Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sosok ulama (ilmuan atau varian sejenis) adalah orang yang benar-benar berilmu dan berilmu secara benar. Meski tak semua berilmu dikatakan ulama (ilmuan), tapi setiap ulama (ilmuan) pasti berilmu. Ulama luas pada ilmu, kokoh pada adab, dan melekat pada amal. Predikat keulamaan merupakan penilaian atas pengakuan kualitas seseorang yang diberikan masyarakat, bukan pengakuan atau publikasi diri sebagai ulama. Ulama bukan dilihat pada deretan gelar, bukan pula tumpukan anugerah akademik (apalagi anugerah politis) yang “dipaksakan” (politic transaction), bukan pula atribut yang “dibeli diemperan toko”, atau bukan pula sekedar tempelan institusi dan kartu nama. Namun, ulama (ilmuan) senantiasa memuarakan sandaran pada ketundukan pada aturan Allah dan adab Rasulullah secara totalitas. Sandaran tersebut menjadi warna dan terlihat pada karya peradaban yang dibangun. Dengan sikap ini, sosoknya akan memperoleh kepercayaan dan amanah sebagai pewaris para nabi. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar” (QS. anNur : 35).
Sungguh nestapa bila atribut ulama (ilmuan) disandang pada sosok yang tak pantas, dikalungkan dengan keangkuhan, diraih dengan pedang yang tajam, diperjual-belikan ala prostitusi, dipakai bak pakaian “kedodoran” tak suai ukuran, dipegang tapi tak dimiliki (bagai menggenggam bara), dipandang padi berisi tapi nyatanya hanya ilalang, atau lain sebagainya. Kenestapaan yang berhulu ketidaksanggupan yang dipaksakan, mengalirkan air putusan yang keruh dan membuat kegaduhan, serta bermuara kesesatan tak pertepi.
Sementara karakter keulamaan (ilmuan) hakiki senantiasa menjaga diri dari prilaku tercela ; sombong, hasad dengki, saling memfitnah atas lawan yang berbeda pandangan dengannya (agama atau politik), atau lainnya. Sosok ulama 4 (empat) mazhab atau ilmuan muslim era awal yang mewarnai peradaban dunia sebagai contoh sosok ulama yang saling menghargai. Meski berbeda pendapat tak pernah merasa paling benar dan menyalahkan pendapat yang lain. Mereka saling menghormati, bukan saling caci dan menjatuhkan. Selalu melihat kelemahan diri dan kelebihan orang lain, bukan pula sebaliknya.
Sungguh, sosok ulama merupakan predikat yang dimuliakan oleh Rasulullah. Hal ini dinukilkan dalam sabdanya :
“Sesungguhnya ulama (ilmuan) adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. Mutafaq ‘Alaih).
Hadis di atas menjelaskan kemuliaan ulama. Sungguh tanggungjawab berat yang diamanahkan oleh Rasulullah. Untuk itu, keulamaan perlu dijaga dengan akhlak Rasulullah. Bila tidak, maka kemuliaan akan menjadi kehinaan. Demikian mulia posisi ulama. Syaikh Shalih Fauzan mengatakan bahwa “kita wajib memuliakan ulama (ilmuan *pen) karena mereka adalah pewaris para nabi. Meremehkan mereka termasuk meremeh-kan kedudukan dan warisan yang diterima dari Rasulullah dan ilmu yang dibawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib dihormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.”
Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengingatkan bahwa : “akan datang suatu zaman ketika Islam tinggal nama, al-Qur’an tinggal tulisan, masjid semakin banyak tapi tidak digunakan untuk mengingat Allah, dan terjadi berbagai fitnah yang justru bersumber dari ulama (ilmuan)nya”.
Zaman dimaksud mungkin sedang terjadi dan gambarannya telah tampak jelas dalam kehidupan. Untuk itu, sosok ulama perlu mencerminkan sebatang pohon rindang berbuah lebat, antara lain :
Pertama, Ulama bagai daun pohon yang melindungi dan tempat berteduh, dahannya tempat bergantung dan bertengger burung yang menyenandungkan kicauan merdu, atau buahnya manis dengan kandungan vitamin yang menyehatkan. Sosoknya tempat bernaung serangan ajaran jahiliyah dan fatwanya menyehatkan semua kalangan. Posisinya menjaga kebenaran agama, bukan menjual agama. Fatwanya bagai suluh yang menerangi malam, bukan mengaburkan cahaya kebenaran.
Kedua, Sosok ulama bagai akar yang menghunjam ke bumi. Sekali berfatwa kebenaran tak pernah goyah oleh terpaan angin kepentingan atau “titipan-titipan”. Meski disambar “petir materi dan jabatan” tak membuat dirinya mundur dan bergeser keyakinannya. Sosoknya istiqomah atas kebenaran agama yang diyakini. Kokoh dalam keyakinan, tak goyah oleh silaunya janji, pundi, dan “kedudukan”.
Ketiga, Ulama bagai pohon yang menunjang kehidupan dengan asupan oksigen, bukan racun atau gas air mata. Sosok ulama memberi harapan hadirnya keberkahan. Setiap katanya menyehatkan akal dan membuahkan amal.
Keulamaan seseorang bukan pada simbol jumlah literasi yang dimiliki dan dikuasai, asesoris derajat dunia yang disandang, setumpuk jabatan yang dipundak yang terkadang diraih dengan siasat tak terpuji, atau sederetan publikasi asesoris duniawi yang penuh intrik kepentingan. Keulamaan ada pada sikap tawadhu’ untuk selalu mengoreksi diri agar semakin mengenal Ilahi dan mengajak umat dengan penuh kedamaian. Dengan kesibukannya ini akan menjadikan diri dicintai Ilahi dan dikenal oleh “langit” meski bumi mungkin melecehkannya. Sedangkan ulama asesoris sibuk dengan publikasi “murahan” untuk dikenal oleh penduduk bumi. Kesibukan publikasi duniawi agar diri dicintai dan dipuji makhkuk untuk mendapatkan penghormatan atas dirinya. Sementara penduduk langit tak mengenal sedikit jua.
Keulamaan bukan untuk dibanggakan. Apalagi bila status keulamaan diiringi niat kesombongan atas kehebatan diri dengan hasrat memperoleh “pundi-pundi dan kursi”. Padahal, bagi yang memahami akan melihat kehebatan atas apa yang dimiliki sebagai titipan belaka. Justeru atas apa yang dititipkan tersebut, ia sedang menyaksikan kekuasaan Allah Yang Agung. Tanpa ketinggian kalam Allah dan ajaran Rasulullah, tak mungkin sosok ulama (ilmuan) akan dihargai. Dengan demikian, keulamaan seharusnya membuat diri semakin mensyukuri karunia Allah karena telah diberi kepercayaan oleh Allah menjadi wasilah untuk mengenal sang Khaliq.
Keulamaan tak berarti melekat pada zuriat (keturunan) ulama (ilmuan). Bagai setandan buah kelapa, mungkin ada buah yang busuk atau tak bisa memberikan manfaat. Ulama adalah upaya hamba atas potensi dan anugerah Allah atasnya. Apalagi ulama yang tersambung pada zuriat Rasulullah perlu semakin menjaga akhlak Rasulullah dalam cermin hidupnya.
Ulama hakiki sulit dicari, namun eksistensinya selalu ada meski banyak yang tak mengetahui. Sosoknya hidup tanpa menjual keulamaan yang dimiliki, apalagi menjual harga diri dan membuat umat terpecah belah bak buih.
Citra ulama hakiki sungguh dinanti. Citra yang dimiliki paling tidak terangkum dalam beberapa karakter diri, antara lain :
Pertama, dirinya bagai embun yang menyejukkan. Kesejukan yang dipancarkan membuat hilang dahaga umat atas kemarau zaman yang semakin memanas. Dengan kesejukan yang dimiliki akan mampu mematikan api emosi dan dendam kesumat. Sebaliknya, ulama yang tak memiliki sisi kesejukan embun hanya akan menjadi bensin yang menyulut api dan membakar persaudaraan.
Kedua, dirinya bagai lampu penerang dikegelapan. Kegalauann umat terjadi akibat melihat persoalan dengan kacamata buram di tengah zaman yang gelap gulita. Tak ada pedoman dalam hidup karena tak ditemukannya cahaya sebagai pedoman. Kondisi ini akan membuat umat hilang kendali.
Ketiga, tutur katanya bagai seteguk air yang menenteramkan bagi umat. Setiap katanya menyelesaikan masalah, setiap fatwanya menghilangkan kebingungan, setiap nasehatnya penuh berarti. Tak pernah merasa diri paling benar, tapi menghargai pendapat yang salah dengan kebijaksanaan yang menyadarkan, bukan memperkeruh keadaan.
Keempat, perilakukan bagai matahari penunjuk arah dan kompas (tauladan) yang tak pernah menyesatkan. Karakter dirinya bukan dibuat-buat (rekayasa), tapi muncul dari perintah ruh Ilahi yang menyeruak keluar dari dalam diri. Sungguh, apa yang dimunculkan lahir dari dalam diri yang sebenarnya. Semakin dalam diri tertata dengan ruh ulama hakiki, maka akan muncul akhlak diri yang menjadi tuntunan hidup bagi umat yang ingin memperbaiki diri.
Kelima, fatwa yang dimunculkan bagai padi bernas menguning, jauh dari kesombongan dan merasa paling benar bak ilalang. Tak ada tersisa sebutir debu merasa paling pintar, apalagi merasa paling benar. Meski fatwanya tak berjurai ayat yang secara fasih diucap, namun fatwa yang berasal dari ruh al-Quran dan hadis.
Keenam, atribut diri bagai ruh dalam tubuh yang tak pernah ditonjolkan, apalagi atribut tipu muslihat. Meski atribut zahir keulamaan tak dilarang, namun keulamaan bukan dilihat dari atribut zahir yang dipamerkan. Keulamaan perlu melihat sisi adat lingkungannya, bukan memaksa perubahan atribut pada lingkungan. Standard acuan selama tak bertentangan dengan al-Quran dan hadis.
Ketujuh, kesederhanaan bukan berarti pada aspek materi, tapi pada pola kehidupan dan sikap tawadhu’. Para ulama boleh mencari kekayaan dan menjadi kaya. Tentu kekayaan yang dibenarkan agama. Dengan kekayaan, seorang ulama akan mampu lebih banyak memberikan kebermanfaan bagi sesama. Namun, kekayaan yang dimiliki tak menjadikan dirinya ujub, apalagi melupakan kerinduannya dengan Allah. Kerinduan inilah yang mampu menyelamatkan dirinya dari hubbuddunya yang menjadi hijab hamba pada Khaliqnya.
Sungguh, sosok ulama (ilmuan) hakiki serasa begitu berarti. Keulamaan bukan berarti pada dimensi sempit dengan sebutan ulama atau ilmuan yang dinisbahkan pada orang yang menguasai ilmu. Ulama bisa muncul meski dalil tak seberapa atau teori yang terbatas, namun ruh ulama (ilmuan) sebagai sosok yang rahmatan lil ‘alamin mampu dimiliki. Jadi, sosok ulama bisa lintas disiplin ilmu. Apapun disiplin ilmu yang dimiliki, tatkala merasakan makna pesan Rasulullah bahwa “ulama adalah pewaris (ajaran) nabi” (HR. at-Tirmidzi). Keilmuan bukan sebatas ijazah, gelar akademik dan non akademik. Namun bila tak memberikan manfaat penyuluh kebenaran dengan karakter akhlak Rasulullah, maka hilang semua predikat keulamaannya. Sebab, ijazah hanya bukti pernah mengeyam pendidikan, gelar hanya bukti memiliki ijazah atau pernah diberi gelar (kehormatan), dan atribut ulama (ilmuan) hanya sebutan. Sementara berilmu dibuktikan dengan buah pikiran dan karya yang membawa ide kebermanfaatan bagi membangun peradaban.
Tatkala firman Allah dan sabda Rasulullah dipahami secara bijak, maka beruntunglah para ulama hakiki yang menjadi pewaris (ajaran) Rasulullah SAW. Sebab, dalam konteks ilmu fiqh, pewaris merupakan orang yang memiliki hubungan (dekat) dengan yang mewarisi. Tatkala hal ini dijadikan pijakan, maka sebaiknya seorang ulama menjaga keulamaan-nya agar memperoleh kedekatan dengan baginda Rasulullah untuk meraih cinta Allah. Bila hal ini dimiliki, maka sosoknya akan terhindar dari predikat “ulama (ilmuan) abal-abal” yang hanya pamer atas apa yang disandang, tapi miskin pengamalan dan karya membangun peradaban. Tatkala keulamaan hanya sebatas menjual kebenaran agama (prostitution religion), maka ia akan semakin jauh dari Rasulullah dan bukan lagi pewaris nabi.
Lalu, dimanakah posisi kita dan ulama atau ilmuan hari ini ?. Hanya setiap diri yang mampu menjawab, apakah kualitas hakiki atau hanya utopis dengan mengatakan diri sebagai ulama (ilmuan).
Wa Allahua’lam bi al-Shawaab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 14 Nopember 2022