Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Dalam ilmu Psikologi, secara umum manusia normal berprilaku sesuai rentang perkembangan usianya. Usia anak-anak tentu berprilaku sesuai masa dan perkembangan usia anak-anak. Demikian pula prilaku usia remaja, dewasa, bahkan orang tua. Ditinjau dari keilmuan, prilaku manusia berilmu seyogyanya berbeda dengan manusia yang tak berilmu. Ideal prilaku ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).
Penafsiran ayat di atas dinukilkan dalam khazanah pepatah Melayu tempo dulu “bagai buah kelapa, semakin tua semakin berminyak”. Dalam redaksi yang lain disebutkan “Tua-tua kelapa, makin tua makin banyak santannya”. Kedua nukilan tersebut memberikan makna bahwa “semakin tua semakin banyak ilmu dan pengalamannya sebagai suluh yang bermanfaat untuk sesama”.
Namun, dalam pada tataran implementasi, tanpa disadari prilaku anak-anak bersifat universal (seakan lebih abadi), terkadang terjadi tanpa batas, dan bergerak melampaui usia yang semestinya. Tatkala anak-anak berprilaku sesuai usianya akan dianggap normal. Namun, tatkala manusia dewasa berprilaku bagai anak-anak tanpa peduli dengan usia dan kedudukannya, maka tergelincir pada level ketidaknormalan. Ketika usia buah kelapa yang tua semakin “bersantan”, namun keanehan muncul tatkala bertambahnya usia manusia justeru kembali pada awal kelahirannya. Prilaku ini dinukilkan pepatah Melayu tempo dulu “tua-tua keladi, semakin tua semakin (men-) jadi”. Penggunaan terma keladi memberikan makna semakin tua yang tidak tahu diri karena berlagak seperti halnya prilaku usia anak muda.
Ada beberapa indikasi “prilaku anak-anak” mendera prilaku kelompok dewasa dan tua, antara lain :
Pertama, Berebut “mainan” meski tau bukan miliknya, namun terus berusaha merebutnya, meski menghalalkan segala cara. Tak lagi berkaca atas perkembangan usianya. Tak tersisa lagi rasa malu atas kehampaanya apa yang dilakukan. Semua ditutup dengan saling berebut berbagai “mainan” agar dapat dimiliki apa yang diinginkan. Agar hasrat tercapai, semua jalan ditempuh. Menjual harga diri bak peminta-minta tak lagi tabu, apalagi malu. Aturan sebatas kumpulan tulisan yang dibaca bagai untaian puisi tanpa makna. Etika sebatas semboyan dan mainan kata. Rambut memutih tak lagi jadi tanda. Gelar tak lagi sangar dan menggelegar. Intelektualitas dan keyakinan sebatas simbol formalitas. Hanya yang tersisa asa untuk memiliki semua yang diinginkan dan berprilaku tak sesuai usia. Bila perlu sampai bumi mampu “dipeluk dan digendong” untuk ditaklukkan dan dikuasai. Semua melupakan tanggungjawabnya dihadapan Sang Pencipta dan pelukan akhir sebatas bongkahan tanah di alam barzah.
Kedua, Bangga memperlihatkan setiap ada “mainan baru” yang dimiliki (show style bermuara pada flexing style). Meski “mainan” yang dimiliki tak menambah nilai peradaban dan hanya membuat “dunia tertawa” getir. Apa yang ditampilkan hanya memperlihat kehebatan diri dan menunjukkan apa yang dimiliki nan tak dimiliki oleh orang lain. Meski semuanya sebatas kamusflase. Sungguh bijak sindiran pepatah Melayu menukilkan perumpamaan prilaku tipikal ini, “bak si kudung (tak berjari *pen) mendapatkan cincin”. Semua sebatas kebanggaan seakan semua yang ada merupakan torehan prestasinya sendiri. Seakan lupa bahwa sebenarnya semua yang ada merupakan akumulasi kerja keras secara kolektif dan berproses panjang sebelumnya.
Ketiga, Senang bercerita hal sederhana dan tak bermanfaat. Bercerita tentang keluarga, perjalanan, atau apapun aktivitas kesehariannya. Mempublikasi hal sepele yang mengundang cibiran. Bagai anak-anak menceritakan memiliki sepeda baru, tas baru, naik kendaraan baru, dan sebagainya. Ceritanya tak lebih mengungkap keberuntungan dan kehebatan diri, kemegahan rumahnya, kekayaan diri atau orang tuanya, mahalnya pakaian yang dipakainya, atau berbagi info tanpa ada manfaat. Padahal semua hanya sekedar menutupi ketakmampuan semata sekaligus “kepikunan peradaban” yang sedang menimpanya.
Keempat, Membanggakan apa yang dimiliki, meski sepele. Bahkan terkadang yang dimiliki hanya sebatas “pinjaman” semata. Bangga menginap di hotel mewah, naik pesawat pribadi (sebatas foto selfi), makan di restoran berkelas, barisan credit card yang dimiliki (hakikatnya deretan buku hutang), dan lain sebagainya. Semua media sosial dihiasi berbagai aktivitasnya yang bertujuan mempublikasikan diri untuk memperoleh sanjungan, decak kagum, dan tepukan gemuruh. Tak peduli apa saja dipublikasi, bahkan hal yang sangat sederhana tanpa nilai apa-apa. Acapkali, melakukan kritik destruktif bila dibelakang, bermulut manis bila berhadapan. Bak pepatah Melayu “lempar batu, sembunyi tangan”. Mengaku bagai kesatria, tapi nyatanya sebatas pecundang belaka. Model ini mencerminkan jati diri low civilization yang berharap pengakuan high civilization dari orang lain hanya untuk memperoleh sanjungan, pengakuan, dan pujian.
Kelima, Berselindung dengan “besarnya jubah”, bukan tegak kokoh bagai gunung atas prestasi kemampuan diri. Meski usia bertambah, acapkali tak mampu membangun mental malu yang seharusnya dibangun kokoh. Justeru, meski usia bertambah, rela “tunduk pada sesuatu” yang lebih bawah asal harapan diperoleh. Semua berlindung pada “jubah indah” yang ada untuk meraih nasib, bukan merubah nasib melalui kemampuan guna menjaga martabat diri agar tetap terpelihara marwahnya.
Keenam, Flexing style bak baru kenal peradaban. Ketika trend baru bermunculan (tik tok ria, demam CFW, dan sejenisnya) tak luput menyerang semua usia. Semua berebut panggung karena khawatir dianggap tidak update peradaban baru. Pergerakan usia ternyata tak lagi menjadi bahan pertimbangan atas gerak prilaku. Gurauan di luar batas telah melupakan usia yang dimiliki. Lupa akan usia yang seharusnya “berperadaban” mumpuni.
Kesemua indikasi di atas bisa terjadi pada setiap diri, tak peduli level posisi yang ditempati. Memanfaatkan usia sebatas menampilkan “tontonan permainan” yang melupakan diri dan tak mampu menjadi “tuntunan penuh ketauladanan”. Sungguh dagelan lucu yang kehilangan makna sebagai pedoman. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah : 65).
Secara teori ilmu jiwa yang membicarakan korelasi perkembangan usia dan prilaku seakan terbantahkan. Acapkali manusia mengikut siklus roda, bukan grafik normal. Siklus putaran roda mengisyaratkan manusia berprilaku stagnan dan monoton. Akibatnya, lahir peradaban monktin dan stagnan pula. Berbeda halnya dengan manusa yang dinamis dan berperadaban. Putaran roda bergerak dinamis yang melahirkan peradaban yang semakin maju, tanpa mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Sayangnya pilihan acapkali pada siklus roda stagnan (bahkan mundur) yang kembali pada aktivitas atau prilaku sebelumnya, bukan makhluk berperadaban yang dinamis ke arah kematangan. Adapun indikasi dominasi siklus roda antara lain :
Pertama, berprilaku pada aktivitas usia level di bawahnya. Ketika usia anak-anak suka bermain, jalan-jalan, makan, menonjolkan komunitas yang dimiliki, atau lainnya. Hal yang sama kembali terjadi ketika usia tua. Kedua, Berpikir dan “berbudaya” yang berstandar selevel (atau beberapa level) di bawahnya. Bila ketika kecil mudah merajuk, minta diperhatikan, mudah menaruh dendam atau mudah tersinggung karena ketidakmatangan akal dan hati, maka hal ini pun bisa kembali terjadi ketika usia tua. Ketiga, Berbicara dan berprasangka yang berstandard level di bawahnya. Bila ketika kecil berbicara dan berprasangka negatif akibat tidak ada ilmu dan kematangan emosi. Hal yang sama kembali terjadi di usia tua.
Mungkin ini maksud teori Darwin tentang asal usul manusia. Meski teori ini terbantahkan secara material, tapi bisa diterima secara esensial. Ketika Darwinisme gagal membuktikan kelanjutan roda evolusi, maka secara esensial bisa secara mudah dibuktikan keberlanjutan roda evolusi. Pembuktian teori ala Darwinisme dapat dilihat pada beberapa pembuktian prilaku (logika kasat mata), yaitu :
(1) Interaksi selevel. Ketika prilaku usia bayi, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, ternyata pada puncaknya kembali jadi bayi, anak-anak, bahkan remaja. Rotasi ini ternyata tak berpengaruh pada strata sosial, pendidikan, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Siklus roda ini secara mudah akan terlihat pada saat manusia berada pada komunitas selevel. Di posisi ini akan terlihat siklus roda prilaku dan budaya setingkat di bawah, bahkan beberapa level di bawahnya. Sementara ketika berada pada interaksi komunitas yang setingkat (selevel), ternyata membangunkan otak bawah sadar menggerakkan prilaku pada level setingkat bahkan beberapa tingkat di bawahnya. Sebab, tatkala berada selevel, manusia acapkali beraktivitas pada prilaku “aneh” dan tak mencerminkan usia yang seharusnya.
(2). Interaksi beda level. Tatkala berada pada level yang berbeda (atas atau bawah), siklus ini juga sulit dipahami. Sebab, perbedaan level menggerakkan otak berprilaku “seakan” lebih baik demi menutup prilaku aslinya. Tatkala berhadapan pada level di bawahnya, aktivitas yang terjadi lebih didorong untuk menjaga kewibawaan dan kehormatan diri. Sementara bila berhadapan pada level di atasnya, acapkali aktivitas dikondisikan pada kepatuhan dan “penghambaan” yang bertujuan “mengamankan diri”.
Sungguh, ternyata memang aneh kematangan usia manusia acapkali tak berkorelasi bila berhadapan pada level tertentu yang dijadikan objek komunikasinya. Ternyata, usia sulit berkorelasi dengan tingkat kematangan berfikir dan kebermanfaatan prilaku pada sesama. Padahal, manusia yang baik dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Sebaik-baik manusia ialah orang yang senantiasa mengingat Allah, dan seburuk-buruk manusia adalah orang yang suka mengadu domba, suka memecah belah antara orang-orang yang saling mengasihi, suka berbuat zalim, suka mencerai-beraikan manusia, dan selalu menimbulkan kesusahan” (HR. Ahmad).
Mengacu pada hadis di atas, bahwa dalam mengisi usia, hidup ini tak perlu berupaya untuk menjadi seseorang yang disegani, dipuja, apalagi ditakuti. Tetapi jadilah seseorang yang berguna bagi siapa pun (alam semesta), terutama sekitar diri. Wujudkan jiwa ketauladanan dalam diri agar menjadi seseorang yang mampu menginspirasi orang lain, bukan menimbulkan antipati dan kebencian pada sesama. Meski semakin usia bertambah (deret hitung), kearifan semakin sulit ditemukan. Lebih mudah ditemukan “drama prilaku masa kecil” yang dominan muncul kepermukaan, seiring kematangan usia (deret ukur) yang hanya hitungan angka belaka. Ingatlah pesan Rasulullah melalui sabdanya :
“Sebaik-baik di antara kalian ialah orang yang panjang umurnya dan baik pula amalannya”. (HR At-Tarmidzi).
Demikian jelas pesan Rasulullah untuk pedoman hidup umatnya. Umur akan habis seiring waktu, namun manusia bisa mengupayakan kualitas umurnya. Bukan usia panjang yang terpenting, melainkan keberkahan dan kebermanfaatan usia lebih utama. Keberkahan ditandai dengan kualitas iman, amal ibadah, dan akhlaq (iman, Islam, dan ihsan). Sedangkan kebermanfaatan ditandai dengan lahirnya karya yang bermanfaat bagi seluruh isi alam semesta. Alam merindukan para kesatria pejuang keummatan yang ikhlas menata semesta, bukan minta disebut pahlawan padahal tanpa perjuangan.
Lalu, bagaimana kualitas usia masing-masing diri. Apakah kualitas usia anak-anak yang lebih mendominasi meninggalkan deret hitung umur yang sebenarnya atau kualitas diri seirama bertambah usia ? Tentu tak ada yang tau aneh atau tidaknya usia setiap diri, kecuali setiap diri yang mampu menjawabnya melalui kualitas muhasabah dan tafakkur pada Ilahi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 29 Agustus 2022