Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Bagi masyarakat Indonesia, pisang merupakan buah-buahan yang sangat dikenal, bahkan paling banyak dikonsumsi. Setidaknya, ada lebih dari 230 varian pisang terdapat di Indonesia. Ternyata, pisang merupakan salah satu jenis buah yang ada di surga. Hal ini dinyatakan Allah dalam al-Quran. Setidaknya ada 7 (tujuh) buah-buahan disebutkan, yaitu buah tin, zaitun, kurma, anggur, delima, timun, dan pisang.
Penyebutan buah pisang sebagai salah satu buah surga, tercantum dalam al-Quran. Hal ini sesuai firman Allah : “dan pohon pisang yang bersusun-susun [buahnya]” (QS. al-Waqi’ah : 29).
Penyebutan pisang sebagai salah satu buah surga tentu menyimpan rahasia yang perlu ditelusuri. Meski menjadi buah-buahan yang biasa ditemui, ternyata pisang menjadi buah istimewa dan menyimpan rahasia-Nya, antara lain :
Pertama, Pohon pisang sama sekali tidak butuh tempat khusus dan perlakuan istimewa untuk tumbuh dan memberikan manfaat. Ia merupakan jenis tumbuhan yang selalu survive dan tidak menyerah pada semua keadaan (kondisi). Pohon pisang mengajarkan ikhtiar dan kemandirian, tanpa menjadi benalu bagi tumbuhan sekitarnya atau berpangku tangan dan putus asa. Pohon pisang memiliki keyakinan akan pertolongan Allah. Hal ini sesuai firman-Nya : “… Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita…” (QS. at-Taubah : 40).
Pohon pisang mampu memiliki sifat terpuji, padahal ia memiliki keterbatasan. Sementara manusia memiliki potensi melebihi pohon pisang, namun acapkali tak memiliki kemandirian dan empati, tak percaya diri, selalu minta difasilitasi dan diistimewakan, menjadi benalu, serta mudah berputus asa. Ketika pohon pisang berikhtiar dan menyandarkan keyakinan atas janji Allah, sementara manusia selalu tak sabar atas janji-Nya dan lebih percaya pada “janji makhluk” yang baharu dan serba terbatas. Akibatnya, manusia acapkali “mengemis nasib hidup” dan mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh “keistimewaan” yang diinginkan.
Kedua, Pohon pisang selalu mempersiapkan generasi penerusnya. Sebelum ia berbuah dan ditebang mati, ia lairkan generasinya terlebih dahulu. Seakan pohon pisang mengerti tabiat manusia. Bila telah menikmati buahnya, ia akan ditebang. Untuk itu, pohon pisang terlebih dahulu menyiapkan generasi yang bisa meneruskan perjuangan dan misi penghambaannya untuk memberi manfaat pada makhluk ciptaan-Nya. Bahkan, ia hadirkan terlebih dahulu penerusnya sebelum ia berbuah. Ia ajarkan penerusnya bagaimana berinteraksi dengan lingkungan dan memberikan manfaat pada alam semesta.
Sungguh berbeda tabi’at manusia. Sebab, manusia cenderung lebih dahulu memikirkan diri dan kolega, tanpa menyiapkan generasi yang berkualitas, mandiri, dan melanjutkan visi kekhalifahan di muka bumi. Bahkan, ada pula segelintir tampil generasi “bagai gunting dalam lipatan”, hidup bak benalu, atau kejam bak predator saling memangsa dan saling mencari kelemahan. Akibatnya, muncul “kecurigaan” antar generasi terhadap generasi penerus. Kecurigaan yang dikhawatirkan bahwa segenerasi dan generasi sesudahnya akan membahayakan kedudukannya. Demikian pula sebaliknya, muncul kecurigaan generasi penerus terhadap generasi sebelumnya dan berupaya “menyingkirkan” (era balas dendam) agar bukti pengabdian mereka sirna bak “ditelan bumi”. Seakan, generasi sebelum-nya tak memberikan kontribusi sedikit jua bagi peradaban. Seakan, peradaban hanya dibangun generasi saat ini, tanpa kontribusi generasi sebelumnya. Padahal, prestasi suatu generasi merupakan hasil (buah) yang telah ditanam dan disiapkan pondasinya oleh generasi sebelumnya. Sikap demikian ini menimbulkan saling mencurigai di hulu, sikap tak menghargai di tengah samudera kehidupan, serta berakibat saling tak menghargai dan saling tak mempercayai di hilir. Sifat bak gunting ini akan melemahkan karakter generasi dalam membangun peradaban. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar” (Q.S. al-Nisa’ : 9).
Sungguh, ayat di atas seakan diimplementasikan pohon pisang yang demikian bijaksana menyiapkan generasi melalui tunas baru yang akan menggantikannya lebih berkualitas lagi, tanpa “balas dendam” dan lupa diri. Tunas pisang menggantikan tugas induknya memberi manfaat kebaikan pada seluruh makhluk. Sementara manusia yang katanya punya akal dan pikiran, seharusnya lebih bisa berbuat dan bermanfaat bagi sesama lintas generasi melampaui apa yang diberikan pisang. Sebab, manusia seyogyanya menyadari prestasi peradaban merupakan kontinuitas bangunan peradaban generasi sebelumnya. Hidup bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan, memberi manfaat pada seluruh ciptaan-Nya, namun perlu menghadir-kan adab saling menghargai dan menghormati.
Ketiga, Pohon pisang tidak mau mati sebelum meninggalkan kebermanfaatan (buah) bagi makhluk. Meski ditebang, ia akan kembali tubuh dan hidup untuk menghasilkan buah. Sebelum ajal menjemput, pohon pisang berusaha memberi manfaat, meski hanya selembar daun pembungkus nasi atau alat berteduh. Ia hadir memberikan mafaat, bukan penyebab laknat. Pohon pisang yakin atas firman Allah : “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri…” (QS. al-Isra’ : 7).
Sungguh, pohon pisang memahami ayat di atas. Walau ia tidak menikmati hasil perjuangannya, pohon pisang hanya berjuang untuk meningalkan keturunan yang melanjutkan manfaat dan berbuah untuk dinikmati semua makhluk. Setelah meninggalkan generasi penerus yang menyebarkan manfaat, pohon pisang baru berbuah. Setela berbuah, ia baru menjemput ajalnya, apakah ketika ditebang manusia atau mati dengan sendirinya.
Seharusnya manusia demikian pula. Jangan pernah meninggalkan suatu tempat (apalagi dunia), tanpa meninggalkan generasi yang berkualitas dan karya yang bermanfaat. Berbuat baik di mana pun, kapanpun, dan terhadap siapapun. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja “terpaksa” meninggalkan suatu tempat secara tiba-tiba dan tanpa bisa ditunda. Sungguh pilihan yang salah bila tak ingin ada pengganti karena menganggap hanya dirinya yang berhak tampil. Atau menilai diri yang paling pantas, padahal tanpa kemampuan berarti. Bila ada yang tumbuh (bahkan anaknya) dianggap menjadi ancaman yang harus disingkirkan. Gambaran ini merupakan refleksi historis sikap Fir’aun yang membunuh semua anak laki-laki karena khawatir akan menggoyang dan mengambil kekuasaannya.
Keempat, Hampir semua sisi pohon pisang memberikan manfaat, mulai dari akar, batang, daun, daun, jantung, apalagi buahnya. Semua berzikir pada Allah dengan memberikan manfaat pada alam semesta. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring” (QS. Ali Imran: 190-191).
Meskipun buah pisang masih mentah, ia bisa dibuat keripik atau sayuran. Setelah mengeluarkan susunan buah pisang muda, ujung tandan menyuguhkan jantung pisang yang lezat dan banyak manfaatnya. Daun pisang ikut memberikan manfaat yang tak sedikit bagi makhluk dan bernilai ekonomis. Bahkan, batang pisang ikut memberi kontribusi bagi manusia. Sungguh, apa yang ditampilkan pisang menjadi i’tibar bagi melihat gambaran sifat manusia.
Seyogyanya sejak kecil membuat kedua orang tua senang, setelah besar membuat alam sayang, setelah mati terbaring dalam pelukan bumi dengan tenang. Demikian hidup untuk memberi manfaat kepada orang lain, selagi mampu, selagi bisa, dan selagi masih ada. Bukan menunggu ketika tak lagi mampu berbuat atau kematian tiba yang melahirkan penyesalan yang tak lagi bermakna.
Kelima, Pohon pisang tidak pernah mewariskan dendam dan mengajarkan kezaliman kepada anak-anaknya. Pohon pisang tidak dendam saat tak dipupuk, tak diperhatikan, bahkan tatkala ia berbuah ranum lalu ditebang. Namun, pohon pisang ikhlas ketika ditebang untuk memberikan peluang pada tunasnya untuk bisa melanjutkan berbuat kebaikan. Ia sadar hidup merupakan pertautan manis dan pahit. Ia sadar masanya berkontribusi terbatas. Ia berikan ruang bagi generasi tunasnya (generasi) untuk mengambil estafet membangun peradaban. Namun, apapun keadaanya, induk pisang tak pernah mewariskan dendam dan membalas kezaliman pada anak-anaknya. Bahkan, ia ajarkan anak-anaknya untuk terus berbuah, berdaun rimbun, dan menyebar kebajikan yang bisa dinikmati semua makhluk Allah.
Demikian nyata bukti bahwa semua ciptaan Allah memiliki manfaat, selama ia mau berperan meringankan beban hidup sesamanya. Sebab, setiap kehadiran makhluk seharusnya memberi arti dan manfaat bagi alam semesta. Demikian pepatah Melayu mengingatkan “duduk mencari ilmu, berdiri mencari tau”, berbaring mengingat Yang Satu (*pen.). Pepatah yang sarat pesan, sebagai wujud janji yang diikrarkan melalui firman-Nya :“Katakanlah (Muhamad), Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam” (QS. al-An’am : 162).
Keenam, Serat-serat pada buah dan seluruh batangnya bagai seluruh urat pada tubuh manusia yang menyimpul gambaran asma’ al-husna Allah yang tak terhingga. Setiap asma Allah, memiliki 99 pecahan. Demikian seterusnya sampai ketakterhinggaan asma Allah Zat Tanpa Batas. Semua serat pisang berzikir menguntai kalam Allah. Bukti zikirnya memunculkan buah yang manis dan lezat. Sebab, setiap zikir merupakan munajat hamba untuk melahirkan kebaikan. Kebaikan yang menghadirkan manisnya kehidupan. Sementara, denyut nadi tanpa zikir akan melahirkan peradaban yang pahit dan mudharat belaka. Zikir bukan sebatas kata, tapi getar seluruh organ mengagungkan asma-Nya. Getar yang menggerakkan diri melahirkan (membuahkan) peradaban yang berkeadilan bagi seluruh isi alam.
Sungguh, serat pisang berkorelasi urat pada tubuh manusia. Meski perlu dikaji secara ilmiah, namun eksistensinya memiliki kesamaan sebagai jaringan sistem tubuh yang bermuara pada titik utama yang mampu menggetarkan kerinduan pada Zat Maha Agung. Tatkala kerinduan vertikal mampu diraih, maka akan menjalar pada seluruh tubuh untuk melakukan aktivitas penghambaan dan kekhalifahan. Namun, bila jaringan tersebut terputus oleh kerinduan duniawi yang membutakan mata hati, maka akan menggerakkan aktivitas manusia ke arah keingkaran pada Allah dan menyebar kemungkaran pada alam semesta. Semua terlihat pada buah prilaku manusia sebagai hulu jaringan urat pada dirinya.
Sungguh pisang menyimpan makna dan pelajaran yang demikian dalam. Ia tak pernah ingin diingat sebatas nama, tapi kebermanfaatan yang diberikan dan dinikmati seluruh isi alam sepanjang zaman. Ternyata, terhadap pohon pisang saja manusia terkadang perlu merasa malu atas apa yang dilakukannya pada manusia dan alam. Apakah masih merasa mulia bila diri belum mampu melebihi apa yang telah diberikan pohon pisang, apatahlagi sifat makhluk Allah lainnya yang terkadang jauh lebih baik ? Wajar bila pisang dijadikan salah satu jenis buah-buahan di surga. Sebab, bila manusia mampu mengambil pelajaran dari pisang, maka ia akan bertemu dan menikmati buah pisang di surga kelak. Semua tentu hanya bisa ditemukan tatkala hati yang dipenuhi Kalam Allah (qalbun salim) yang bisa merasakan dan menjawabnya dalam bentuk adab nyata selama hidup di dunia ini.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 19 Desember 2022