Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Siapa yang tak kenal dengan ketupat. Rasanya akan kurang sempurna ketika perayaan ‘iedul fitri tanpa kehadiran juadah ketupat. Apatah lagi saat selesainya melaksanakan puasa sunat syawal, keberadaan ketupat tak pernah dilupakan. Bahkan, selesainya ibadah sunat syawal sering disebut “lebaran ketupat”. Hampir setiap rumah terlihat ramai menganyam daun kelapa untuk dijadikan ketupat. Namun sayang, tak semua memahami, apatahlagi mengimplementasikan nilai filosofi ketupat dalam keseharian.
Sebagai salah satu menu lebaran, ketupat biasa dimakan dengan berbagai lauk dan makanan pendamping lainnya, seperti opor, sambal goreng kentang, sate, maupun rendang. Di luar ‘iedul fitri, tradisi juadah ketupat jarang ditemukan sebagai menu utama. Hal ini menarik untuk difikirkan rahasia disebalik ketupat. Sebab, eksistensi ketupat bukan sebatas menu utama yang dinikmati di pagi syawal. Eksistensinya penuh makna dan berkaitan erat dengan bulan syawal dan kualitas diri hamba mengharap ‘iedul fitri yang hakiki.
Dalam buku Malay Annual, Hermanus Johannes de Graaf, ahli sejarah asal Belanda, menyebutkan bahwa ketupat pertama kali muncul pada masa Kerajaan Demak (abad ke-15 M). Dalam catatannya, ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga kepada masyarakat umum. Melalui ketupat (kuliner lokal), ia mengenalkan Islam agar mudah diterima.
Sebab, awal mulanya masyarakat lokal sudah memiliki kebiasaan menggantungkan ketupat di depan pintu rumah yang dipercaya mendatangkan keberuntungan. Sunan Kalijaga mengubah tradisi yang demikian dengan menjadikan ketupat sebagai sajian bernuansa Islami untuk menghilangkan unsur-unsur klenik yang mengikatnya. Sebuah pendekatan kearifan lokal yang perlu ditauladani, tanpa kehilangan hakikat iman dan Islam secara substansi.
Dalam filosofi budaya Jawa, ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat merupakan kependekan dari 2 (dua) kata, yaitu :
Pertama, “Ngaku Lepat” (mengaku salah). Ngaku lepat ini diwujudkan melalui tradisi sungkeman (duduk bersimpuh) seorang anak di pagi syawal sebagai implementasi mengakui kesalahan (memohon ampunan dan keridhoan), baik yang disengaja maupun tak disengaja. Pada tradisi sungkeman ini mengajarkan akan pentingnya menghormati orangtua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan, dan ampunan dari orang lain, khususnya kepada kedua orangtua. Pencitraan anak shaleh dan tawadhu’ diri, terutama era modern yang kehilangan sisi ini. Dalam konteks luas, ngaku lepat diimplementasikan masyarakat selama bulan syawal dengan saling bersilaturrahim.
Kedua, “Laku Papat” (mengakui kesalahan empat tindakan), yaitu : (1). Lebaran yang berarti puasa ramadan telah berakhir. Mungkin selama ramadhan, tak banyak amal dilakukan, tak banyak waktu mengingat Allah, tak mampu diri memetik rahasia Ilahi, tak kuasa diri membendung godaan iblis. Kelalaian diri tak mampu memanfaatkan ramadhan ditindaklanjuti munajat mohon pengampunan dan harapan diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan ramadhan tahun depan. (2) Luberan atau melimpah seperti air yang tumpah. Luberan ini memiliki makna untuk mengingatkan diri berbagi kepada fakir miskin dan orang-orang yang tak memiliki kemampuan atau kelebihan harta. (3) Leburan memiliki makna untuk meleburkan dosa dengan saling bermaaf-maafan satu sama lain (silaturrahim). Dengan begitu, dosa yang telah diperbuat dapat melebur dan kembali suci (fitrah). (4). Laburan ; berasal dari kata labur atau kapur putih. Makna laburan ini adalah hati seorang muslim akan kembali jernih dan suci dengan berbagai ibadah yang telah dilakukan. Tak ada lagi dendam kesumat. Sirna sudah iri dan dengki. Punah kesombongan dan sifat pongah. Hilang pula kezhaliman berganti keadilan.
Pada dimensi lain, simpul anyaman ketupat yang saling bersilang menjadi simbol beragamnya kesalahan (dosa) yang dilakukan manusia selama hidupnya. Hal ini terlihat dari rumitnya bungkusan (anyaman) ketupat yang terbuat dari daun kelapa. Setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih yang mencerminkan kesucian hati setelah memohon ampunan atas segala kesalahan.
Di sisi lain, anyaman ketupat dipahami pula sebagai jalinan ukhuwah serta penguatan jasmani dan rohani manusia yang seharusnya terjalin berkelindan menopang antara satu dengan yang lain. Ketupat bagi masyarakat Jawa memiliki filosofi yang kuat. Bentuk ketupat melambangkan perwujudan Kiblat Papat Limo Pancer. Maksudnya, sisi ketupat perlambang keseimbangan alam dalam empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Meskipun memiliki empat arah, namun hanya ada satu kiblat atau pusat (baitullah). Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tidak boleh melupakan pacer (arah) kiblat, yaitu kewajiban melaksanakan shalat dan penghambaan pada Ilahi.
Di sisi lain, keempat sisi ketupat diasumsikan sebagai empat macam nafsu yang dimiliki manusia yang melingkupi hati manusia itu ada empat yaitu: amarah, lawwamah, supiyah, dan muthmainah. Keempat nafsu ini dapat dikendalikan melalui ibadah puasa. Oleh karenanya, makan ketupat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan keempat nafsu duniawi tersebut untuk senantisa sesuai dengan tuntunan Allah.
Bahan utama ketupat yakni nasi dan daun kelapa muda. Kedua bahan tersebut memiliki makna khusus. Keduanya mengingatkan agar manusia tak lupa awal dan akhir penciptaannya akan kembali ke tanah jua. Nasi dianggap sebagai lambang nafsu. Adapun daun kelapa muda disebut “janur” (bahasa Arab ja an-nur) yang berarti “jatining nur” (datangnya cahaya sejati atau hati nurani), yaitu cahaya hidayah Allah sebagai harapan hamba selama ramadhan. Dengan demikian, ketupat digambarkan sebagai simbol nafsu dan hati nurani setiap manusia yang tampil dalam wujud perilaku diri.
Ketupat dimasak dengan merebus dalam air yang mendidih di atas api yang menyala. Demikianlah pula tujuan pelaksanaan puasa yang benar akan mampu merebus semua virus dosa diri. Ketika ketupat matang dan dipotong,
terlihat nasi putih muncul di dalamnya. Pesan yang tampil atas sucinya hati di pagi syawal, bagai cerminan isi ketupat yang bersih dan putih. Bila ketupat nan putih dimakan, namun filosofi putihnya isi ketupat tak juga mampu digapai dengan membiarkan hati bergelimang dengan kotornya noda dan najis, maka wajar bila Allah menegur manusia berulang kali melalui firman-Nya : “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. ar-Rahman).
Padahal, Allah telah berulangkali menyediakan kesempatan memperbaiki diri, baik melalui ayat tertulis maupun alam semesta. Melalui media ramadhan, Allah telah beri kesempatan mensucikan diri. Hal ini seirama dengan sabda Rasulullah : “Barangsiapa melaksanakan puasa ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara, melalui alam semesta, Allah tampilkan filosofi ketupat. Demikian dalam filosofi ketupat. Eksistensi bukan sekedar menu hidangan utama di pagi syawal, tapi mengandung makna yang dalam bagi harapan diri seorang hamba kepada Sang Pencipta. Persoalannya, apakah ketupat yang dibuat dan dihidangkan sebagai juadah di ‘iedul fitri selama ini mampu menyentuh hati ketika menikmatinya. Atau tak pernah terlintas apapun jua akibat tebalnya kejahilan diri yang menutup sisi kebenaran Ilahi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 9 Mei 2022