Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Eksistensi diri dan gelas ternyata mengungkap sejuta rahasia Ilahi. Meski diri acapkali alpa dan gelas tak asing bagi manusia, kealpaan yang membuat gelas hancur menusuk tangan. Atau diri yang tak mampu menjaga tangan untuk tak menghancurkan gelas. Walau semua diri sering menggunakan gelas, namun hanya sebatas media memenuhi kebutuhan yang digunakan untuk minum. Ternyata, mungkin semua diri belum àmemiliki waktu mengambil dan menangkap pelajaran dari gelas yang digunakan sehari-hari. Meski semua manusia mengenal diri, namun tak sedikit yang tergelincir menjadi lupa diri. Di antara penyebabnya akibat diri lupa mengenal hakikat diri yang tak jarang diterlantarkan.
Meski gelas selalu digunakan sehari-hari, namun sering dianggap remeh dan biasa-biasa saja. Padahal, diri bukan sebatas gabungan jasmani dan rohani, serta gelas bukan sekedar alat untuk minum, tapi menyimpan rahasia bagi kehidupan insani di muka bumi. Melalui diri dan gelas, pencari kebenaran dan perindu kasih sayang Ilahi dapat menangkap pelajaran yang besar untuk cermin bagi setiap diri. Cermin pelajaran untuk diri yang ingin melakukan perbaikan guna menyingkap tabir belenggu (akibat hijab kesombongan) antara hamba dan Khaliq.
Paling tidak, ada beberapa i’tibar yang bisa diambil pelajaran dari diri dan gelas, antara lain :
Pertama, Sungguh gelas mampu menerima semua air yang dituangkan di dalamnya. Gelas tak pernah memilih air yang akan dituangkan. Mulai air bersih, beku atau cair, hangat atau panas, berwarna atau tidak, haram atau halal, bahkan kotor atau bernajis. Semua diterima dengan keikhkasan, tapi tak membuat gelas terpengaruh atas apa pun jenis air yang memenuhi permukaan dirinya. Gelas lambang hati dan fikir pada “titik 0” dalam melihat semua fenomena objek. Sebab, semua subjek dan objek merupakan makhluk dan ciptaan-Nya semata yang tak patut dibedakan dalam sisi kemakhlukan, selama tak menyangkut wilayah keimanan, kebenaran, dan pengabdian pada-Nya. Meski gelas menerima semua jenis dan warna air, namun tak pernah merubah eksistensi, bentuk, dan fungsi dirinya. Gelas tak pernah memaksa air apa yang berinteraksi dengannya. Gelas tak terpengaruh atas perubahan bentuk ketika air dituangkan di dalamnya, tapi justeru air yang mengikuti dan terbentuk sesuai bentuk gelas yang diisi. Bila oval bentuk gelas, maka oval bentuk air, begitu seterusnya. Sungguh gelas memberikan bentuk, bukan dibentuk oleh air yang masuk. Bahkan, gelas memberikan nilai pada air ketika masuk didalamnya. Semakin tinggi kualitas dan indah bentuk gelas, menghantarkan kualitas air pada nilai yang tinggi. Sebaliknya, bila gelas tak berkualitas, atau bentuknya yang buruk dan kotor, maka air yang ada didalamnya akan dinilai rendah (bahkan tak berharga). Demikian gambaran diri manusia. Dari gelas seyogyanya manusia bisa menerima semua informasi secara bijak, saling menghargai, dan berteman dengan semua kalangan, namun tidak merusak karakter fitrah diri atas keterbukaan yang dimiliki dan tak
pernah “menjual diri” atas setiap perubahan kepentingan lingkungan. Di sisi lain, manusia seharusnya mewarnai lingkungan dengan nilai dan bentuk keshalehan, bukan dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan dengan melakukan kesalahan. Gelas adalah perumpamaan diri manusia. Manusia sebagai makhluk sempurna yang diciptakan Allah seyogyanya menata lingkungan sebagai pengejawantahan tugas kekhalifahan di muka bumi. Namun, bila lingkungan yang mempengaruhi dan mengendalikan manusia, maka akan merusak kecerdasan manusia yang fitrah. Bila kecerdasan dan kebenaran fitrah hati rusak, maka manusia akan menjadi makhluk yang mengerikan melampaui ganasnya makhluk alam yang paling ganas. Bahkan, manusia yang serakah bagai gelas pecah atau gelas yang menyalahi tugasnya. Ketika air yang dituangkan tak mampu memenuhi permukaan gelas, maka perlu dikontrol oleh sifat qanaah. Sebab, manusia yang serakah tak pernah cukup atas apa yang diberikan alam padanya. Bahkan, alam meronta atas ketidaknyamanan yang diciptakan manusia-manusia serakah.
Kedua, gelas yang bagus tatkala permukaan atasnya lebih besar ketimbang bagian bawahnya. Gunanya agar air yang masuk tak tumpah ketika dituangkan. Manusia perlu memiliki model gelas untuk mencari ilmu dan membuka diri dalam berinteraksi. Bila sifat keterbukaan dimiliki, maka akan banyak informasi diterima dan dermawan memberi ilmu (informasi) pada yang lain tanpa melukai yang menerima. Jangan sampai menjadi gelas yang permukaan atasnya tajam. Sebab, akan melukai “bibir” bagi yang menggunakan. Permukaan gelas yang tak tajam membuat nyaman yang memakainya. Demikianlah cara berkomunikasi dengan sesama, seyogyanya dilakukan secara bijak dan berperaraban. Dengan demikian, pesan tersampaikan, namun tak melukai yang menerima pesan.
Ketiga, ketika air gelas terkadang kotor dan hitam bersihkan dengan menuangkan air bersih secara kontinue. Air kotor dalam gelas akan tersingkir berubah menjadi bersih dan putih. Demikian diri manusia. Noda dan dosa bukan penghambat untuk menjadi manusia yang baik. Tuangkan air istighfar dan mohon pengampunan pada Allah tiada henti (kontinue). Bagai air gelas yang kotor, demikian pula diri manusia. Bila dituangkan air bersih (istighfar dan keikhlasan) terus menerus, kekotoran dan noda diri secara berproses akan berubah menjadi akhlak mulia dan ketawadhu’an. Namun, setelah gelas bersih jangan kotori dengan sesuatu yang dapat mengotori air dalam gelas atau diri setelah kesucian diperoleh. Jagalah kesucian tersebut dengan baik agar bisa menjadi energi menuju cinta Yang Maha Suci.
Keempat, sungguh, diri bagai air dalam gelas. Tergantung jenis dan warna air yang ada di dalamnya. Bila bersih, maka akan keluar air yang bersih. Bila kotor, maka akan keluar air yang kotor. Bila suci dan halal, maka akan keluar air kesucian dan terjamin kehalalannya. Bila air yang masuk berupa najis, maka akan keluar juga air yang najis. Demikian seterusnya. Jangan hinakan diri atas apa yang keluar. Sebab, sesuatu yang keluar adalah pancaran isi apa yang ada di dalam diri. Lakukan upaya membersihkan kotoran yang ada di dalam diri agar keluar kebersihan diri yang hakiki.
Kelima, air dan gelas saling berinteraksi dan memberi nilai. Bila kotor salah satunya, maka kotor keduanya. Air yang kotor tatkala diisi pada gelas yang bersih tak akan ada nilainya. Demikian pula air yang bersih tatkala diisi pada gelas yang kotor juga tak ada manfaatnya. Keduanya tak dapat diminum oleh manusia. Hal yang sama terjadi pada manusia. Hati yang kotor pada diri yang “seakan-akan bersih” oleh tampilan jasmani tak mampu menghasilkan kebersihan diri yang hakiki. Pasti pada saatnya diri tak mampu menyembunyikan kekotoran hati dengan “selimut jasmani seakan mulia”. Kekotoran diri akan terlihat tumpah keluar meski sejuta upaya menutupinya. Demikian pula hati yang bersih tak mungkin mampu terjaga bila raga bersemayamnya hati dikotori oleh “najis jasmani” yang diakibatkan olesan debu kotor yang berasal dari dalam dan luar (sekitar) diri.
Sungguh banyak Allah berikan “ayat-ayat-Nya” dalam kehidupan manusia. Meski demikian nyata, namun acapkali manusia alpa dan tak mampu menangkap pesan yang disampaikan. Demikian Allah memerintahkan manusia untuk “membaca” seluruh kalam-Nya dengan baik dan benar sebagai wujud kasih sayang pada hamba-Nya. Sungguh banyak yang perlu dibaca dan dicerna, namun acapkali manusia tak mampu membaca, apalagi memahaminya. Wajar tatkala apa yang diperlihatkan terbuang sia-sia tanpa mampu membaca pesan Ilahi yang bisa diambil.
Mungkinkah ini disebabkan ke-dho’if-an manusia, atau banyaknya kesalahan manusia atas ayat Allah yang membuat tebalnya dinding akal dan hati yang tak lagi mampu menyingkap rahasia yang ingin Allah sampaikan. Tentu semua diri yang tau, meski diri terkadang terlalu sombong merasa lebih tau. Kesombongan yang berakibat matinya “rasa penghambaan” bersamaan tumbuhnyan sifat ego Iblis. Belajarlah dengan gelas. Gelas memiliki karakter diri yang mampu dipertahankan secara konsisten (istiqomah) atas pengaruh yang ada. Meski tak memiliki akal, namun gelas selalu memberikan kebermanfaatan bagi manusia, tanpa merusak eksistensi dan kehilangan jati dirinya. Bagaimana dengan manusia yang konon diberi akal, kecerdasan, dan bentuk tampilan jasmani yang sempurna ? Tentu tak ada yang mampu menilai kecuali diri sendiri dan pemilik diri Yang Maha Agung (Allah SWT). Wallahua’lam bi al-shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 22 Agustus 2022