggu kedaulatan NKRI (seluruh variannya) perlu upaya preventif maupun kuratif secara cermat, bijaksana, dan berkeadilan. Bukan sebatas slogan, pemahaman yang parsial dan sempit (penuh kepentingan). Seluruh elemen perlu meresapi makna kemerdekaan RI secara komprehensif dengan mengisi kemerdekaan sesuai tujuan konstitusi sebagai wujud ungkapan terimakasih pada para pejuang bangsa.
Kemerdekaan adalah upaya terbangunnya keharmonisan, bukan menciptakan “kerusakan dengan berbagai varian lain” yang berkilah demi mengisi kemerdekaan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya :“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi.’ Mereka menjawab,‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari” (QS. al-Baqarah: 11-12).
Ayat di atas menjelaskan sifat manusia (berbagai varian profesi) yang perlu diwaspadai karena merusak tercapainya tujuan kemerdekaan. Hati-hati teriakan yang didengungkan penuh kepentingan. Sebab, para pejuang kemerdekaan tak pernah membusungkan dada atas hasil perjuangannya. Mereka ikhlas dan tawadhu’ atas apa yang dilakukan.
Teriakan nyaring, terkadang pertanda tanpa isi. Bak pepatah mengatakan “tong kosong nyaring bunyinya”. Fenomena yang demikian nyata terlihat, namun sulit dibuktikan. Eksistensinya bak angin yang dapat dirasakan, namun tak bisa dilihat, apatahlagi disentuh.
Kedua, Kemerdekaan diraih melalui persatuan. Melalui persatuan, kedaulatan negara akan diperoleh untuk menghantarkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Demikian pula untuk membangun dan mengisi kemerdekaan. Persatuan dalam keragaman, keragaman dalam persatuan. Persatuan dalam satu cita-cita berbangsa dan bernegara. Bukan persatuan “kolegial” yang bermuara pada bangunan monarkhi (acapkali absolut). Persatuan dalam keragaman bak hamparan taman bunga. Meski berbeda jenis warna dan aroma, tapi satu tujuan untuk menampilkan keindahan dan keharmonisan. Tak ada saling merasa paling indah dan wangi atau sebaliknya penghujatan karena kejelekan warna dan busuknya aroma yang dimiliki. Semua saling mengisi dan memunculkan harmonisasi yang bersatu menampilkan keindahan alami tiada tara.
Sementara keterpecahan hanya menyisakan kegetiran akibat dominasi kepentingan mikro. Merasa paling bersih, hebat, dan mulia hanya menampilkan sisi sebaliknya. Merasa paling berjasa dan benar (berhak) hanya menjadikan muncul permusuhan. Sungguh, perpecahan hanya akan menguntungkan pihak lain yang menjadikan objek yang diadu domba sebagai “ayam dalam arena sabungan”. Justeru yang bergembira hanya mereka yang “mengadu” yang dapat hadiah dan penonton yang sedang memasang berbagai “taruhan”.
Perpecahan tak selamanya dilakukan oleh penjajah asing untuk mengkebiri persatuan masyarakat yang dijajah (lokal). Namun, secara historis pelaku perpecahan dibantu oleh segelintir masyarakat lokal yang “hijau mata” oleh pundi-pundi dan kuasa. Kaum penjajah datang dengan jumlah minoritas. Kekuatannya didukung oleh kekuatan lokal yang berambisi memperoleh keuntungan. Contoh sederhana, Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Intelijen Politik) milik penjajah kolonial (dibentuk tahun 1916). Tugas utamanya memantau pergerakan kaum nasionalis atau siapa pun yang ingin merongrong kekuasaan kolonial. Ternyata, agen PID bukan hanya orang Belanda, tapi ikutsertanya “masyarakat lokal” yang tak memiliki nasionalisme atas negeri ini. Bahkan, dalam struktur keamanan masa kolonial, banyak agen-agen PID berstatus wedana (pribumi). Hal ini terjadi karena terdapat segelintir masyarakat lokal yang memperoleh manfaat atas penjajahan yang terjadi. Kelompok ini merupaka bunglon yang perlu ekstra diawasi dan ditindak. Mereka justeru telah menjual harga diri dan bangsanya untuk memperoleh posisi dan keuntungan materi.
Ketiga, Pengakuan kekuatan vertikal (Allah SWT) atas kemerdekaan dan upaya mengisi kemerdekaan. Demikian tawadhu’ untaian kalimat yang tertera pada teks Pembukaan UUD 1945. Kesadaran bahwa usaha menggapai kemerdekaan bukan semata-mata upaya persatuan manusia, tapi kesadaran adanya kuasa Allah sebagai Zat Yang Maha Perkasa. Sebuah kalimat yang menyandarkan adanya hubungan hamba dan Khaliq. Sebab, upaya lepas dari penjajahan dan tujuan kenerdekaan merupakan pengejawantahan perintah Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu,
seyogyanya untuk mengisi kemerdekaan perlu seluruh elemen merujuk pada harmonisasi secara vertikal untuk terwujud harmonisasi secara horizontal. Bila berbagai upaya yang dilakukan merupakan harmonisasi vertikal dan hirizontal, maka substansi kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan akan dapat tercapai.
Keempat, Perjuangan pergerakan kemerdekaan telah sampai pada tujuan yang menghantarkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Titik capaian yang ditandai Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan perjuangan mengisi kemerdekaan yang secara berproses ditunggu ketercapaiannya. Semua proses mengisi kemerdekaan perlu merujuk pada tujuan keadilan yang berperadaban dan kemakmuran seluruh rakyat. Titik ukur ini tentu perlu dinilai secara obyektif dan hati yang bersih. Tentu semua elemen bangsa perlu bersinergi sesuai kapasitas yang dimiliki. Meski perbedaan merupakan hukum alam, namun titik kesamaan patut dikedepankan untuk mengisi kemerdekaan. Semangat kebersamaan akan meminimalkan terjadinya gesekan. Bila perbedaan yang dikedepankan (apalagi balas dendam), maka pembangunan akan terhalang dan menggiring pada peradaban rendahan.
Kelima, UUD 1945 disusun untuk menjamin tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara. Kesemua tujuan didasarkan pada lima acuan dasar NKRI yang termuat dalam butir-butir Pancasila. Kelimanya bersinergi dan saling melangkapi dalam satu ikatan sumpah NKRI. Kelimanya menjadi dasar dan acuan gerak seluruh elemen bangsa. Tatkala kelima sila mampu menjadi pedoman dan diimplementasikan pada semua dimensi, maka gerbong
NKRI akan berjalan pada rel tujuan kemerdekaan. Namun, tatkala kelima sila sebatas “kata dan cerita”, maka apapun kebijakan yang diambil akan tergelincir dari tujuan kemerdekaan negeri ini.
Sungguh, kritik diperlukan, namun kesantunan lebih diutamakan. Hal ini dianjurkan Allah melalui firman-Nya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. an-Nahl : 125). Kritik santun penuh solusi bagai segelas jamu pahit yang menyehatkan. Namun, bila kritik dianggap perlawanan, kritik tanpa kesantunan apalagi tanpa solusi yang hanya suguhan segelas arak yang memabukan atau racun yang mematikan, maka indikasi prilaku generasi tanpa peradaban.
Manusia memang makhluk yang berpotensi berbuat benar dan salah. Namun, merasa paling benar dan saling menyalahkan (apalagi menimpakan kesalahan pada orang lain) merupakan sifat yang harus disingkirkan. Sebab, sifat tersebut pertanda kualitas diri tanpa peradaban bak seekor harimau si raja hutan. Karena kekuatannya, ia merasa paling benar. Bila gagal memperoleh apa yang dituju, sejuta upaya dilakukan untuk menimpakan kesalahan pada penduduk hutan yang lemah sebagai pelampias kegagalannya.
Sungguh, kemerdekaan secara hakiki berupaya menjaga kehormatan seluruh anak negeri dan seluruh potensi yang ada didalamnya. Nilai kehormatan bangsa yang tak bisa diperjualbelikan, apalagi dengan harga negosiasi. Bila
kehormatan dimiliki, maka keadilan akan terwujud dan tampil bermartabat. Namun, bila kehormatan tak lagi dimiliki, maka keadilan menjadi barang langka, hanya sebatas kata, dan tampil tanpa ruh. Kemerdekaan adalah peradaban nan mencerdaskan yang dibangun oleh anak negeri yang berkualitas, bukan diisi anak negeri yang memanfaatkan “aji mumpung” tanpa memahami apa yang seharusnya dilakukan. Sebab, karakter dan tipikal seperti ini menandakan kokohnya virus penjajahan atas diri di tengah teriakan dirgahayu kemerdekaan dan peduli NKRI.
Sungguh, NKRI besar dan dihormati tatkala sesama anak negeri saling menghormati dalam bingkai harmonisasi persatuan. Sang Merah Putih akan berkibar bangga tatkala seluruh elemen menampilkan prestasi yang dibanggakan sebagai wujud bangsa yang merdeka dan berperadaban. Kemerdekaan yang menghargai karya yang berkualitas berdimensi bangsa berperadaban tinggi. Semoga bukan sebaliknya.
Dirgahayu Negeriku yang ke-77 (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2022). Berkibarlah sang Merah Putih untuk selamanya. Berkibarlah dengan gagah perkasa. Akan kujaga sepanjang masa. Negeriku adalah kehormatanku.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 15 Agustus 2022