Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Setiap peringatan maulid nabi, kehadirannya merupakan momentum kebahagiaan seluruh alam semesta atas lahirnya junjungan pembawa rahmat. Beliau adalah baginda Rasulullah Muhammad SAW, pemilik sejuta ketauladanan sebagai manusia sempurna (insan kamil). Seluruh dimensi ruang maulid merupakan totalitas kemuliaan yang dicontohkan Rasulullah agar umat tak tersesat dibelantara “kejahilan” diri yang dilalui. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” (QS. al-Ahzab : 21).
Ayat di atas merupakan jawaban terhadap QS. al-Ahzab : 20, ketika Allah ﷻ mencela orang-orang munafik yang menyebutkan dirinya seakan beriman, namun realitanya hanya mendustakan apa yang diimani.Untuk itu, Allah mengingatkan kepada orang beriman agar tidak meniru sifat orang munafik yang berkata mengikuti ajaran Rasulullah, padahal mereka tak melakukan apa yang diikrarkannya. Semua dilakukan untuk menutupi diri agar tercapai kepentingan nafsu duniawi yang berlapis. Adapun karakter munafik sangat sulit ketika diberikan nasehat atau mengikuti kajian kebenaran. Bahkan, kajian pembanding yang mereka miliki seakan lebih tinggi dibanding yang menasehatinya. Karakter kaum munafik hanya dipenuhi asa kepentingan. Meski untaian kata biasa-biasa saja akan dikatakan luar biasa karena kepentingannya. Sedangkan bila asa kepentingan telah sirna, pujian hilang serta merta apalagi bila kuasa telah sirna, bahkan sabda Rasulullah pun (mungkin) dianggap sepi tanpa makna. Bagi pemilik karakter munafik, semua nasehat kebenaran bagai tetesan air di daun talas. Meski air mengalirinya, namun langsung meninggalkan permukaan daun tanpa berbekas sedikit jua. Air jernih (maulid nabi) yang menetes hanya akan tumpah ke bumi, kotor menyatu menjadi lumpur dan ditinggalkan. Bila setiap momentum maulid Nabi “bagai air di daun talas” yang hanya sebatas membasahi lisan, gegap gempita dipanggung peringatan, maka ia akan berlalu menjauh dari perbuatan tanpa mampu transit meski sejenak. Andai tersisa tetesan “air ketauladanan” maulid, namun tak bertahan lama, lenyap oleh hembusan “angin semilir” kepentingan dunia yang menggoyang daun talas. Ada beberapa indikasi kepribadian daun talas terhadap maulid nabi Muhammad SAW yang menimpa manusia, antara lain :
Pertama, Ungkapan sebagai umat Nabi Muhammad, tapi prilaku bertolak belakang dengan ajaran baginda Rasulullah. Meski Allah dengan jelas berfirman :“Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’ : 107), demikian jelas dengan contoh ditampilkan oleh Rasulullah, namun semua sirna oleh desakan “kepentingan syahwat” material, singgasana, prestise, politik, dan lain sebagainya. Padahal, sebagai umatnya, manusia wajib menjadikan nabi Muhammad sebagai imam pada seluruh dimensi kehidupan. Bukan sebatas lisan berucap umat Rasulullah dengan berbagai variannya, namun perbuatan mengikuti perilaku “Abu Lahab dan Abu Jahal”.
Kedua, Shalawat sebatas untaian kata dan senandung lidah, namun tak mampu menyiram bagi tumbuh kerinduan pada Rasulullah, tapi justeru bersamaan mata hati semakin buta dan membeku. Padahal, ungkapan shalawat merupakan kalimat mulia yang diucapkan seluruh alam semesta pada Rasulullah. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, Bersholawat-lah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (Q.S al-Ahzab : 56).
Rasulullah membalas shalawat umat dengan kerinduan pada mereka. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risalah, menukil sabda Rasulullah SAW : ”Kapan aku akan bertemu para kekasihku?” Para sahabat bertanya, ”Bukankah kami adalah para kekasihmu?” Rasulullah menjawab, ”Kalian memang sahabatku, para kekasihku adalah mereka yang tidak pernah melihatku, tetapi mereka percaya kepadaku. Dan kerinduanku kepada mereka lebih besar” (HR. Anas bin Malik).
Sungguh merugi bila ingatan dan shalawat hanya pada peringatan maulid. Hina pula diri bila getar ingatan dan untaian shalawat hanya sebatas asesoris yang tak mampu membangun kerinduan untuk menjaga risalah Rasulullah. Apatahlagi bila untaian shalawat hanya dijadikan sebagai “banker pelindung” untuk menutupi keroposnya diri dari ajaran Rasulullah.
Ketiga, Munajat berharap peroleh syafaat, tapi perilaku keseharian hanya melambai laknat-Nya. Sungguh shalawat merupakan media berharap syafaat Rasulullah. Hal ini dinukilkan dalam hadis qudsi, bahwa Allah berfirman, “Bahkan kalau bukan karena engkau Muhammad, tidak akan Ku ciptakan alam semesta ini.” Untuk itu, shalawat dan kerinduan pada Rasulullah bagai dua sisi mata uang yang melahirkan pengharapan umat pada syafaat Rasulullah. Tentu melalui shalawat dan kerinduan yang merujuk pada ketauladanan dan akhlak Rasulullah. Sebab, bila shalawat dan kerinduan sebatas hiasan bibir, sementara perilaku bertentangan dengan ajaran nabi, maka berarti sedang “berolok-olok” untuk melambai laknat dan murka Allah, serta jauh dari syafaat Rasulullah.
Keempat, Rasulullah senantiasa ingat umatnya, namun umat hanya ingat kroni-kroni dan lupa pada ajaran Rasulullah. Demikian besar cinta Rasulullah pada umatnya. Hal ini terlihat melalui sabda Rasulullah : “Aku memohon syafa’at kepada Allah untuk umatku. Dan itu dikabulkan oleh-Nya bagi mereka yang tidak menyekutukan-Nya” (HR. Ibn Abi Syaibah dan Ahmad).
Namun, ingatan Rasulullah pada umat terkadang tak berkorelasi dengan ingatan umat yang dominan pada kroni-kroninya. Bila hal ini terjadi, sulit lahirnya koneksi yang semestinya, tapi suburnya koneksi apa yang dipentingkan-nya, meski menghalalkan segala cara dan menjual agama.
Kelima, Rutinitas maulid (berikut aksesorisnya) selalu diperingati, namun justeru kemungkaran yang jadi rebutan dan agenda utama. Sementara ajaran Rasulullah tak lagi diperdulikan dan semakin ditinggalkan akibat kejahilan.
Meski sibuk menyatakan diri moderasi (toleransi), tapi perayaan maulid nabi masih juga dianggap dan dinilai bid’ah. Penyebabnya, proses moderasi yang diterapkan menggunakan mekanisme berfikir terbalik. Padahal, Rasulullah mengawali pondasi moderasi berpijak pada internal umat Islam. Setelah umat Islam mapan untuk saling menghargai dan menjadi makmum di belakang Rasulullah, baru meluas lintas antar umat beragama. Harmonisasi internal akan menjadi nilai positif bagi bangunan moderasi eksternal. Hal ini terlihat sejak periode awal sampai lahirnya Piagam Madinah. Pondasi ini merupakan implementasi firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. at-Tahrim : 6).
Keenam, Rasulullah tegas pada kekufuran dan santun dengan sesama. Sikap tersebut merupakan benang merah sikap seorang muslim. Meski santun secara sosial dengan orang kafir, namun tegas berkaitan agama (akidah). Hal ini dinukilkan Allah dalam firman-Nya :“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,… ” (QS. al-Fath : 29).
Sementara masih tersisa apa yang difirmankan-Nya terimplementasi secara terbalik dengan alasan “baju toleransi dan HAM”. Akibatnya, “baju” tersebut melupakan hak mayoritas. Indikasinya ada beberapa aturan, pemahaman atas hukum dan kebijakan bagai “tamu” atau pendatang di negeri sendiri. Padahal, ari-ari tertanam rapi dengan silsilah keturunan jelas perawat NKRI.
Obyektivitas Rasulullah menjaga supremasi hukum tanpa memandang siapa yang melakukan demikian jelas. Hal ini terlihat jelas hadis dari ‘Aisyah RA yang menceritakan, “… Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari- Muslim).
Logika hadis di atas, memperlihatkan sedangkan keluarga terdekat dengan Rasulullah saja dihukum bila melakukan kesalahan, apatahlagi hanya sebatas kolega. Semakin dekat pada zuriyat, semakin terjaga akhlak diri. Demikian jelas dan sempurna ketauladanan yang dicontohkan Rasulullah untuk diikuti umatnya, baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Untuk itu, para ulama yang senantisa mentauladani Rasulullah senantiasa menjaga adabnya. Bahkan mereka berusaha mulai pada hal-hal yang kecil untuk membentengi diri dari su’ul adab pada Rasulullah.
Mereka tidak menggunakan istilah maulid (dengan varian maksud yang sama) untuk dirinya. Sebab, makna maulid hanya disematkan untuk Rasulullah. Sementara untuk umat, para ulama menggunakan istilah “haul” yang diperingati pasca kematiannya. Demikian para ulama menjaga adabnya dihadapan Rasulullah yang setiap detik selalu menghadirkan maulid Nabi secara substansial nan membekas penuh kerinduan dan tanpa henti.
Demikian nyata ayat Allah, demikian jelas sabda Rasulullah, demikian berulang pula maulid nabi (demikian pula PHBI lainnya) diperingati. Akankan semua mampu membekas dalam qalbu, bersemayam dalam akal, berwujud dalam af’al (perbuatan). Ataukah, semuanya sebatas tetesan embun dari surga yang menimpa diri bak air menetes di daun talas yang tak berbekas. Bila demikian, merugilah diri. Sebab, tetesan air surga hanya akan dinikmati oleh bumi yang senantisa bertasbih dan sujud pada Allah. Bila hal ini pilihan manusia, wajar bila aktivitas diri tak mencerminkan totalitas nilai maulid nabi. Wajar bila terungkapnya “beberapa peristiwa” yang terjadi belakangan ini (sudah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi) merupakan “ayat-ayat Allah” dalam bentuk kauniyah atas bukti kebenaran risalah Rasulullah yang telah dikhianati dan didustai manusia secara nyata. Bagai tanaman yang telah ditanam dan waktunya akan menuai, baik pada dimensi benih fujuraha atau wa taqwaha. Semua pasti tak terlepas dari skenario dan rahasia Allah untuk i’tibar bagi semua ciptaan-Nya, terutama manusia yang berakal dan penuh rindu pada Rasulullah.
Lalu, masihkah peringatan maulid berlalu tanpa pesan dan kesan yang membekas dalam diri. Bila hal ini yang terjadi, maka maulid nabi hanya sebatas air menetes di daun talas atau diri telah berkarakter daun talas.
Hanya setiap penerima anugerah getar rindu pada Rasulullah yang mampu merasakan kebahagaiaan bersama junjungan alam dan memaulidkan Rasulullah dalam setiap tarikan nafasnya. Bila hal ini terpatri, maka seluruh ruang diri hanya terisi asma Allah dan cerminan akhlak Rasulullah. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin. Tapi entahlah, sebab ia bukan wilayah kata, tapi wilayah rasa yang tak berhuruf dan tak mampu didustai. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 10 Oktober 2022