Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Seiring derai air mata tumpah mengiring kepergian ramadhan bulan sejuta rahmat. Mungkinkah tahun ini menjadi ramadhan terakhir atau masih diperkenankan untuk kembali bertemu dengan bulan sejuta kemuliaan. Tak ada yang tau. Semua menjadi rahasia-Nya. Lantunan takbir sayup berkumandang diiringi tahmid dan tahlil yang menggema. Pertanda syawal tiba menyambut para pemenang yang kembali dari medan perjuangan, setelah sebulan menempa diri dan menghunus pedang iman dan taqwa dihadapan iblis dan sekutunya. Namun, apakah diri memperoleh kemenangan yang sebenarnya atau sebatas euforia semu yang tak dipahami atau mungkin tak ingin dipahami.
‘Idul fitri bukan sebatas kembali kepada kesucian. Sebab, perlu dipahami terlebih dahulu tahapan yang harus dijalani untuk sampai pada kesucian dimaksud. Dalam konteks ini, perlu dilihat firman Allah : “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. ar-Ruum : 30).
Pada umumnya mufassir menjelaskan bahwa ayat “hadapkan wajahmu”, yakni jiwa dan ragamu dengan lurus kepada agama Islam. Totalitas penyerahan diri pada fitrah-Nya, sebab Allah menciptakan manusia menurut fitrah-Nya tersebut. Manusia diciptakan oleh Allah dengan bekal fitrah berupa kecenderungan mengikuti agama yang lurus, yaitu agama tauhid. Hakikat addin hanif merupakan asal penciptaan manusia dan tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Sungguh, itulah agama yang lurus (addin hanif). Namun, sayangnya acapkali (kebanyakan) manusia tidak menyadari dan mengikuti fitrahnya tersebut.
Merujuk QS. ar-Ruum : 30 di atas terlihat jelas bahwa makna ‘idul fitri (kembali pada kesucian) adalah pada addin hanif (Islam secara kaffah) merupakan tujuan utama dari proses kesucian. Tahapan proses tersebut antara lain :
Pertama, membersihkan diri dengan taubat nasuha. Pembersihan diri meliputi aspek jasmani maupun (terutama) rohani dari sifat sombong, iri, dengki, dendam, serakah (bahkan melampaui batas), merasa paling benar dan mulia munafik, khianat, zhalim, dan penyakit hati lainnya. Semua sisi kotornya hati perlu terlebih dahulu dbersihkan. Sebab, dimensi ini menjadi syarat awal untuk memasuki tahapan selanjutnya.
Kedua, penghambaan secara totalitas. Penghambaan tanpa paksaan melaksanakan perintah Allah untuk berpuasa. Penghambaan yang mampu merasakan kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas dan denyut nadinya. Suatu sisi penghambaan yang terkadang jarang terjadi di luar ramadhan. Penghambaan yang melahirkan ketundukan yang utuh untuk menjaga puasanya meski dalam kesendirian. Demikian indah ketika diri mampu menghadirkan Allah terpatri sepanjang masa. Tak akan ada kemungkaran, apatahlagi kezhaliman dilakukan. Semua lebur dengan muncul rasa malu sedang dilihat oleh Allah Zat Yang Agung.
Ketiga, melaksanakan dan mempertahankan rangkaian ibadah yang diperoleh selama bulan tarbiyah (ramadhan) pada 11 bulan kedepan. Kualitas bekas ramadhan sesungguhnya diuji secara valid pada pasca ramadhan.
Keempat, mempertahankan sisi penghambaan yang dilatih selama ramadhan. Sisi penghambaan yang perlu dilatih untuk melahirkan hamba yang tawadhu’. Ketika sisi penghambaan tak mampu dipertahankan, maka akan leluasa sisi kesombongan menguasai diri, bahkan melampaui kesombongan iblis. Sebab, iblis hanya memiliki kesombongan menjadikannya memperoleh murka Allah. Sementara manusia yang kehilangan sisi penghambaan akan menghadirkan kesombongan dan kezhaliman. Dua sisi yang selalu hadir bersamaan.
Kelima, menjadikan ramadhan bulan perbaikan diri bak sosok ulat yang menjijikkan. Namun, media puasa digunakannya untuk mensucikan dan memperbaiki diri menjadi kupu-kupu nan indah dan cantik.
Bila kelima capaian atas ramadhan mampu diraih, maka lagak diri mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil untuk memproklamirkan diri sebagai hamba dihadapan Allah SWT. Adapun bacaan takbir, tahmid (alhamdulillah), dan tahlil memiliki makna ungkapan diri bahwa pujian dan syukur hanya kepada Allah SWT, sekaligus berikrar bahwa segala kesempurnaan pujian hanya milik Allah SWT semata. Takbir, tahmid, dan tahlil yang mengagungkan Allah dan menyadarkan diri sebagai hamba yang tanpa daya, kecuali daya yang diberikan Allah semata.
Namun demikian, dilihat pada sisi kegembiraan ‘idul fitri, paling tidak ada 3 (tiga) jenis kegembiraan manusia ketika menyambut syawal, antara lain yaitu :
Pertama, gembira karena mampu meraih kemenangan melawan iblis, mengisi ramadhan, dan keberhasilan diri menyambut sapaan Allah dengan keimanan yang ikhlas. Hamba yang berhasil menjadikan ramadhan sebagai media fotomorposis diri dari ulat yang hina, berproses menjadi kepompong, lalu lahir sebagai kupu-kupu indah penyejuk mata setiap yang melihat. Sungguh beruntung dan berbahagia hamba yang masuk pada tipe ini. Ia hadir bagai seorang anak yang baru lahir dari rahim ibunya, halus mewangi tanpa noda dan dosa.
Bagi pemilik tipe ini, media syawal tak ada tersisa iri dengki, dendam kesumat, apatahlagi membuka aib sesama. Semua dimaafkan sebelum diminta dan dikembalikan pada cermin kasih sayang Allah. Sikap ini merupakan pengejawantahan keshalehan vertikal yang dibangun selama ramadhan menjadi keshalehan horizontal ketika syawal tiba.
Kedua, gembira karena bebas dari “kekangan” puasa dan perintah Allah selama ramadhan. Kegembiraan tipe ini bagai “kuda lepas dari tali kekang”. Tipe ini akan melampiaskan kebebasan pasca ramadhan. Belum sirna ramadhan, tapi sibuk membicarakan syawal dengan berbagai persiapannya. Sungguh merugi manusia tipe ini. Ramadhan hadir hanya sebatas perjalanan syariat menahan haus dan lapar.
Bagi pemilik tipe ini, keshalehan sosial (horizontal) akan dibangun melalui tradisi halal bi halal secara pasif. Ia akan memaafkan bila yang menzhalimi meminta maaf. Bila tidak, ia tak akan memaafkan kesalahan sesama. Sungguh merugi pemilik tipe ini. Sebab, bersikap pasif menjemput derajat yang dijanjikan Allah. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : “Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)” (HR. Muslim).
Ketiga, tanpa ada merasakan apa-apa, (gembira atau sedih). Puasa sepertinya hadir dan pergi sebatas rutinitas normal pergantian waktu. Bagai rutinitas siabg dan malam. Semua silih berganti tanpa sedikit jua berpengaruh pada diri. Ramadhan bagai air dan minyak atau air di atas daun talas. Hadir tanpa membekas. Ramadhan maupun di luar ramadhan “kejahilan” diri terus berkibar dengan angkuhnya. Semua penyakit hati terus berkembang biak. Bahkan acapkali tak mampu terbendung dan keluar terlihat nyata pada tampilan jasad. Ramadhan hanya sebatas asesories menutupi “busuknya diri” yang ternganga, tapi tak mampu tersentuh. Keshalehan yang dihadirkan hanya sebatas menutupi kesalahan yang ada. Sungguh celaka manusia pada tipe ini. Sebab, kehadiran ramadhan sama sekali tak mampu sedikit jua membekas atau merubah diri, bahkan ramadhan digunakan untuk mengelabui kesalahan dengan (seakan) menjadi manusia yang shaleh nan sempurna. Bagi pemilik tipe ini, keshalehan sosial (horizontal) akan dibangun melalui tradisi halal bi halal dalam kapasitas asesories. Kemaafan yang ditunjukkan sebatas kemaafan semu yang didominasi kokohnya dendam yang tak berkesudahan. Sungguh celaka mereka yang menampilkan kemunafikan dalam melaksanakan perintah Allah. Sebab, akibat dari sikap ini amalan keduanya akan ditunda oleh Allah. Apatahlagi sampai sebatas munafik memaafkan, namun tersimpan khianat dan dendam, maka tertolaklah amaliah yang dilakukan.
Lalu, di saat ‘idul fitri ini, diposisi manakah diri kita ? Mungkinkah proklamasi semu atas sisi kemanusiaan yang selalu menutup mata hati melihat kualitas diri. Ataukah proklamasi penghambaan yang tulus yang membuka tabir mengenal Ilahi. Hanya ketika sisi penghambaan mendominasi diri, maka akan terlihatlah siapa diri ini. Semoga diri yang senantiasa memperoleh dan menikmati cinta Ilahi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 2 Mei 2022