Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Secara sederhana, botol merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk menyimpan benda cair, seperti air, susu, minuman ringan, obat, sirup, tinta, dan varian jenis benda cair lainnya. Pada umumnya, botol terbuat dari kaca, keramik, tanah liat, aluminium, plastik, atau sejenisnya. Meski semua orang tau dan selalu menggunakan botol dalam kehidupan sehari-hari, namun eksistensinya hanya sebatas asas man-1faat atas fungsinya. Mungkin manusia tak sempat memikir-kan makna sebuah botol secara substansial. Sebab, botol dianggap terlalu sederhana dan membuang energi untuk difikirkan. Padahal, botol mengajarkan nilai berharga pada manusia dan berkorelasi terhadap karakter dirinya. Sebab, bila diperhatikan secara seksama, eksistensi botol berkait erat dengan diri manusia. Botol bagaikan sisi jasmani dan isi botol merupakan sisi rohani. Ada beberapa hubungkait botol dan karakter diri yang layak diperhatikan, antara lain :
Pertama, Botol membentuk air sesuai bentuk dan ukuran botol. Meski demikian, bentuk air hanya mengikuti bentuk botol selama air di dalamnya. Tapi bila air berada di luar botol, ia tak mampu merubah wujud air sesuai keinginannya, kecuali bila air menjadi beku. Demikian simbol botol sebagai wujud jasmani dan air sebagai wujud rohani.
Bila jasmani yang “menggembala” rohani, maka muncul prilaku yang bertentangan dengan kata batin. Bila rohani yang menjadi suluh jasmani, maka memunculkan prilaku mulia. Dominasi antara salah satunya akan berwujud prilaku dan nilai baik buruk, bagus jelek, jujur khianat, dan varian sikap lainnya. Prilaku yang dimunculkan jasmani ada kalanya seakan “menampilkan” kualitas rohani, namun ternyata tak selalu berkorelasi dengan sisi aslinya. Sebab, tampilan kebaikan jasmani belum tentu berkorelasi kesucian rohani. Apatahlagi seiring perubahan kepentingan yang demikian dinamis. Demikian pula sebaliknya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti” (QS. Ali Imran : 118).
Demikian pula Rasulullah mengingatkan melalui sabda-Nya : “Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan benci-lah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta” (HR. Tirmidzi).
Ayat dan hadis di atas mengingatkan sifat manusia. Sebab, terkadang kebaikan lahiriah yang ditampilkan tak selamanya berkorelasi dengan isi hatinya dan mampu bertahan lama. Atau mungkin sebaliknya. Bagaikan tampilan botol yang bulat tak membuat air di dalamnya bulat selamanya. Sebab, bila air dipindahkan di botol yang lonjong, maka air pun akan lonjong. Bahkan, botol yang cantik dan indah belum tentu air di dalamnya enak dan segar atau mungkin sebaliknya.
Kedua, Bagian mulut dan leher botol lebih sempit dibanding badannya. Tujuannya agar isi lebih banyak disimpan dan air tak tumpah. Sementara segelintir manusia memilih mulut dan lehernya lebih besar dibanding perutnya. Mulut berbicara melebihi kapasitas dan tenggorokan menelan semua melampaui kemampuan perutnya. Sementara “badannya” tak seimbang menampung isi yang over capacity. Untuk itu, Syekh Nawawi al-Bantani, mengingatkan melalui nasehatnya : “Penyebab rusaknya orang-orang sebelum kalian ada tiga hal, yaitu : terlalu banyak bicara, terlalu banyak makan, dan terlalu banyak tidur.” Dua hal pertama merupakan aktivitas kerusakan pada bagian mulut dan tenggorokan (leher). Apatahlagi bila kerusakan tersebut disempurnakan dengan “tidur” panjang dan tertutupnya mata yang berakibat terjadi-nya ketidakpedulian dan pembiaran terstruktur. Bila hal ini terjadi, maka kehancuran peradaban dan martabat kemanusiaan tak bisa dielakkan lagi.
Ketiga, Botol air dengan berbagai merk diberi nama yang indah dan menawarkan berbagai rasa. Chasingnya bervariasi dan dipercantik dengan publikasi iklan menawan yang menawarkan berbagai kelebihan. Dengan bentuk, merk, rasa, dan publikasi yang menawan, nilai dan harganya menjadi berbeda-beda. Semua produk kemasan botol merasa paling unggul dan berupaya saling mengalahkan. Padahal, isinya sama yaitu air minum yang terkadang rasanya tak seenak atau seindah bentuk botolnya.
Demikian manusia bagaikan botol, selalu mengandalkan dan mempertontonkan chasing dengan tampilan memukau. Chasing yang ditampilkan bisa berbentuk tampilan jasmani, materi, pangkat, jabatan, deretan gelar, dan varian lainnya. Atau sebatas tampilan retorika yang meyakinkan dan janji yang menggunung mencecah awan, tapi semua palsu dan berisi kebohongan belaka. Bagi pemilik chasing yang demikian, substansi yang diutamakan hanya sebatas asesoris yang menyilaukan mata. Orientasinya hanya untuk tercapainya maksud (materi) yang menjadi tujuan utama. Untuk itu, upaya mempercantik dan memperbaiki chasing selalu diutamakan, meski substansi yang ada disebalik chasing justru berbeda jauh dan acapkali mengecewakan dan bertolakbelakang.
Keempat, Pada umumnya, nilai sebuah botol tergantung pada kualitas isinya. Akan berbeda nilai botol bila di isi air mineral, sirup, susu, madu, minyak wangi, atau lainnya. Semakin berkualitas isinya, maka akan mengangkat nilai setiap botol. Bagi manusia yang memahami botol dan isi, harmonisasi keduanya tak memerlukan publikasi dan saling menjatuhkan untuk dinilai berharga.
Demikian nyata nilai botol akan tinggi atau turun nilainya tergantung oleh isi yang ada di dalamnya. Meski botol terbuat dari plastik dan bentuknya biasa-biasa saja, tapi isinya madu berkualitas premium, maka harganya akan tinggi. Namun, meski botol terbuat dari kaca dan bentuknya begitu indah, namun isinya berupa kotoran najis atau racun, maka botol akan jatuh nilainya, bahkan akan dibuang ke tong sampah. Demikian kualitas diri setiap manusia. Jasmani (chasing) akan bermanfaat dan bernilai tatkala rohaninya berisi kebaikan atau kebenaran. Namun, bila rohaninya subur sifat suka mencela, menyebar kebencian dan permusuhan, merasa paling mulia dan benar, memutarbalikkan fakta, atau varian sifat negatif lainnya, maka hanya akan memperlihat-kan kualitas diri yang hina. Meski jasmaninya dipoles oleh materi, jabatan, pangkat, kedudukan, bahkan deretan gelar, namun bila rohani dan akalnya hanya berisi “kotoran”, maka kehinaan yang akan dipanen. Meski banyak yang tertipu, tapi tipuan yang tak berlangsung lama. Ia hanya akan disanjung sebatas “kekuatan” dimiliki atau “bau busuk” yang tertutup. Andai “kekuatan” hilang seriring “bau busuk” telah terbuka, maka penghargaan akan berubah menjadi kehinaan dan cacian. Hal ini terjadi bagai botol yang cantik, tapi berisi air najis dari toilet yang akan dibuang dan dijauhi.
Kelima, Ketika air habis diminum dan dinikmati, botol pada umumnya akan dibuang. Simbol ketika ruh telah berpisah, badan (jasad) akan kembali ke tanah. Jasad yang selama hidup dipuja dan dipenuhi semua kebutuhannya dengan warna dan asesoris, ternyata tatkala ruh (isi) telah tiada, jasad akan “ditinggalkan” dari gempita kemuliaan dunia.
Simbol ini juga bisa terjadi pada manusia ketika masih hidup. Ketika diri bermanfaat, semua akan dekat, memuji tuk “meraih simpatik”, dan menjaga agar “botol tak pecah”. Tapi bila tak lagi bisa memberi manfaat dan “isi telah habis”, semua akan dibuang dan dianggap sampah belaka.
Keenam, Botol tanpa isi hanya sebatas barang bekas dengan harga murah. Sementara, isi tanpa botol tak bisa memberi manfaat lebih banyak dan hanya akan tumpah. Demikian manusia. Bila jasmani tanpa ruh, maka jasmani tak memberi manfaat dan akan ditinggalkan. Sementara ruh tanpa jasad, maka tak dapat memberi manfaat pada sesama. Ketika jasad dan ruh tak bertemu, ia akan ditinggalkan dan tak mampu memberi manfaat.
Namun, anehnya manusia acapkali memilih botol tanpa isi. Tak peduli apakah berisi atau kosong, dan kualitas isinya. Baginya, botol lebih penting untuk bisa memasukan semua jenis air dalam “perutnya”. Tujuannya agar terlihat berisi meski sebenarnya hanya racun. Baginya, kemudharatan hanya pada siapa yang meminum, bukan pada botol (diri).
Ketujuh, Botol bila dibuka tutupnya atau tutupnya tidak erat, maka semua isinya akan tumpah. Demikian manusia, bila Allah membuka aib dirinya, maka semua akan tersungkur hina. Demikian pula bila botol tanpa tutup memberi peluang masuk debu atau anasir lain yang akan mengotori air. Tutup botol merupakan simbol iman hamba.
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya” (QS. at Tin : 4-6).
Menurut Quraish Shihab, Allah menciptakan manusia dari tanah (debu) dan ruh Ilahi. Keduanya menjadi bagian yang utuh. Jika daya tarik tanah mengalahkan daya tarik ruh Ilahi, ia akan jatuh tersungkur dalam tingkatan yang serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah daripada binatang. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf :179).
Demikian jelas dan tegas peringatan Allah pada manusia. Semua potensi telah diberikan untuk menuju kebenaran. Bila potensi digunakan untuk melanggar ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka manusia akan tergelincir pada kehinaan melebihi hewan yang hina. Sebaliknya, jika daya tarik ruh Ilahi lebih kuat dari debu tanah yang menggunakan potensi pada kebenaran, maka manusia akan memperoleh kemuliaan, bahkan melebihi malaikat. Hal ini sesuai firman-Nya : “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. al-Isra’ : 70).
Merujuk ayat di atas, melalui pertemuan tanah dan ruh Ilahi, Allah SWT telah menganugerahkan pada manusia 4 (empat) potensi dasar, yaitu : (1) Potensi jasmani menghantarkan manusia memiliki kekuatan olah fisik. (2) potensi hidup men-jadikan manusia mampu berkerja, saling melindungi, dan melakukan aktivitas yang bermanfaat. (3) potensi akal yang memungkinkan manusia senantiasa berfikir, mengisi, dan membangun peradaban, bukan menghancurkan. (4) potensi kalbu yang memungkinkan manusia merasakan kelezatan iman dan menjadi pribadi beradab (bermoral) penuh “rasa”.
Harmonisasi keempat potensi di atas akan terwujud tatkala eksistensi iman sebagai penyuluhnya. Harmoniasi potensi ini akan menghantarkan manusia meraih keselamatan vertikal dan horizontal. Untuk itu, tak berlebihan bila Buya Hamka mengumpamakan, “Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun, ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri.” Sebab, hanya pertautan ilmu dan iman yang menghasilkan adab yang akan mengangkat derajat manusia. Hal ini sesuai misi kerasulan Nabi Muhammad SAW yang dinukilkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak (adab)” (HR. Bukhari, Baihaqi, Ahmad, al-Hakim).
Bila kualitas nilai botol diukur dari isinya atau kualitas nilai jasmani diukur dari amaliah yang digerakkan rohaninya, maka kualitas deretan gelar keilmuan diukur dari kualitas karya dan adabnya. Sungguh, ternyata sejarah manusia merupakan pengulangan. Hanya beda pada pelaku dan waktunya. Seyogyanya, sejarah menjadi pelajaran agar aktivitas yang baik diteruskan dan aktivitas yang buruk ditinggalkan. Namun, ketika pilihan yang diambil justeru sebaliknya, maka hinalah diri bagai botol yang berisi kotoran najis yang me-rusak peradaban. Atau, mungkin botol justeru lebih mulia karena pernah menjadi tempat minyak wangi yang meng-harumkan peradaban langit dan bumi. Meski setelah hilang harumnya, botol akan dibuang. Walau penduduk bumi telah melupakan isi botol yang telah sebelumnya dinikmati seiring “menguap” dan hilang aroma wanginya, lalu ia akan membuang botol ke tong sampah. Tapi yakinlah, aroma harum minyak wangi keikhlasan yang pernah ada dalam botol akan abadi tercium oleh penduduk langit dan tak akan pernah melupakannya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 18 September 2023