Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Siapa yang tak kenal dengan tanah. Tanah dan manusia bagai dua sisi mata uang atau dua sejoli yang tak bisa dipisahkan. Meski terkadang manusia melakukan pengkhianatan terhadap tanah, namun tanah tak pernah khianat pada manusia. Sungguh asal kejadian manusia berasal dari tanah tak bisa dipungkiri. Baik dari proses kejadian nabi Adam AS sampai anak cucunya yang berasal dari saripati tanah. Asal kejadiannya menjadikan manusia tak bisa berpisah dengan tanah. Manusia hidup bersama tanah, memanfaatkan nutrisi dan unsur yang dimiliki tanah, dan akhirnya kembali pada Zat Pencipta meminjam media tanah sebagai alam transit sampai kiamat tiba. Meski semua tau proses ini, namun hanya segelintir yang mampu memahami, apatahlagi mengaktualisasikan diri atas filosofi tanah yang ternyata sangat dalam, antara lain :
Pertama, Tanah sebagai sumber hidup. Tanah memberi kehidupan pada setiap yang “ramah” padanya. Tanah bagai seorang ibu. Ia pelihara semua manusia tanpa membedakan antara kaya-miskin, baik-jahat, besar-kecil, taat-durhaka, dan seterusnya. Ia tunaikan tanggungjawabnya pada semua manusia, meski manusia lupa pada tugas kekhalifahannya.
Kedua, Tanah bersikap adil. Siapa yang bersahabat dengannya, tanah akan memberi sesuatu yang membuat manusia hidup sejahtera. Namun, bila manusia merusaknya, tanah akan mengembalikan kerusakan pada manusia. Berbeda perilaju manusia. Kebaikan acapkali berbumbu sesuatu yang ingin diraih. Bila yang diinginkan tak diperoleh, kebaikan secepat kilat berubah menjadi tipu muslihat. Bak pepatah “bagai menolong anjing terjepit”. Bila hal ini terjadi, sejuta kebaikan hancur oleh asa yang tak kesampaian.
Ketiga, Tanah menilai manusia dalam kesederajatan. Tatkala manusia meninggal dunia, tanah tak pernah berpihak atau memilih manusia (dengan berbagai varian derajat dunia). Golongan baik atau jahat semua diterima dan “dipeluknya” dengan hangat. Tanah mengajarkan sifat pemaaf tanpa dendam kesumat. Bayangkan bila tanah seperti tabiat manusia, mungkin sedikit manusia yang diterima dalam “rahimnya”. Namun, tanah justeru memiliki sifat pemaaf dan melihat manusia dalam kesetaraan sebagai makhluk Allah. Meski dalam kehidupan manusia acapkali zalim terhadap tanah.
Keempat, Tanah mampu meredam bau busuk, termasuk jasad manusia setelah meninggal. Ternyata, tanah menutup aib manusia (makhluk), sementara manusia saling membuka aib sesama. Tanah ternyata mengimplementasikan perintah Allah melalui hadis qudsi “Barangsiapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim maka Allah akan mengangkat darinya dengan sebab amalan tadi kesusahannya kelak pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi cela (aib) saudaranya muslim, maka Allah akan menutupi aibnya kelak pada hari kiamat” (HR : Bukhari). Meski tanah telah memperlihatkan sifatnya dan Allah melalui hadis di atas menjelaskan, namun manusa terutama era digital sibuk mencari, membuka, dan mempublikasikan aib sesama. Bahkan, profesi ini menjadi pekerjaan untuk menghasilkan uang. Bukankah hal ini yang dilihat Rasulullah atas makhluk neraka yang suka makan daging busuk, sementara di sampingnya terdapat daging segar. Ketika Allah melihat kebaikan dengan balasan berlipat ganda dan keburukan hanya setara, namun manusia melihat kebaikan sebagai sesuatu yang setara dan melihat kesalahan dengan pandangan yang berlipat ganda. Sungguh terbalik apa yang diajarkan Allah dengan apa yang dilakukan manusia.
Kelima, Tanah terkesan hina, namun mampu mensucikan manusia. Posisi tanah sebagai tempat pembuangan semua kotoran dan penyakit, membuat manusia perlu memakai alas kaki agar tidak kotor olehnya. Namun, ternyata tanah menyimpan kesucian yang mampu menghilangkan najis besar. Secara ilmiah, tak ada alat di muka bumi yang mampu menghilangkan kuman pada najis berat, kecuali tanah. Meski dipadang kotor, namun menyimpan kesucian yang mampu mensucikan manusia. Bayangkan manusia, mungkin kelihatan bersih, rapi, memiliki derajat yang tinggi, namun acapkali membuat yang suci awalnya menjadi najis pada akhirnya.
Keenam, Tanah jujur atas ketidakmampuannya. Ketika Allah meminta tanah untuk menjadi khalifah, tanah jujur pada Allah atas ketidaksanggupannya. Sementara manusia acapkali tak memiliki kemampuan tapi mengaku memiliki kemampuan. Tak diminta memikul amanah, tapi meminta amanah dengan berbagai cara nista asal tujuan tercapai. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72).
Namun, manusia justeru berbeda dengan tanah yang didiaminya. Tatkala kuasa bersifat pongah, ketika dipercaya justeru khianat, ketika tak berdaya meminta bantuan, ketika nemiliki kadigjayaan melakukan menindasan, atau lainnya. Tak banyak manusia memiliki sifat tanah mengakui ketidakmampuannya. Justeru sebaliknya, meski tak mampu dan bukan ahlinya, ia tetap “serakah” untuk menerima dan meraihnya dengan segala cara. Sifat serakah (dengan berbagai variannya) lebih mendominasi.
Sungguh tanah menyimpan literasi filosofi yang sangat dalam. Manusia terlalu tinggi melakukan kajian melampaui angkasa, namun melupakan objek terdekat pada dirinya. Padahal, kelak mereka akan kembali ke asal kejadiannya. Akibat literasi atas tanah terlupakan, wajar bila manusia seakan bebas melakukan apapun selama di dunia karena lupa pada tanah. Bila literasi filosofi tanah mampu dipahami, maka manusia akan bijak dan berperadaban selama hidup di atas tanah. Bila hal ini dilakukan, maka kelak manusia akan damai dalam kebahagiaan yang dijanjikan Allah tatkala dalam “rahim” tanah. Berkaitan dengan HUT Harian Riau Pos ke-31, harian ini mengambil posisinya sebagai tanah yang subur dan menumbuhkan. Melalui media ini, tumbuh subur budaya literasi akademik lintas generasi dan disiplin, serta informasi yang mencerdaskan seluruh komponen. Ia peluk masyarakat tanpa kenal kasta. Ia hadirkan informasi yang akurat terpercaya. Bagai sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah nan subur. Pohon begitu rindang untuk tempat berteduh, memberi oksigen intelektual insan cerdas, dan berbuah ilmu yang bermanfaat bagi semua orang.
Tentu semua pilihan ada bagi setiap diri. Bila pilihan tepat dengan mengambil literasi tanah, maka keselamatan yang didapatkan. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Harian Riau Pos nan tak menyibak aib tapi memunculkan prestasi. Namun, bila tanah telah dilupakan, maka kehinaan akan dipanen dan pada gilirannya tanah akan menjepitnya dengan penuh kebencian. Hal ini juga muncul pada segelintir media yang tak memperdulikan etika jusrnalistik dan akurasi informasi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos Tgl. 17 Januari 2022