Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Negeri ini sedang diuji dengan beberapa persoalan yang membuat hati teriris pilu. Meski riak pilu sudah terasa lama, namun sulit dikemukakan, apalagi pilu diposisi “timun terhadap durian” atau bak “menatap matahari”. Ketika Allah membuka sekelumit kasus dan tersingkap sedikit “kain kafan” yang menjadi penyebab kepiluan anak negeri, semua terkejut dan saling menyalahkan. Seakan, apa yang terjadi merupakan “kecolongan” atas kewaspadaan dan kesucian yang diteriakkan. Sebab, “kejadian” ternyata mendahului “penyebab”. Padahal, secara umum, seharusnya “penyebab” mendahului “kejadian”. Bagai mendung mendahului hujan atau sakit mendahului kematian. Meski aneh dan tak mungkin, namun demikian yang terjadi. Mustahil hujan mendahului mendung atau kematian mendahului sakit. Demikian berbagai peristiwa pilu yang terjadi acapkali “kejadian” mendahului “sebab”. Bila “sebab” mendahului “kejadian”, berarti peristiwa normal. Namun, ketika “kejadian” mendahului “sebab”, maka berarti peristiwa abnormal sudah terbiasa terjadi dalam area yang luas, namun tak muncul kepermukaan. Bila ada, hanya disebabkan lagi “nasib sial” atau hanya sebagai “kambing hitam” untuk tujuan tertentu. Semua pasti berhulu dan berhilir, bersebab dan berakibat.
Saat ini ruang pendidikan dan penegakan hukum sedang didera kepiluan. Idealisme dan ketauladanannya sedang dipertanyakan. Meski akibat ulah oknum tertentu, namun pilu dan pedihnya terasa seluruh negeri. Kepiluan atas oknum penjaga pendidikan yang melakukan perbuatan tak terpuji, penanam moralitas ternyata tak bermoral, oknum penegak hukum yang melakukan “penjagalan hukum”, oknum perawat sumber alam justeru merusak dan menjual sumber alam, atau lain sebagainya. Semua dilakukan dengan gagah berani, tanpa malu, dan berupaya menutupi dengan “kebohongan” yang terstruktur rapi. Model alibi tak jauh beda. Mungkin pilu terjadi hampir di semua sektor, hanya saja Allah belum membuka aib yang ada. Bila Allah membukanya, tak ada yang mampu mengelak dan menafikan.
Menyikapi fenomena yang ada, dituntut kearifan semua pihak yang ada di negeri ini. Jangan merasa hina akibat ulah segelintir oknum. Jawab kesalahan yang terjadi dengan perbaikan yang terukur, serta tak mengulangi kesalahan lainnya. Jangan sampai bak pepatah “jatuh dilobang yang sama, sebab yang jatuh pada lobang yang sama hanya keledai”. Jangan pula merasa mulia, karena aib diri dan lembaga yang belum terkuak. Sebab, semua wilayah (personal atau lembaga) berpotensi mengalami hal yang sama bila aib terbuka. Perbaiki diri secara internal melalui munajat pada Allah dan secara eksternal dengan kepatuhan atas hukum yang ada. Jadikan apa yang terjadi sebagai i’tibar untuk perbaikan dan koreksi diri.
Merujuk pada fenomena di atas, ada beberapa kepiluan atas peristiwa yang sedang terjadi, antara lain :
Pertama, mafia ujian masuk Perguruan Tinggi yang melibatkan oknum unsur teras, temuan tindakan oknum yang merugikan negara yang tak berujung, atau perilaku tak terpuji oknum penegakan hukum. Semua terpampang jelas menghias media sosial, namun sepi-sepi saja. Mungkin kasus ini sudah lama terjadi, sehingga dianggap “sudah menjadi rahasia umum”. Anggapan ini menandakan praktek culas yang patut disesalkan, namun terlalu lama terungkap dan kurang dipeduli. Ada pula tampil oknum yang secara teoritis ideal, namun akhirnya terbuka perilaku yang dilakukan berbalik dari teori yang dikatakan. Meski demikian jelas dan terlihat kasat mata, namun acapkali bagai “minyak pertamax” yang jelas wujud dan baunya, namun “menguap dihembus angin” hilang entah kemana, ketika disentuh tangan akan terasa panas, atau ketika dibiarkan lenyap bak ditelan bumi.
Kedua, Pelecehan seksual. Perilaku keji ini justeru dilakukan oleh oknum pendidik dan oknum pemuka agama (hampir menimpa semua agama). Hal ini hanya segelintir terkuak, meski banyak jeritan yang tak mampu bersuara atau suaranya telah serak hilang entah kemana dikalahkan suara gemerincing nan menyilaukan.
Ketiga, Perundungan bak “premanisme” atas kelompok pada individu yang dilakukan di lingkup dan di luar lembaga pendidikan. Meski perundungan bukan kasus baru, tapi selalu berulang dan terulang. Bahkan, kekerasan dunia pendidikan dan penegak hukum yang berakhir pada kematian akibat ulah senior terhadap junior melalui “ploncoisme” dengan kekerasaan. Berbagai alasan muncul, mulai melanjutkan “tradisi” sampai persoalan sepele yang memicu persoalan tak terpuji. Kekerasan dalam bentuk komunal ikut terulang dengan tawuran yang dilakukan pelajar dan antar oknum penegak hukum acapkali terjadi. Semua terjadi akibat lemahnya pengawasan, besarnya “kuasa” senioritas terhadap junior, perolehan posisi melalui jalur tak normal atau “titipan” (bukan kualitas), hilang moralitas, dan lainnya ditenggarai ikut menjadi penyebabnya.
Keempat, kejahatan cyber dan kebocoran data. Seakan demikian rapuhnya pertahanan negara atas serangan dunia cyber dan ulah hacker Bjorka atas data Indonesia. Apa yang terjadi bukan untuk disepelekan atau dicari alasan penyederhanaan. Hal ini tamparan atas kedaulatan NKRI yang perlu serius dan cepat diantisipasi. Bila perlu, lakukan pemeriksaan atas sistem dan kualitas profesionalisme penjaga data yang ada.
Kelima, Pendidikan abal-abal dan ijazah aspal. Bahkan, kasus ini secara kasat mata terjadi di sekitar ibu kota dan berlangsung lama. Bila kasus ini demikian mudah terjadi disekitar ibu kota, bisa dibayangkan bila jauh disudut negeri yang sulit hadirnya pengawasan untuk melaksanakan pengawalan marwah dunia pendidikan. Demikian pula penegakan hukum demikian rapuh di pusat peradaban, bagaimana pula di wilayah pinggiran. Atau justeru wilayah pinggiran mengikuti aturan dan taat hukum.
Keenam, Transaksi asesoris prestise dan maraknya “mafia” pembuat karya tulis ilmiah yang menjerat seluruh jenjang dan sektor. Jeratannya bagai “jaring pukat harimau”. Semua disisir dan terbuai. Hampir semua sektor terimbas dan menerpa setiap jenjang atau jenis pendidikan. Hampir (atau sudah) hilang “wibawa dan marwah” dunia pendidikan. Demikian mudah gelar diberikan, meski acapkali tanpa korelasi atas apa yang diberikan terhadap lembaga dan dunia pendidikan, baik sebelum atau pasca anugerah yang diberikan. Anehnya, bukan merasa miris, tapi merasa bangga atas apa yang diberikan dan diterima. Sejuta dalil dan dasar dibangun untuk “melegalkan” apa yang dilakukan. Meski ungkapan bijak pernah menyatakan “tak ada makan siang yang gratis”. Ungkapan bijak mengingatkan agar hati-hati dengan kebaikan yang “aneh”. Bak pepatah mengatakan “ada udang disebalik batu”. Namun, agaknya memang manusia senang makan siang untuk membangun muslihat, apalagi lauk pauknya (umpan) berupa udang besar yang menjanjikan.
Hadirnya kebijakan “terindeks scopus” sebagai syarat tunggal ikut meramaikan “transaksi intelektual”. Posisi “tunggal” menyebabkan scopus “bak tuhan dan jual mahal”. Perusahaan baru dunia intelektual yang cukup menjanjikan pundi. Meski “jeritan intelektual” segelitir diteriakkan anak negeri yang tersisa memiliki hati dan harga diri, tapi tak didengar, apalagi memperoleh sambutan, bahkan dianggap sebagai rintangan yang perlu disingkirkan, atau angin lalu bersamaan “riuhnya” group berbagi info recehan.
Meski biaya transaksi kualitas prestise oleh mafia karya tulis ilmiah dan list atas kebijakan scopus yang cukup tinggi (mahal), namun tak ada yang peduli, meski terpaksa setuju dan rela ikut antrian panjang. Apa yang terjadi tak berkorelasi dengan kenaikan BBM yang direspon serentak. Dunia akademik dan akademisi tak bergeming, penegak kebenaran sibuk dengan urusan-urusan yang menjanjikan. Sementara pemilik hati dan harga diri hanya mampu membisu dan pasrah. Kebijakan tunggal yang semakin menyuburkan pelanggaran kebenaran ilmiah dan kokohnya liberalisasi menyerang semua sisi. Demikian halnya hukum yang tak tersentuh “tangan nestapa”, membangun liberalisme di setiap area.
Ketujuh, semakin rendahnya pemahaman generasi pada nilai-nilai nasionalisme. Bahkan, ikut heboh pula “oknum tertentu” dengan gagah melafalkan teks Pancasila, namun ternyata tak hafal (lagi). Andai seluruh punggawa dites hal yang sama, mungkin terjadi jua. Apatahlagi generasi penerus nantinya. Bila demikian, semakin jauh mampu memahami dan mengimplementasi-kan nilai-nilai Pancasila.
Kedelapan, adanya keanehan dan ketidakjelasan produk hukum. Aturan sama di negeri yang sama, tapi tak berlaku sama untuk semua. Padahal seyogyanya aturan dibuat untuk semua dalam kesetaraan dan berkeadilan. Beberapa kasus, penafsiran hukum dilakukan sesuai kebutuhan. Beraneka alasan dibangun karena celah yang dibuat. Namun, alasan semakin tak dimengerti meski kasus sama pada perlakuan dan hasil yang berbeda hanya disebabkan beda waktu dan kepentingan yang mengitari. Seakan produk hukum yang dibuat tak lagi mengacu pada butir Pancasila. Bak pepatah Melayu mengatakan “bila ingin sejuta upaya, bila tak ingin sejuta dalih”. Terkadang sesak dada dan pilu rasa sebagai anak negeri. Meski lahir sebagai anak kandung NKRI dan ari-ari tertanam di bumi pertiwi, namun perlakuan atas aturan yang ada serasa bagai anak tiri adanya. Seakan tak ada yang peduli atas nasib yang terjadi. Semua membisu ditelan gelombang percaturan untuk menyelamatkan kepentingan dan euforia kejayaan diri masing-masing. Tak lagi terlihat implementasi nilai Pancasila (meski dijaga BPIP), di tengah teriakan membahana “NKRI Harga Mati”. Kesetaraan dan kepastian hukum bukan untuk dipermainkan atau “tebang pilih”, tapi untuk dipedomani dan dilaksanakan secara obyektif dalam kesetaraan. Siapa pun penyebab mandulnya kesetaraan dan kepastian hukum, merupakan
suatu kejahatan serius yang patut ditelusuri dan dilumpuhkan, tapi masihkah ada yang peduli ? Entahlah..
Sungguh, negara bagai kedua orang tua atas anak-anaknya yang keluar dari tulang sulbi keduanya. Idealnya, negara (aparatur) hadir menjaga dan merawat tanpa membeda-bedakan. Bila kedua orang tua menempatkan ada “anak kandung dan anak tiri” atas kebijakan dan hukumnya, maka “keluarga” akan hancur dan orang tua kehilangan wibawa di mata anak-anaknya. Perlakuan “orang tua-orang tua” seperti ini justeru perlu diwaspadai oleh negara. Bahkan pelakunya terkadang “pengawas orang tua” yang dianggap satuan terbaik dan “terbersih” justeru jatuh terjerembab. Selama ini, negara hanya melihat kesalahan ditimpakan pada “anak” di hilir, tapi tak pernah melihat bagaimana sikap (ketidakadilan) segelintir oknum “orang tua” di hulu terhadap “anak-anaknya” di negeri ini. Fenomena ini mengusik keadilan, tapi sepi tak ada yang peduli bila menimpa “anak tiri”, namun sangat peduli bila menimpa “anak kandung”. Wajah anggun segelintir aturan, tapi menyisakan kepedihan dan kepiluan tiada tara. Hanya tersisa asa munajat pinta pada Yang Maha Kuasa agar keadilan hadir sebagaimana janji-Nya.
Kasus yang terjadi saat ini bukan untuk disesali, tapi perlu menjadi bahan koreksi betapa rapuh pengawasan dan rendahnya asa membangun peradaban yang mengacu pada dasar negara (Pancasila). Tidak ada yang kebal hukum, paling nasionalis, atau paling berprestasi. Demikian mudahnya Allah membuka aib setiap hamba. Untuk itu, paling tidak ada 2 (dua) wilayah koreksi setiap diri dan lembaga di negeri ini, antara lain :
Pertama, Jangan pernah merasa paling mulia dan sempurna. Keangkuhan demikian hanya akan membangun kesombongan dan arogansi yang memperlihatkan kelemahan, aib, dan bangkai diri yang ditutupi. Sungguh, merasa paling pintar akan terlihat sisi kebodohan, merasa paling ‘alim terlihat sisi kejahilan, merasa paling taat hukum terlihat sisi kelam menginjak hukum, merasa paling “berhak” terlihat sisi justeru meninggalkan “kewajiban”, merasa paling kuat terlihat sisi kelemahan, merasa paling berperadaban terlihat sisi keterbelakangan, merasa paling benar terlihat sisi kesalahan, merasa paling berprestasi terlihat sisi kegagalan, dan lain sebagainya. Demikian janji Allah pada hambanya. Hal ini diingatkan melalui sabda Rasulullah SAW : Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba menutupi (aib) hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Meski jelas kata disabdakan, semakin senang melanggar aturan dan melanjutkan ketidakadilan. Bahkan, membuka aib sesama merupakan hal biasa untuk memperoleh apa yang direncana. Bagai istilah “tak ada teman yang abadi, hanya ada kepentingan yang abadi”. Semua dilakukan asal tujuan tercapai, tanpa peduli bagaimana ia digapai.
Menyikapi hadis di atas, Muhamad bin Wâsi’ pernah berkata, “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya, maka tidak seorangpun yang mau duduk bersamaku”. Sungguh pandangan yang muncul dari pemilik tawadhu’ diri yang terjaga. Untuk itu, jangan pernah ujub dengan amalan dan posisi tinggi yang dimiliki, jangan pernah terperdaya dengan pujian yang diberikan, jangan pernah riya’ dengan kebajikan yang dipebuat, atau jangan pernah angkuh dengan derajat yang disandang. Sebab, kesemuanya tak ada berguna. Hanya akan mempercepat terbukanya aib diri yang lebar menganga. Semuanya sangat mudah berbalik arah dan berubah ; kemuliaan menjadi kehinaan, pujian menjadi celaan, kekayaan menjadi kemiskinan, kekuatan menjadi kelemahan, dan seterusnya. Sungguh mudah Allah membuka aib akibat kesombongan hamba. Semua akibat pasti jawaban atas sebab yang selama ini dibangun (ditanam).
Perlu bijak melakukan penilaian dan menyikapi apa yang terjadi. Jangan menarik keseluruhan (umum) pada kasus yang khusus atau mengkhususkan kasus yang umum. Bak peribahasa yang mengatakan “hujan sehari menghapus kemarau setahun”, atau peribahasa lain, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Bila setitik nila telah merusak susu sebelanga, sebaiknya nila segera disingkirkan. Jangan bagaikan pepatah “marah nyamuk, kelambu dibakar” dengan membuang susu sebelanga. Tapi bila nila tetap dipertahan-kan, berarti sengaja memelihara nila untuk merusak susu.
Kedua, Koreksi kualitas muhasabah setiap diri dan sandaran pada pemilik diri (Allah) selama ini. Manusia acapkali memiliki waktu melihat dan menilai orang lain. Matanya lebih tajam dibanding mata elang. Semua kesalahan orang terlihat, meski hanya sedebu atau bahkan diseberang lautan. Bahkan, bila tak ada kesalahan yang dicari, maka akan diciptakan kesalahan-kesalahan agar target yang menjadi tujuan dapat dilumpuhkan, meski dengan cara yang zalim. Sementara waktu untuk menilai diri sendiri tak pernah dimiliki. Padahal, kesalahan diri demikian besar sampai menutup mata. Untuk itu, Allah mengingatkan hamba melalui firman-Nya : “Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari dinampakkan segala rahasia” (QS. ath-Thaariq : 8-9).
Melalui ayat di atas, Allah mengingatkan secara tegas potensi aib setiap diri yang tersembunyi. Ketika peringatan Allah diabaikan untuk muhasabah diri, maka Allah menyamakannya dalam kelompok orang fasik. Sebab, mereka telah melupakan-Nya secara sengaja, terencana, dan nyata. Memandang diri paling mulia dan menilai sesama sesuai perangainya (jelek). Ketika demikian nyata dan jelas bukti kebenaran ayat-ayat Allah, namun manusia tak juga mau memperbaiki diri, bahkan melanjutkan kepiluan lainnya, maka punah nilai kemanusiaannya. Hal ini dinukilkan Allah secara tegas melalui firman-Nya : “…. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf: 179).
Sungguh jelas ayat Allah, tapi dipungkiri. Demikian kepiluan demi kepiluan terus terjadi silih berganti, tatkala ayat Allah senantiasa didustai, kebenaran dan kesalahan bisa dibeli, harga diri telah terkebiri, aturan sesuai apa yang ingin ditafsirkan, dan amanah hanya sebatas ungkapan. Dimanakah peradaban akan dimuarakan dan asa ditambatkan. Tak ada jawaban yang pasti untuk mengobati kepiluan, kecuali bila semua elemen anak bangsa bersama-sama berusaha memperbaiki negeri, bukan merasa paling suci, menganggap paling pantas dan berprestasi, sibuk saling mencaci maki, atau aib sesama yang dicari-cari.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 19 September 2022