Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Menyibak ingatan sejarah sewaktu masih kecil, seorang anak tatkala sekolah di bangku pendidikan dasar selalu disuguhkan alat tulis berupa pensil, peraut, penggaris, penghapus, dan buku sebagai alat belajarnya. Berbeda tatkala sudah menginjak dewasa dan seterusnya. Pada usia dewasa dan seterusnya, secara umum semua alat tulis tersebut masih dipakai, kecuali pensil dan peraut (digunakan ketika anak-anak) berganti dengan pena atau pulpen (digunakan ketika dewasa dan seterusnya), penggaris (kadang-kadang), dan buku untuk “ditulis” dan akan dibaca selanjutnya.
Meski demikian sederhana apa yang akan dikaji dalam tulisan ini dan semua kita selalu mengunakan dan menemuinya, namun tak semua berkesempatan memahami maksud psikologis yang ada disebalik semua alat belajar di atas dalam kehidupan nyata. Padahal, tak ada yang terjadi di muka bumi ini kecuali memiliki maksud dan i’tibar bagi kehidupan manusia. Demikian yang difirmankan Allah dalam ayat-ayat-Nya. Di antara yang berkaitan dengan kajian ini merujuk pada firman Allah : “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq : 4-5).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas mengingatkan bahwa di antara kebaikan Allah SWT adalah mengajarkan manusia ilmu atas apa yang belum diketahuinya. Allah memuliakan manusia dengan ilmu dan mampu melebihi para malaikat.
Sebab, tidaklah ilmu para ulama terdahulu bisa dinikmati manusia saat ini kecuali dengan tulisan (pena dan buku atau sejenisnya). Seandainya tidak ada tulisan, niscaya ilmu ulama akan hilang. Begitupun dengan al-Quran dan hadis Nabi bisa terjaga sampai sekarang karena ditulis (selain dihafalkan). Oleh karena itu, Nabi bersabda : “Ikatlah (catatlah) ilmu dengan menulisnya” (HR. Ibnu ‘Abdil Barr).
Demikian urgen pensil (pena), peruncing, penggaris, penghapus, dan buku dalam kehidupan. Adapun maksud dan i’tibar atas alat belajar tersebut antara lain :
Pertama, Pensil dan pena. Penggunaan pensil pada umumnya digunakan oleh anak-anak sebagai alat menulis merupakan cermin bahwa kesalahan yang dilakukan oleh anak-anak masih bisa dihapus. Coretan hitam yang ditorehkan di atas kertas masih dapat dibersihkan dengan penghapus. Beda dengan pena yang digunakan mereka yang sudah dewasa sebagai alat menulis mencerminkan bahwa kesalahan yang dilakukan akan sulit dihapus. Untuk itu, seirama dengan bertambahnya usia, seyogyanya tak lagi mengulangi kesalahan dalam “menulis” prilaku karena akan sulit dibersihkan. Apatahlagi bila torehan kesalahan yang ditulis dengan pena tersebut dilakukan berulang-ulang.
Kedua, Peruncing. Agar pensil bisa menulis, diperlukan peruncing. Demikian dimaksudkan bahwa kecerdasan atau karakter anak-anak dapat dipertajam atau bahkan ditumpulkan. Semua tergantung siapa yang ada disekitarnya ikut berkontribusi. Sementara berbeda dengan pena. Ia tak bisa diruncingkan tapi mata pena hanya bisa dijaga atau dipatahkan (bahkan dirusakkan). Demikian karakter orang dewasa sebagaimana halnya pena. Bila dijaga, mata pena bisa menulis. Tapi bila “dirusak”, ia akan menyisakan tinta hitam yang keluar mengotori apapun yang ada.
Ketiga, Penggaris. Penggaris secara sederhana digunakan sebagai alat untuk meluruskan garis antara titik-titik dan mengukur panjang titik-titik. Penggaris digunakan semua orang, baik anak-anak maupun orang dewasa. Penggaris mengisyaratkan berpikir dan bertindak secara lurus, sejak awal “torehan diri” sampai tujuan akhir pertanggungjawaban diri. Penggaris merupakan lambang aturan hidup yang harus ditaati. Bila ingin lurus, ikuti aturan Ilahi (agama) dan aturan yang disepakati secara obyektif (hukum positif). Pada penggaris terdapat angka-angka yang mengisyaratkan kebaikan dan prestasi yang seyogyanya menuju ke arah yang lebih baik. Sebab, angka-angka tersebut mengandung peringatan bahwa umur bertambah dan pada akhirnya akan habis batas angkanya yang tercantum pada penggaris (kematian).
Keempat, Penghapus. Penghapus merupakan alat untuk menghapus tulisan yang salah. Bila pensil yang dijadikan alat menulis, ketika kesalahan dihapus hampir tak meninggakan bekas. Demikian kesalahan pada usia anak-anak. Namun, bila pena (pulpen) yang digunakan sebagai alat menulis, ketika kesalahan terjadi, penghapus yang digunakan tak lagi penghalus karet, tapi tipe-x. Penghapus sesungguhnya dalam kehidupan adalah taubat. Karena tipe-x yang digunakan, meski tulisan salah sudah bisa dihapus, namun “bayangan” kesalahan tetap terlihat dan acapkali dibongkar oleh sesama. Apatahlagi bagi lawan yang ingin menjatuhkan.
Meski Allah telah mengampuni, namun hukum manusia yang tetap melihat bayangan tulisan yang telah dihapus dengan tipe-x acapkali tak pernah dilupakan. Demikian manusia hanya pandai menilai atas kesalahan sesama seakan-akan melebihi “tuhan di atas tuhan”, tanpa pernah melihat kesalahan sendiri.
Keenam, Buku atau sejenisnya. Buku adalah media untuk menulis apapun gerak akal. Secara psikologis, buku merupakan media untuk menyatakan sisi rohani (abstrak) yang dituliskan dan mampu dibaca oleh perangkat jasmani (konkrit). Aktivitas hidup bagaikan coretan-coretan buku-buku kehidupan. Setiap tulisan yang ditinggalkan akan dibaca dan bahkan dijadikan pijakan aktivitas yang membaca. Bila coretan dalam buku merupakan tulisan kebaikan, tatkala dibaca dan dijadikan rujukan untuk pedoman, maka berbahagialah diri. Mengalir kebajikan (pahala) tiada henti bak aliran sungai sejuk dan jernih nan tak bertepi. Namun, nila coretan dalam buku merupakan tulisan keburukan, tatkala dibaca dan dijadikan rujukan melanjutkan keburukan-keburukan selanjutnya, maka hina dan nestapalah diri. Lebih dominan menyalahkan sesama, tanpa bukti prestasi atas apa yang dikatakan. Mengalir keburukan (dosa) bagai aliran nanah yang busuk nan tak bertepi. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya : “Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka” (QS. al-Isra’ : 13).
Ayat di atas secara tegas merupakan pernyataan Allah pada setiap hambanya bahwa segala yang dilakukan telah ditulis secara rinci dan jelas atas semua yang ada secara zahir dan batin. Setiap manusia akan membawa catatan dalam buku yang dikalungkan dileher masing-masing pada hari kiamat. Buku yang mencatat semua amal selama di dunia yang terbuka lebar tanpa ada sesuatu yang mampu ditutupi atau disembunyikan.
Sungguh, semua yang digandrungi atau diminati untuk digunakan tak lepas sebagai cerminan karakter diri yang akan ditulis dalam buku kehidupan. Peminat dan pengguna moge (motor gede), kolektor barang antik, kolektor mobil atau sejenis, penyayang hewan atau tumbuhan, pilihan model dan warna pakaian, gaya berinteraksi (berkomunikasi) dengan sesama, style kepemimpinan, cara memperoleh yang diinginkan, dan seterusnya. Semuanya disadari atau tanpa disadari berkaitan dengan cerminan karakter diri yang sebenarnya. Demikian Allah memperlihatkan kuasa-Nya dengan menampilkan sisi batin yang disembunyikan melalui tampilan zahir sebagai percikan anasir dalam diri yang tak kuasa ditahan dan dibendung. Meski ada sisi batin yang terkadang tak terlihat kepermukaan zahir atau mudah terlihat, mungkin disebabkan beberapa alasan, antara lain : (1) kepintaran menyimpan sisi batin. Bila bernilai positif, maka muncul dari sifat keikhlasan diri sebagai hamba yang tawadhu’. Bila bernilai negatif, maka muncul dari sifat kemunafikan yang terpelihara. (2) ketidakmampuan batin menampung sifat yang tersembunyi, sehingga menyeruak keluar sebagai wujud aktivitas lahiriyahnya. Kesemuanya terlihat menganga tanpa mampu disembunyikan.
Meski terkadang aneh tatkala era menggunakan pensil semua rajin melihat tulisan untuk mencerdaskan diri atau lulus ujian. Namun, tatkala era menggunakan pena justeru senang melihat dan melakukan aktivitas sebatas senda gurau yang tak bernilai pengetahuan nan mencerdaskan, serta pena digunakan untuk melakukan kezaliman. Kajian ilmu tak lagi diminati, bahkan membaca pun sudah tak dilakukan. Bila melakukan kajian, acapkali untuk terpenuhi kebutuhan sekunder atau sekedar flexing, bukan kebutuhan primer sebagai pemegang amanah ilmuan. Sayangnya, prilaku demikian menjadi suatu pemandangan yang “dibiarkan”. Wajar bila era menggunakan pena acapkali gagal dalam ujian hidup duniawi, banyak “coretan hitam”, dan terjerembab atas kejahilan diri.
Meski hukum alam memang bergerak menua, namun prilaku manusia terkadang justeru bergerak terbalik seperti era menggunakan pena kembali bersikap bak era menggunakan pensil semula. Fenomena tontonan yang tak bisa dijadikan tuntunan dan tuntunan yang hanya sebatas tontonan (acapkali tak ditonton apatahlagi dimengerti).
Semua tergantung bagaimana manusia mengunakan pensil dan pena, penggaris, penghapus, dan apa yang akan dituliskannya dalam buku diri. Pilihan tergantung pada setiap manusia untuk menggunakan alat tulis kehidupan dan memilih apa yang akan dituliskan untuk nanti dibaca dan dinilai oleh generasi yang akan datang selama dunia terbentang. Tapi pasti catatan yang dibawa dan terbuka lebar tatkala masa pertanggungjawaban di pengadilan Allah kelak. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 18 Juli 2022