Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
SOSOK seorang sahabat sangat diperlukan. Sebab, sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendiri dan eksistensinya membutuhkan orang lain.
Namun, sosok sahabat sejati sangat sulit didapatkan. Sosoknya sulit dicari bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bila ada dapat ditemui, ketika hilang kehadirannya sangat sulit diganti. Kebanyakan hanya sekAdar kenal dalam kapasitas teman semu dengan penuh intrik politik kepentingan sesaat yang menggebu. Teman semu sebatas “pelarian” ketika diri tiada yang peduli. Bila ada yang memberikan apa yang diharapkan, teman semu hilang terbang bagaikan debu.
Paling tidak, ada enam kriteria sahabat yang sesungguhnya, antara lain:
Pertama, sahabat senantiasa memberi nasihat kebenaran hakiki. Nasihatnya bijak, bukan menyepak. Mutiara nasihatnya bernas menyelesaikan persoalan. Kritikannya tajam memperbaiki kekeliruan. Ia hadir ketika duka, tersenyum bangga bila melihat saudaranya bahagia.
Ia tak ingin menonjolkan diri apalagi memanfaatkan kondisi bila saudaranya di atas puncak kuasa. Tapi, ia selalu siap memapah dan menggendong tatkala saudaranya berjalan terseok-seok tak bertenaga, apatahlagi jatuh tersungkur nan hancur. Ia bukan duri dalam daging, tapi hadir tanpa pamrih dan tak ingin membebani, apalagi harap puji.
Sahabat senantiasa menyuguhkan jamu. Suguhan jamu yang pahit, namun menyehatkan tubuh. Ia tak pernah menyuguhkan madu yang ternyata berisi racun berbisa dan membinasakan.
Kedua, sahabat senantiasa mendoakan untuk kebaikan tanpa henti. Munajatnya ikhlas untuk kebaikan, bukan pengkhianatan untuk meraih kepentingan. Sahabat selalu menasihati, bukan membiarkan kesalahan diri. Sahabat berupaya menyelamatkan, bukan menikam bila ada kesempatan.
Ketiga, sahabat menghindari perdebatan sia-sia. Tukar pikiran menjadi keharusan, tapi dialog bernas dalam keselamatan dan meluaskan laut ilmu yang tak bertepi. Adab berteman selalu didahulukan. Tak ingin mempermalukan, apalagi membuka aib sesama.
Keempat, sahabat tak pernah menyakiti, tapi selalu mengobati. Kata dan perbuatan penuh pertimbangan bijak. Semua dipikirkan secara matang dan penuh perhitungan. Katanya tak pernah menoreh luka yang tak terobati, apalagi mengumbar fitnah yang tak bertepi. Dalam hatinya tak tersimpan rasa iri dan dengki. Ia ikut merasakan sakitnya bila dikhianati dan bahagia bila dihargai.
Kelima, sahabat abadi berangkat dari hati, tanpa dorongan materi apalagi bagi-bagi kursi (kekuasaan). Sahabat tak pernah berjanji kosong demi mendapatkan apa yang diinginkan, apalagi pamrih atas pertolongan yang diberikan. Sahabat tak berharap balas budi, tapi selalu ikhlas ketika memberi. Untaian kata bagai untaian mutiara yang menyejukkan hati.
Keenam, sahabat bukan sebatas berkumpul menikmati hidangan bak sekawanan serigala menyantap mangsa untuk dimakan. Saling berebut untuk melahap apa yang ada. Atau saling berebut mainan yang bukan miliknya. Tapi sahabat senantiasa hadir membantu tatkala dirundung kesusahan, bukan sekadar menumpang ketenaran sesaat dengan menumpuk harta kekayaan dan kuasa tanpa aturan.
Sahabat ikut merasakan kebahagiaan, namun tak pernah bermaksud untuk merampasnya. Sahabat hadir mengobati luka, bukan menambah sayatan durjana. Sahabat tak pernah mengambil manfaat, tapi saling mengingatkan agar berbagi pada sesama.
Sungguh sulit mencari sosok sahabat. Meski mudah mencari teman, namun acapkali tersimpan tujuan yang tersembunyi. Sahabat akan terlihat ketika madu diri telah kosong kerontang. Ia tetap hadir dengan membawa setetes embun penyejuk dan seteguk air menghilangkan kehausan, serta menghangatkan ketika dingin menerpa tulang. Namun, sosok teman tak lagi terlihat bila tak ada lagi madu yang dapat dihisap, bahkan tak pernah hadir untuk hinggap ketika dahan bertengger patah disabar petir atau lapuk dimakan usia.
Pepatah mengatakan “Tak ada kawan atau musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi“. Demikian sifat manusia. Meski sungguh memilukan, tapi demikian kenyataan yang terkadang muncul di depan mata. Meski demikian, masih ada teman sejati yang hadir tak tanpa sedikitpun berubah. Hadirnya bagai mutiara di tengah lebatnya hutan. Cahaya memancar memecah pekatnya malam.
Namun ingatlah, “sosok paling berbahaya adalah teman yang menjadi musuhmu dan sosok paling baik dan membela adalah musuh yang menjadi temanmu“.
Musuh yang berbahaya adalah teman yang pernah menjadi sahabat dan banyak menerima pertolonganmu, namun lupa atas kebaikan yang diberikan. Bahkan, berupaya menikam dari belakang. Ternyata, ia telah membuka aib karakter dirinya dengan sikap sebatas memanfaat pertemanan dan memperlihatkan kepura-puraan yang selama ini ditutupi dengan rapi. Sebab, teman yang berubah menjadi musuh akan membuka semua aib diri yang ia ketahui selama ini.
Teman seperti ini bak serigala berbulu domba. Teman bagai baling-baling di puncak bukit. Tergantung “angin yang menguntungkan” ke situ pula arah dituju. Sementara musuh yang menjadi teman justru akan hadir membela, meski harus mengorbankan nyawanya. Sebab, kebencian sebelumnya telah berubah dengan persaudaraan abadi. Ia tak pernah mau tahu aib saudaranya, apalagi membuka aib atau keburukan saudaranya tersebut. Sebab, ia sadar dirinya pun penuh aib. Sahabat senantiasa istiqamah bagai kokohnya gunung nan menjulang. Tak peduli kekurangan sahabat, sebab tak ada manusia yang sempurna.
Lalu, lihatlah gambaran dalam diri. Apakah mampu menjadi sahabat atau hanya sebatas teman. Sebab, apa yang ada merupakan tebaran benih yang akan tumbuh kepermukaan. Pada gilirannya, tumbuh dan berbuah yang akan dipanen di kemudian hari. Bila hadir sebagai sahabat, maka akan hadir sosok sahabat dalam kehidupannya. Bila hadir hanya sebatas teman, maka akan hadir sosok teman dalam kehidupannya. Begitulah sunnatullah yang telah digariskan oleh Sang Pencipta alam semesta.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab…..
Terbit diharian Riau Pos Online tanggal 14 Maret 2022