Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
EKSISTENSI dan peran pers tak dapat dipungkiri. Dunia pers telah berkontribusi dalam menyuarakan dan menyebarkan berita atas kemerdekaan Indonesia. Bukan saja dalam lingkup Nusantara, namun dunia. Insan pers telah ikut berkontribusi dalam merebut, mempertahankan, mengisi, bahkan menjaga kedaulatan NKRI.
Dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia, seyogyanya insan pers perlu memperoleh penghargaan sebagai “pahlawan” melalui “tarian pena dan berita” dalam melawan penjajahan. Sebab, meski insan pers tak memanggul senjata, namun melalui berita yang disampaikan (baik radio, tv, dan tulis) ikut memberikan andil bagi negeri ini. Bila tanpa insan pers, informasi akan mengalami hambatan. Dalam melaksanakan tugasnya, insan pers terkadang berada “di ujung tanduk” antara kekuatan kebenaran dan politik kepentingan.
Sejarah mencatat, betapa insan pers mampu menggoyang dunia melalui informasi kebenaran yang disampaikan. Melalui pers, mampu mengubah maindset bangsa untuk memperoleh kemerdekaan. Upaya memperoleh berita berkualitas, insan pers acapkali berada dalam posisi bahaya. Mereka hadir antara dentuman bom dan bisingnya mesiu yang mengancam jiwanya.
Kesemua itu dilakukan bukan semata-mata motivasi material, namun lebih pada upaya untuk memberitakan sisi kemanusiaan yang teraniaya dan kezhaliman yang menganga. Serasa tak kenal lelah dan rasa takut. Semua dilakukan agar kebenaran hadir dan menjadi perhatian semua manusia. Tak ada batas SARA dan kepentingan politis. Tujuannya hanya memberikan informasi agar kebenaran mampu diungkap secara benar.
Dalam lintas sejarah, peran insan pers untuk mencerdaskan peradaban tak dapat dipungkiri. Katakanlah sosok Jamalauddin al-Afghani melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa (12 Maret 1884). Tulisannya telah menghentak kesadaran agar umat bersatu melawan tirani penjajahan Ia sedih melihat negara Islam terpuruk oleh ulah bangsa penjajah yang telah mengadu domba negara-negara Islam.
Melalui majalah tersebut, ia menyebarluaskan cita-citanya untuk menyadarkan pemikiran umat yang terbelenggu oleh penjajahan. Demikian pula Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Melalui majalah al-Manar (1898), ia menyebarluaskan kebenaran dan mencerdaskan. Bahkan, pengaruh majalah ini berperan besar membangkitkan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.
Dalam konteks sejarah Indonesia, keinginan menerbitkan surat kabar di Hindia Belanda sudah sangat lama diinginkan, tetapi selalu dihambat oleh pemerintah Belanda. Sebab, Belanda takut bila surat kabar tersebut akan mencerdaskan rakyat Indonesia. Dunia pers nasional mulai kuat dengan terbitnya Soeara Merdeka dan Medan Prijaji di Bandung, Berita Indonesia di Jakarta, dan beberapa surat kabar lainnya di tanah air, seperti Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
Apa yang dipaparkan di atas hanya segelintir contoh betapa dunia pers telah memberikan andil dalam menyadarkan manusia atas ketertinggalannya dan memotivasi bangkit membangun peradaban. Sungguh, masih banyak lagi contoh konkrit kontribusi dunia pers membangun peradaban dunia.Tujuan mulia tersebut lahir dan didukung oleh sosok pribadi insan pers yang akan mewarnai pers di dunia, termasuk di Indonesia.
Ada beberapa alasan pers dalam lintas sejarah telah mampu memberikan andil besar bagi terbangunnya peradaban, bahkan setiap terbitannya dinantikan, antara lain :
Pertama, insan pers memiliki kualitas intelektual dan keteguhan moral. Kualitas intelektual yang mampu menyajikan informasi yang santun nan mencerdaskan, serta keteguhan moral yang malu bila menyajikan informasi “murahan”.
Kedua, insan pers lebih dominan berangkat dari panggilan batin, bukan sebatas mencari materi atau batu lompatan semata. Kepuasan intelektual lebih dominan meski terkadang secara materi hampir tak dirasakan. Ketika informasi yang disampaikan dibaca dan mampu menyadarkan manusia, muncul kebahagiaan dan kepuasan yang tak bisa dinilai oleh materi.
Ketiga, berita dan informasi yang disampaikan bersifat objektif, tanpa “pesan sponsor” apatahlagi “rekayasa” untuk kepentingan tertentu. Di sinilah substansi kebebasan pers. Kebebasan yang bermakna kemerdekaan dan lepas dari belenggu atau keterpasungan “penjajah” harga diri guna mencerdaskan manusia. Bila kebebasan ini dimiliki, maka independensi pers dapat dijaga kehormatannya. Menempatkan “kebebasan pers” yang salah justeru akan memunculkan fitnah dan kezhaliman berita.
Ada anomali dalam perundang-undangan. Bila hukum positif menganut mazhab “prasangka tak bersalah”, maka dunia pers yang tidak obyektif akan memahami dimensi terbalik “prasangka semua salah”. Bila apa yang diberitakan ternyata salah dan mencederai nama orang lain, maka akan disarankannya agar membuat klarifikasi. Padahal, psikologi sosial menempatkan manusia akan lebih tertarik dan ingat pada berita kesalahan dibanding berita kebenaran.
Acapkali alasan “kebebasan pers” menjadi tempat perlindungan. Padahal, semua rakyat Indonesia sama derajatnya di mata hukum. Apatahlagi bila dibawa pada ranah agama, maka akan muncul penganiayaan “masa depan”. Anehnya, bila kesalahan yang jelas justeru didiamkan karena ada alat “penenangnya”.
Keempat, sosok insan pers yang memiliki kekokohan idealisme dan tak bisa dibeli meski dengan tumpukan materi. Idealisme insan pers menjadi modal dasar bagi menjaga marwah dunia pers. Bila idealisme tak lagi dimiliki, orientasi hanya sebatas memenuhi target berita, maka kehadirannya akan sangat mudah dinilai sebagai media picisan tak berkualitas.
Kelima, insan pers yang memperjuangkan kebenaran, bukan kepentingan diri dan kelompok. Harga diri insan pers adalah istiqomah atas kebenaran. Meski tak semua yang benar patut diberitakan. Sebab, ada dimensi lain tujuan pers, yaitu mencerdaskan. Kebijaksanaan insan pers yang telah mewarnai peradaban dunia dalam menyajikan kebenaran dan mencerdaskan patut dicontoh agar kehadiran berita yang disajikan senantiasa dinantikan, bukan dipandang sebelah mata.
Sungguh dunia merindukan sosok insan pers yang mencerdaskan. Tak semua bisa menjadi insan pers. Sebab, insan pers adalah individu pilihan yang bermoral unggul. Perlu program terencana untuk memberikan pengetahuan dan izin memasuki dunia pers. Demikian besar peran dunia pers dalam sejarah dunia, jangan sampai hancur citranya oleh setetes nila yang jatuh dan merusak susu sebelanga.
Selamat hari Pers Indonesia, 9 Februari 1946-2022, “Pers mencerdaskan, Indonesia maju”. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit diharian Riau Pos Online Tanggal 21 Februari 2022