Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Setiap tanggal 27 Rajab, umat Islam seluruh dunia memperingati peristiwa agung yang terjadi pada manusia Agung, baginda Rasulullah SAW. Peristiwa tersebut adalah perjalanan istimewa isra’ dan mi’raj nabi Muhammad SAW. Meski peringatan tersebut setiap tahun dilakukan, namun upaya menangkap pesan moral untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan, acapkali tak mampu digapai.
Ketidakmampuan tersebut bisa jadi disebabkan beberapa faktor, antara lain :
Pertama, kedangkalan ilmu manusia untuk menangkap pesan agung tersebut. Bila hal ini yang terjadi, maka solusinya perlu lebih banyak belajar untuk mampu menyibak makna yang sesungguhnya.
Kedua, umat terlalu sibuk menghabiskan waktu “memperdebatkan” persoalan sepele tentang boleh atau tidaknya memperingati peristiwa tersebut. Khilafiyah berkepanjangan yang menyita waktu dan tak pernah bertepi. Perbedaan ini akhirnya tak sempat membongkar pesan agung yang harusnya diraih. Bila hal ini terjadi, maka sudahi perbedaan pendapat yang justeru tak ada hasilnya.
Ketiga, terdindingnya hidayah dan bekunya hati pemilik ilmu akibat jauhnya diri dari ruh ajaran agama. Ilmu yang dimiliki sebatas deretan gelar, namun jauh dari akhlak Rasulullah. Ketika Rasulullah mengajarkan hati yang tak pernah membenci, senyum yang tak pernah menyakiti, kata yang lembut penuh hikmah, dan sayang sepanjang masa, dan tak pernah khianat. Sementara dalam keseharian, prilaku terbalik yang dilakukan. Bila hal ini terjadi, munajatlah pada Ilahi, mohon pengampunan tiada henti.
Sungguh, isra’ dan mi’raj mengajarkan sejuta pelajaran untuk jadi pedoman. Di antara hikmah yang dimaksud antara lain :
Pertama, ketika Rasulullah lapang (bahkan sempit), ia senantiasa ingat pada Allah. Ketika ia dalam sedih (peristiwa wafatnya Abu Thalib dan Siti Khadijah), Allah hadir untuk menghiburnya.
Berbeda dengan manusia pada umumnya, Ketika mereka mendapat nikmat justerus lupa pada Allah dan baru ingat Allah ketika musibah menerpanya. Sikap ini menjadikan manusia su’ul adab sehingga ketika mendapat kesusahan, giliran Allah yang “lupa” pada manusia. Seyogyanya, implementasi doa iftitah setiap shalat dilakukan sepanjang waktu guna melahirkan “rasa malu” pada Allah. Bukan pada waktu tertentu yang membuat diri alpa dan arogan melampaui batas.
Kedua, bila berhasrat menemui Sang Maha Suci, maka sucikan diri (terutama hati) secara totalitas. Kesucian bukan pengakuan diri secara lahiriyah atau mungkin penilaian orang lain, apatahlagi oleh manusia munafik. Namun, kesucian sesungguhnya yang mampu merasakan hadirnya Yang Maha Suci.
Ketiga, untuk menemukan petunjuk Ilahi, secara umum perlu waktu dan perjalanan yang panjang. I’tibar perjalanan dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha dalam pandangan zahir yang begitu jauh. Namun, ketika hati telah suci untuk bertemu pada Yang Maha Suci, ternyata singkat bila memperoleh cinta-Nya. Untuk sampai pada derajat ini, tentu sebagai manusia biasa memerlukan waktu dan perjalanan spritual yang berliku. Perjalanan panjang yang penuh godaan duniawi. Bila berhasil dilalui, maka selamatlah diri. Namun, bila godaan duniawi yang memenjarakan, maka hinalah diri.
Keempat, ketika Rasulullah diberi penghormatan mengimami para nabi dan malaikat, sungguh terselip i’tibar. Bila dekat dan Allah yang mengangkat derajat, semua makhluk tertunduk. Tak ada yang mempersoalkan asal kejadian dan senioritas. Hamba yang diangkat kemuliaannya dengan kemuliaan Allah. Namun, bila manusia yang mengangkat, apalagi dengan “setoran pundi” nan jauh dari ajaran Allah, pasti memanen kehinaan pada waktunya. Anehnya, umumnya manusia justeru memilih untuk minta diangkat manusia meski menjual agama. Padahal, begitu nyata contoh kehinaan telah terlihat di depan mata.
Kelima, pemandangan surga dan neraka menjadi cermin untuk memilih dua sisi yang bertolak belakang. Semua sisi lengkap terlihat jelas. Tergantung pada setiap diri untuk melakukan pilihan. Akal, hati, pancaindera, bahkan ayat tertulis dan terbentang telah Allah hadirkan untuk menjadi alat memilih. Bila pilihan bijak, maka bahagialah diri. Namun, bila pilihan keliru, maka binasalah diri.
Keenam, meski Rasulullah memperoleh keutamaan yang tertinggi, namun tak pernah lupa turun ke bumi menyelamatkan umat memperoleh hidayah-Nya. Beda dengan umat hari ini, meski pada tataran oknum, namun setelah berada pada posisi tinggi acapkali enggan turun ke “bumi”. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga posisinya yang penuh fasilitas. Tidak peduli jalan yang ditempuh.
Ketujuh, dalam perjalanan ke bumi, Rasulullah menerima nasehat nabi Musa. Simbol kearifan hamba Allah yang mulia untuk jadi contoh umat manusia dalam realitas kehidupan. Meski berada pada posisi tinggi, nasehat sesama perlu didengar. Tak akan hina mendengarkan nasehat kebenaran. Tak pula mulia dan hebat bila nasehat sesama tak lagi didengar. Justeru, nasehat kebenaran (meski pahit) akan membawa keselamatan. Sementara tak mendengar nasehat (hanya mendengar nasehat “pembisik” sekitar ikat pinggang) justeru akan membawa kehancuran dan malapetaka.
Kedelapan, meski kebenaran yang dibawa dan disampaikan, dua kelompok akan tetap hadir. Kelompok yang membenarkan hadir dalam jumlah terbatas. Sementara penolakan kebenaran hadir lebih dominan. Tergantung konsistensi menegakkan kebenaran pada diri. Bila konsisten, kebenaran akan mengalahkan kebathilan. Namun, bila diri dikalahkan oleh cacian dan cercaan, maka kebathilan akan berkuasa menindas kebenaran.
Sungguh banyak dan nyata i’tibar permata isra’ dan mi’raj. Meski setiap tahun diperingati, namun serasa manusia modern semakin jauh dari permata yang sampaikan Allah melalui perjalanan istimewa yang dilakukan Rasulullah.
Kesembilan, puncak pertemuan hamba dan Khaliq melalui shalat yang khusyu’ dan terpancar dalam kepribadian yang mulia. Berjamaah membangun kekuatan, bukan memecah belah atas perbedaan pandangan. Harmonisasi imam dan makmum lambang kehidupan berbangsa. Ada aturan bila imam keliru, ada pula cara menegur imam. Imam tak arogan bila diluruskan, makmum bijak mendengarkan imam, bukan sebaliknya. Kesejukan dan citra atsar as-sujud seyogyanya terlihat di luar shalat. Namun, bila setelah shalat ketundukan tak mampu mewarnai diri, bahkan di dalam shalat terkadang masih menilai diri paling benar dan mulia.
Demikian Allah mengingatkan berulangkali dalam QS. ar-Rahman “maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”. Jawabannya sungguh terlalu banyak dan bahkan terkadang melampaui batas dan terlempar terlalu jauh.
Masihkah permata isra’ mi’raj tahun 2022 di tengah musibah dan wabah yang mendunia tetap tak mampu menyentuh dimensi penghambaan. Atau, dimensi penghambaan telah mati, berubah menjadi tuhan di atas Tuhan. Hanya dialog diri yang senantiasa berkomunikasi dengan Sang Khaliq mampu menjawabnya dengan menangkap permata Ilahi yang sebenarnya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab…
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 28 Februari 2022