Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Cermin sering kali digunakan manusia sebagai alat bantu untuk melihat dan merapikan penampilan lahiriah. Tujuannya agar muncul sisi “kelebihan” dan memperbaiki sisi kekurangan jasmani. Meski fungsi yang demikian diperboleh-kan, namun seyogyanya cermin juga digunakan untuk menjaga ciptaan Allah dan sekaligus melihat sisi rohaniah yang tersembunyi agar manusia mampu beragama yang lurus (fitrah). Sebab, janji Allah adalah pasti. Hal ini sesuai firman Allah SWT : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah” (QS. ar-Rum : 30).
Meski sisi rohani sifatnya tersembunyi, namun Allah Maha Mengetahui dan setiap diri yang senantiasa berkaca dengan kebesaran Allah akan mampu melihatnya secara terang benderang. Hanya saja, acapkali hal ini tidak dilakukan oleh manusia, bahkan tidak ingin dilakukannya. Akibatnya, segelintir manusia hanya melihat sisi kebaikan diri sendiri (berikut seputar tali pinggang) dan melihat sisi kejelekan orang lain (di luar tali pinggang). Seakan kemuliaan hanya miliknya dan kesalahan atau kegagalan diri selalu ditimpa-kan pada semua lawannya (orang lain). Bila berkata pada komunitas pemilik peradaban rendah, maka ia terlihat sangat lihai dan mumpuni. Tapi tak berdaya berhadapan pemilik kebenaran-Nya dan berperadaban tinggi. Sebab, justeru akan terlihat kebodohan yang dimiliki. Tipikal manusia seperti ini hanya mampu bak pepatah “melempar batu, sembunyi tangan”. Menggunakan pihak lain untuk mencari kesalahan orang lain (lawan) dan menyembunyikan aib diri yang seakan suci. Bila hal ini berdampak pada materi, bukankah sama halnya memakan bangkai yang busuk. Hal ini sebagaimana yang diceritakan Rasulullah ketika peristiwa isra’ mi’raj yang menyaksikan prilaku penghuni neraka yang lahap memakan bangkai, padahal di sisi lain terdapat daging segar nan menyehatkan. Prilaku ini akan menjadi darah daging yang membuat diri semakin kotor dan berakibat tak mampu menerima kebenaran (fitrah Allah).
Sungguh, seyogyanya cermin digunakan untuk melihat kualitas diri dengan melihat sisi keburukan untuk ditutup dan diperbaiki (diobati), serta sisi kebaikan untuk dijaga keikhlasannya agar tidak dinodai oleh kesombongan (riya’ dan ujub). Apatahlagi bagi penggiat “dunia maya” seharusnya semakin bijak memilih dan memilah setiap yang diunggah atau bagi “penjaga kebenaran” (ilmuan) bijak memilah informasi yang diterima dan ditolak. Sebab, meski ada “daging sehat” mungkin terdapat “bangkai” yang akan dimakan olehnya atau orang lain. Ada beberapa makna cermin fitrah di tengah era kuasa dunia maya yang tak terbendung, namun bisa kebablasan tanpa pertanggungjawaban secara vertikal dan horizontal, antara lain :
Pertama, Cermin melihat diri. Cermin melihat kehebatan diri dan tak melihat sisi keburukan diri. Aspek yang ditonjolkan melihat pada sisi positif dan menutup mata sisi negatif diri. Semua sibuk hanya melihat kesempurnaan diri. Sementara, sisi negatif tak lagi tersentuh dan semakin tergelincir. Sisi negatif diri tak lagi diperhatikan, diperbaiki, diobati apatalagi diakui. Akibatnya, sisi negatif diri semakin parah, membusuk, dan menganga.
Anehnya, cermin yang melihat diri sendiri demikian nyata memperlihatkan keburukan diri, namun acapkali keburukan yang disangkakan (ditimpakan) kepada orang lain. Bagai cerita fiksi seekor anjing yang menggigit sepotong tulang yang melewati jembatan. Ketika melihat ke bawah, pantulan air memperlihatkan cermin dirinya yang sedang menggigit tulang. Pantulan keserakahan diri yang disangkakan pada anjing yang lain. Akibatnya, tulang dimulutnya dilepas dan memburu bayangan diri yang disangkakan anjing lain. Demikian segelintir manusia modern melihat cermin pada sisi negatif diri tapi disangkakan pada kejelekan orang lain.
Dimensi cermin modern dikembangkan melalui dunia maya dengan memposting kehebatan diri dan menutup kebaikan sesama. Atau penerima informasi salah secepat kilat menerima sebagai kebenaran. Seakan kebaikan dan kehebatan hanya miliknya. Sementara semua kejelekan hanya ditujukan pada selain diri dan keleganya. Demikian tampilan manusia modern yang berperadaban rendah. Berbagai publikasi dilakukan tanpa “mengunci hati” untuk tetap tawadhu’ dan bijak menerima informasi. Akibatnya, nafsu riya’, ujub dan buruk sangka lepas tanpa kontrol mengarahkan manusia semakin tergelincir dan jauh dari sifat ikhlas dan berprilaku benar. Allah SWT mengingatkan hamba melalui firman-Nya : “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (QS. Lukman : 18).
Merujuk ayat di atas, kata ujub memiliki dua makna, yaitu : (1) senang menganggap diri baik dan bangga atas apa yang dilakukan. (2) memandang diri agung, hebat, dan besar. Ujub seringkali diartikan sebagai kagum atas diri atau kolega yang disandarkan penilaian subyektif (kepentingan), bukan kagum atas kebenaran dan menjaga keikhlasan. Lawan dari ujub adalah dzikrul minnah atau mengingat karunia, keadilan, dan kebesaran Allah SWT.
Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, ujub adalah mengagungkan diri atau menganggap agung amal (prestasi) yang telah dilakukan (diraih). Hal ini dapat dilihat dari perkataan “akulah orang paling saleh, benar, suci, mulia, berjasa, hebat, sanggup, pantas, berhak, dan varian kata lainnya. Tidak ada orang yang melebihi atas apa yang kumiliki.” Dalam konteks ini, ujub memiliki tiga wujud, yaitu diri sendiri (bangga pada diri), makhluk (komunitas), dan barang yang dimiliki. Agar semua memperoleh pengakuan, maka perlu dimunculkan, terutama melalui bantuan dunia maya. Sifat ini merupakan prilaku tercela. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujubnya seseorang terhadap diri sendiri” (HR. at-Thabrani).
Kedua, Cermin mendidik manusia jujur melihat bayangan diri. Kejujuran yang menumbuhkan keinginan untuk memperbaiki diri atas kekurangan yang ada dan memelihara diri atas kelebihan yang dimiliki. Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwa-lah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18).
Ramadhan melatih diri jujur. Aktivitas puasa adalah “ibadah rahasia” antara hamba dan Allah. Sebab, puasa hanya dilihat oleh diri dan Allah. Kejujuran vertikal yang seyogyanya memancar kejujuran horizontal.
Ketiga, Cermin senantisa obyektif memberi informasi setiap diri tanpa melihat status sosial yang menggunakannya, apatahlagi dengan uluran “pundi-pundi”. Kejujuran cermin patut dicontoh. Ia akan memantulkan informasi yang benar atas semua yang ada. Sementara, manusia memberi penilaian acapkali penuh kepentingan dan subyektifitas. Bila akan memberi keuntungan, maka sesutu yang salah akan dikatakan benar. Namun, bila akan merugikan, maka yang benar akan dikatakan salah. Informasi subyektifitas demikian telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu adalah membaikkan. Setiap orang akan mendapat hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan siapa yang mengambil bagian terbesar akan mendapat siksaan yang besar pula” (QS. an-Nur : 11).
Meski ayat Allah di atas demikian nyata kebenaran dan alam menguji dalam realita, namun acapkali manusia mendusta-kannya. Demikian beda sifat cermin yang obyektif dan sifat segelintir manusia yang subyektif memberi atau menerima informasi yang sarat kepentingan.
Keempat, Cermin merupakan sosok sahabat yang amanah untuk menyimpan semua rahasia diri. Tak ada rahasia yang dibuka cermin meski semua orang menggunakannya. Ia hanya menampilkan bayangan yang ingin berkaca tapi tak membuka aib setiap yang berkaca pada orang lain yang menggunakannya. Cermin sesungguhnya mengimplemen-tasikan firman Allah : “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qashash : 26).
Demikian sifat cermin yang amanah atas semua kelebihan atau aib manusia yang berkaca padanya. Sementara manusia yang dianugerahkan potensi kecerdasan seakan tak menggunakan pemikirannya. Informasi yang baik perlu “dorongan materi” dan lama untuk dimunculkan. Sementara informasi jelek yang terkadang belum jelas kebenarannya bagai sajian lezat untuk disantap dan secepat kilat dipublikasikan. Padahal, informasi yang jelek (terlepas benar atau salah) bagai bangkai saudaranya. Tentu yang senang mendatangi dan mencari makan pada seonggok bangkai hanya “lalat dan langau” yang kotor dan hidup di areal kotor.
Kelima, Cermin mengisyaratkan kebersihan hati. Bila permukaan cermin senantiasa dibersihkan, maka pantulannya akan semakin sempurna. Sebaliknya, bila permukaan cermin jarang (atau tak pernah) dibersihkan, maka akan merusak cermin dan semakin tak sempurna pantulan yang diberikan. Atau mungkin bak pepatah “cermin (hati) retak seribu”. Rasulullah SAW pernah bersabda : “Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu (hati)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Upaya membersihkan cermin hati adalah dengan memper-banyak zikir pada Allah dan shalawat pada Rasulullah dalam makna yang sebenarnya. Berbaik sangka pada Allah dan sesama. Tak ada sedebu khianat merusak jiwa. Semua hadir bersih tanpa noda hanya untuk Allah dan Rasul-Nya semata.
Keenam, Cermin kualitas kelayakan diri. Bercermin apakah diri layak menjadi pemenang (‘idul fitri) atau sebenarnya justeru sebagai pecundang. Lantunan takbir membesarkan dan mengagungkan Allah atau semakin membesarkan keangkuhan diri yang lebih dominan. Cermin keberhasilan apa yang mampu diraih selama ramadhan, keberhasilan pembersihan dan pembentukan karakter bertakwa atau raihan tanpa perubahan karakter kebaikan sedikit jua.
Ketujuh, Cermin lambang kejujuran. Cermin acapkali menjadi sasaran kemarahan manusia tatkala informasi kejujuran yang dipantulkan tak memuaskan mereka yang berkaca. Sungguh sulit bila memiliki kejujuran di tengah kehidupan yang “berpura-pura”. Kejujuran acapkali dimusnahkan karena akan memperlihatkan watak asli siapa pun yang menggunakannya. Allah mengingatkan dalam firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar” (QS. al-Ahzab : 70).
Meski cermin diri tak seutuhnya dipahami dan dilakukan setiap manusia, kondisi ini diperparah dengan memanfaat-kan dunia maya sebagai wadah membuang air kebaikan dalam bejana dan ladang menanam racun pada sesama. Kebaikan yang diunggah dengan wujud riya’ dan ujub menumpah habis kebaikan yang dilakukan. Unggahan fitnah dan aib sesama hanya memperlihatkan keji dan hinanya diri yang sebenarnya. Anehnya, semua seakan tak ada yang peduli. Meski dipelupuk mata terlihat nyata ayat Allah dalam kehidupan. Riya’ dan ujub tak bertahan lama, punah ketika Allah tarik nikmat-Nya. Penyebar fitnah dan aib sesama tak menyisakan diri dan keluarganya menjadi hina sepanjang masa. Mungkin tak tersisa keimanan dan akal pada diri manusia pemilik peradaban hina. Sibuk mencari kesalahan orang lain, namun tak pernah berkaca atas dirinya. Hilang merasa bersalah, sirna saling memaafkan. Sungguh beruntung manusia yang disediakan kaca untuk bercermin kekurangan diri dan hinalah manusia yang tak pernah mau berkaca untuk bercermin kelemahan diri.
Idealnya, postingan di dunia digital sepantasnya digunakan sebagai identitas manusia berperadaban tinggi yang mencerdaskan. Sebab, kelompok ini senantiasa hanya sibuk memperbaiki diri dan berbagi kebaikan pada sesama. Tak ada waktu baginya melihat aib sesama. Apatahlagi pergunjingan yang berujung pada fitnah dan berakibat malapetaka kolektif. Semuanya tak memberi manfaat untuk dilakukan. Hanya akan menjadi penyebab runtuhnya peradaban dan mengotori kesucian jiwa yang justeru menjadikannya lebih hina dibanding hewan yang melata. Hal ini dinyatakan Allah secara tegas dalam firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf : 179).
Demikian jelas firman Allah dan benderang sabda Rasulullah untuk pedoman meraih makna fitrah yang hakiki. Fitrah dalam konteks kembali pada ajaran agama (‘idul fitri) sebagai wujud perjanjian alam mitsaq dan kesucian diri (fitrah insaniah) sebagai makhluk mulia. Syawal bukan sebatas bersalaman, tapi saling memaafkan. Bukan saling menyalahkan, tapi mencari titik sama kebenaran. Bukan sebatas takbir, tapi ihsan yang terukir. Semua pilihan tergantung pada kualitas kesucian yang dimiliki setiap manusia. Hanya hamba yang suci bisa merasakan bersama Yang Maha Suci. Sebaliknya, hamba yang kotor akan memilih bangkai dan jauh dari ruh kebenaran. Bagi setiap diri yang memperoleh bimbingan-Nya akan tau dan mampu menjawab dengan benar. Minal a’idin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 24 April 2023