Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Alkisah, pada suatu malam seekor keledai yang diikat tuannya dilepaskan ikatannya oleh hantu. Si keledai sangat gembira. Seharian diikat tanpa makan, rasa lapar dan haus menerpa si keledai. Ia pergi ke kebun petani. Ia makan tanaman dengan lahap dan memporak-porandakan isi kebun petani tersebut. Melihat keledai yang menghancurkan tanamannya, istri petani geram dan mengambil senapan untuk menembak keledai tersebut. Keledai mati oleh peluru yang menembus kepalanya. Si pemilik keledai mengetahui penyebab kematian keledainya. Ia sangat marah atas perbuatan istri petani yang menembak keledainya. Ia sangat sedih atas kematian keledai kesayangannya tersebut. Kemarahan yang memuncak dan membangunkan kebencian pada istri si petani. Ia pun pulang ke rumahnya, mengambil senapan dan menembak istri si petani berulang kali. Istri si petani akhirnya mati.
Si petani sangat marah. Ia pun pulang mengambil sabit dan membunuh si pemilik keledai sampai mati. Istri dan anak-anak pemilik keledai sangat marah. Mereka membakar rumah si petani untuk melampiaskan dendam. Si petani pun marah, lalu membunuh istri dan anak-anak si pemilik petani.
Setelah seluruh keluarga pemilik keledai mati, akhirnya si petani sadar dan menyesal atas apa yang dilakukannya. Ia tertunduk menangis menyesali kebiadabannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan hantu dan bertanya kenapa semua ini terjadi dan menyebabkan banyak mati terbunuh, bahkan hancurnya semua harta benda. Si hantu menjawab, aku tak pernah membunuh siapa pun. Manusialah yang saling “membunuh dan membangun kerakusan”. Aku hanya melepaskan ikatan tali seekor keledai. Sedangkan manusia yang melepaskan ikatan semua hantu dan iblis pada diri kalian yang menyebabkan segala kejahatan atau perbuatan buruk terjadi secara berkelindan. Demikianlah kejahatan demi kezhaliman dilakukan manusia berulang kali sepanjang kehidupannya, bahkan serasa tiada henti.
Alkisah di atas sesungguhnya merupakan cermin bagi kehidupan manusia sepanjang sejarah, terutama saat ini.
Ada beberapa pelajaran atas kisah di atas, antara lain :
Pertama, media sosial saat ini bagaikan hantu yang terus melepaskan “keledai-keledai” setiap detiknya. Ada berita, isu, informasi, dan statemen yang mendorong manusia bereaksi (positif atau negatif). Bila positif, muncul pujian yang bila tidak mampu diredam justru akan membuat lupa diri. Bila negatif, muncul cercaan, saling berdebat, menghujat, memfitnah, bahkan saling menyakiti. Media bagaikan hantu dan iblis. Ketika semua keburukan dan perselisihan terjadi yang meluluhlantakkan sisi peradaban manusia, tentu media tak bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Manusia yang justeru akan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan di medan area media apa pun jua.
Kedua, manusia bagaikan keledai terikat yang lapar dan haus. Begitu ikatan lepas (baik karena kuasa, jabatan, kekuatan, kedudukan, atau lainnya), acapkali menyebabkan manusia lepas kontrol melahap apa yang ada di depan mata dengan kerakusan yang melampaui seluruh makhluk. Tak
lagi tau milik siapa, melanggar aturan hukum atau agama, bahkan di luar kesanggupan dirinya. Semua dilahap dengan rakus seakan perutnya mampu untuk memasukkan semua yang akan dimakan. Demikian i’tibar keledai yang lepas dari ikatan menjarah kebun petani melampaui batas makan yang diperlukan.
Ketiga, dalam konteks modern, perumpamaan keledai adalah era media sosial yang terpampang di depan mata. Berbagai ragam media sosial muncul dengan berbagai tawaran diberikan. Manusia harus bijak tatkala melihat “keledai-keledai” yang dilepaskan oleh media setiap saat untuk dicerna secara baik dan bertanggungjawab. Media apapun perlu dicermati dan digunakan secara bijak. Kebijakan yang menandai manusia pemilik akal dan peradaban tinggi. Pikirkan secara matang sebelum memberikan informasi (statament), menerima informasi, menilai informasi, dan menyebarkan informasi (bahkan terkadang sebatas flexing style).
Jadilah pemakai media yang cerdas untuk menjaga martabat diri, keluarga, sahabat, dan harkat martabat kemanusiaan universal. Bukan sebaliknya, bagaikan prilaku “si petani dan pemilik keledai” di atas. Mulailah dengan malu di bulan ramadahan ini. Jadilah manusia bijak yang memanfaatkan media untuk mencerdaskan, memberi informasi kebenaran, bertanggungjawab, menghindari perbantahan dan fitnah (hoax), apatahlagi sampai membuka aib saudara yang berujung pada malapetaka yang lebih besar. Jangan sampai media pemicu amarah, menyuburkan dendam kesumat, dan sarana saling “membunuh” sesama saudara. Bukan hanya pembunuhan secara zahir (menghilangkan nyawa), tapi terkadang membunuh karakter dan masa depan sesama.
Jangan mudah percaya, terprovokasi, dan periksa secara pasti. Bahkan, bila kebenaran yang diperoleh, belum tentu layak dipublikasikan. Apatahlagi bila atas kesalahan (ketidakbenaran) yang diperoleh. Sebab, perlu dicermati manfaat dan mudharatnya. Tak banyak manusia yang sanggup menerima pujian, apatahlagi bila menerima fitnah dan hinaan.
Hidup bagai berjalan di hamparan kebun bunga nan indah wangi semerbak. Pilihlah bunga yang akan dipetik. Namun, syaratnya tak boleh mundur ke belakang, sebab waktu tak pernah berlaku mundur. Bagi yang bijak, ia akan memetik bunga yang dilihat karena menganggap itulah rezekinya dan mensyukuri apa yang dipetik. Namun, bagi yang tidak bijak, mereka akan berpikir bunga yang diujung jalan akan lebih indah dan cantik. Sayangnya, diujung jalan ia dapati ternyata bunga yang telah dilewati sebelumnya lebih indah dan cantik. Justru diujung jalan hanya didapati bunga nan layu. Namun, ia tak bisa lagi untuk mundur ke belakang memetik bunga yang lebih indah dan cantik yang telah dilihatnya. Demikian gambaran kerakusan acapkali meninggalkan dan membiarkan kesempatan yang diperoleh demi mengejar yang tak pasti. Hanya berharap di depan akan diperoleh sesuatu yang lebih baik, namun ternyata justru akibat kerakusan menyebabkan buah kekecewaan. Lalu, siapa yang salah. Apakah ketamakan atau kerakusan yang menyebabkan hilangnya peluang terbaik. Kerakusan akibat lepasnya tali keledai yang ada dalam diri.
Sungguh, begitu cerdik hantu memainkan perannya hanya melepaskan keledai. Pada sisi lain, demikian bodohnya manusia (ibarat keledai) yang mampu dipermainkan bak makhluk tak berakal, meski mengaku bijak dengan atribut kecerdasan semu penuh tipuan. Lalu, di mana posisi kita ? Tentu hanya setiap diri yang tau.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos Tgl. 5 April 2022