Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Hamba bersyukur tiada henti pada Allah SWT pemilik alam semesta. Telah 78 tahun negeriku merdeka terlepas dari belenggu penjajah. Raihan kemerdekaan yang diperoleh dengan derai air mata, keringat, darah, harta benda, dan bahkan nyawa. Semua elemen anak bangsa menyatu dalam perjuangan seiring derap pinta munajat pada Ilahi dan tujuan yang sama untuk mengambil kembali, mempertahankan kemerdekaan, dan menjaga kedaulatan negeri ini.
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sungguh Allah SWT telah memperkenalkan hakikat dan makna kemerdekaan. Demikian banyak Allah sampaikan “ayat-ayat-Nya” pada seluruh anak negeri ini. Dinamika yang penuh pelajaran. Makna yang demikian nyata terlihat pada alam sebagai pedoman untuk memilih hakikat kemerdekaan. Ketepatan memaknai kemerdekaan akan menghantarkan pada kesejahteraan. Semua telah Allah tampilkan melalui sejumlah ciptaan-Nya, antara lain :
Pertama, Merdeka fisik tanpa kebijaksanaan (akal), bagai serigala bebas di alam lepas. Geraknya lincah, tapi hanya mencari mangsa untuk dimakan. Namun, kekuatan, kegesit-an, ketajaman taring dan kukunya, tak berkorelasi dengan kemampuan akalnya untuk membangun peradaban dan kesejahteraan. Semua potensi yang dimiliki hanya digunakan untuk kepentingan diri dan komunitasnya belaka. Melalui kekuatan yang dimiliki, serigala justeru hanya menghancurkan peradaban seisi hutan. Ia tak peduli dengan keselamatan rusa dan domba, tak peduli dengan bunga patah layu yang dinjaknya, tak peduli terhadap kelestarian hutan sebagai “rumah dan sumber hidupnya” dari perambah hutan yang serakah, dan sifat ketidakpedulian lainnya. Baginya, kemerdekaan hanya kebebasannya “memangsa” untuk menopang keberlanjutan hidupnya, tanpa peduli atas hak hidup dan kemerdekaan penghuni hutan lainnya.
Untuk itu, jangan memahami kemerdekaan secara keliru sebagai media kebebasan seluruh aspek dengan melanggar hukum. Kemerdekaan bukan kebebasan memonopoli ekonomi (kapitalis), politik, kolaborasi korupsi (Serigala berbulu domba) tiada henti, keadilan yang acapkali berpihak bak pisau bermata tunggal, memamerkan taring dan kuku, bangga atas keberhasilan menjarah dengan memamerkan kekayaan (flexing style) tanpa rasa bersalah dan berdosa, sampai tega menjual aset negeri seakan miliknya sendiri. Kemerdekaan bukan pula kebebasan dalam ruang tanpa batas dengan “dalil pakaian” HAM dan/atau dalil hak istimewa atas profesi dan posisi yang disandang. Pemahaman kemerdekaan model ini merupakan cara fikir arogan. Cara berfikir yang akan menciptakan model “penjajahan” dengan bentuk yang berbeda, tapi dampaknya demikian terasa. Sikap yang akan berakibat penderitaan keummatan (peradaban) dan kealaman yang tiada henti.
Kemerdekaan beradab seyogyanya perlu dipahami sebagai ikhtiar bersama untuk membangun peradaban dan kesejah-teraan bersama. Kemerdekaan perlu mengedepankan hukum yang berkeadilan. Hukum yang berkeadilan akan melahirkan peradaban yang mensejahterakan. Tatkala kesejahteraan mampu diraih, maka kedamaian akan dinikmati.
Kedua, Merdeka psikis bagai burung dalam sangkar. Tak bisa berbuat apa-apa, hanya nyanyian dan munajat sedih. Meski kicauannya terdengar merdu dan membuat yang mendengar tertegun, tapi tak pernah dilepaskan bebas. Sebab, takut bila kemerduan kicauannya akan dimiliki orang lain. Kemerdeka-an psikis yang masih mampu menghantarkan pada kualitas.
Dalam konteks sejarah Indonesia, ada beberapa tokoh yang merdeka secara psikis dan mampu kemerdekaan dengan melahirkan karya yang fenomenal. Adalah sosok Mohamnad Natsir dengan karya “Di Bawah Naungan Risalah” atau buya Hamka dengan karya “Tafsir al-Azhar”. Meski jasmaninya terkurung, geliat marwah intelektualitasnya terjaga dan akalnya selalu merdeka untuk melahirkan peradaban nan mencerdaskan. Karya yang dilahirkannya menjadi bukti bisu atas kemerdekaan psikisnya yang tak pernah terbelenggu. Ia mampu menjaga merdeka melalui “coretan kertas”. Karyanya bermutu tanpa menghujat, menghina, apatahlagi memfitnah mereka yang berbeda dengannya. Ia tampilkan kemerdekaan intelektualitasnya dengan karya penuh adab dan kesantunan.
Ketiga, Merdeka pisik dan psikis merupakan kemerdekaan ideal yang diharapkan atau dicita-citakan. Dalam konteks modern, BJ Habibi contoh segelintir pemilik kemerdekaan jasmani dan rohani. Ia merdeka secara pisik dari “rayuan” agar membangun peradaban Jerman. Justeru ia memilih untuk membangun komunikasi dan berkontribusi bagi peradaban NKRI. Gemerlap intan berlian tak menyilaukannya. Posisi tinggi tak pula membuatnya tunduk. Raga dan harga dirinya dipersembahkan untuk negerinya. Ia merdeka secara psikis dengan ide cemerlang untuk mencerdaskan anak negeri. Kemerdekaan pisik dan psikis yang dimiliki terlihat jelas pada tindakan dan kecerdasannya dalam berfikir. Kata-nya bagai mutiara, sikapnya bagai embun menyirami bumi, pikirannya bak air jernih mengalir, tindak tanduknya menjadi suluh, dan karyanya mengangkat martabat bangsa.
Sungguh, masih banyak pemilik kemerdekaan tipikal ini era tempo dulu. Sosok para Walisongo, Jenderal Sudirman, Pattimura, Sultan Syarif Qosim, KH. Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Ahmad Yani, Moh. Roem, Mohd. Natsir, Soekarno, Mohd. Hatta, Mohd. Yamin, dan sejumlah putra terbaik negeri ini telah membuktikan sebagai pemilik kemerdekaan sejati. Mereka merdeka lahir dan batin dengan harga diri yang tak pernah diperjualbelikan. Sikap luhur sebagai manusia yang berperadaban tinggi. Sementara di luar mereka, masih ter-sisa segelintir kecil yang bertipikal tak ingin dijajah tapi suka menjajah, tak ingin dizalimi tapi suka menzalimi, dan tak ingin dicela (disalahkan) tapi selalu mencela (menyalahkan).
Secara sederhana, menjajah berarti menguasai totalitas hajat hidup orang banyak secara semena-mena untuk kepentingan diri atau orang terbatas. Sementara kemerdekaan bermakna bebas dan berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya). Namun, kemerdekaan bukan berarti kebebasan tanpa batas dengan menginjak-injak hak sesama. Bila hal ini yang dilakukan, maka ia justeru telah tergiring sebagai penjajah yang hanya berbeda asesoris tapi wujud dan hakikatnya telah melakukan penjajahan atas orang lain.
Untuk itu, kemerdekaan harus dipahami sebagai “kebebasan yang berperadaban dan berkeadilan”. Dengan adab (aturan), manusia bisa berlaku adil. Dengan keadilan pula manusia akan menjadi makhluk beradab dan membangun peradaban.
Ketiga tipikal kemerdekaan di atas menjadi cermin bentuk kemerdekaan setiap diri. Pilihan tipikal tergantung pada sandaran iman, kualitas intelektual, karakter, harga diri, dan pilihan komunitas yang diinginkan. Tarik menarik semua faktor tentu tak dapat dihindari. Meski kualitas keimanan sebagai dasar penentu arah kemerdekaan yang dipilih.
Dalam perspektif al-Quran, ada beberapa bentuk makna kemerdekaan, antara lain :
Pertama, Kemerdekaan dengan menyelamatkan diri dan umat dari kesesatan atau kezaliman. Kemerdekaan atas belenggu tradisi “menyembah makhluk”. Hal ini terlihat pada keberhasilan pemuda ashabul kahfi yang mampu memper-tahankan kemerdekaan keimanannya dari kesesatan dan kezaliman dengan mempertahankan ketauhidannya (QS. al-Kahfi : 18-19). Hal ini terlihat pula pada upaya nabi Musa dan kuasa Allah yang menghancurkan kadigjayaan Fir’aun yang zalim. Nabi Musa mampu memerdekakan umat, menghantar-kan hidup umat dalam kedamaian dan kesejahteraan.
Kedua, Kemerdekaan atas kekangan kebodohan yang telah membuat dis-orientasi hidup yang hanya untuk keduniaan, melakukan penindasan ekonomi, politik belah bambu, perbudakan, dan kezaliman sosial lainnya. Hal ini terlihat pada misi baginda Rasulullah menyelamatkan manusia sepanjang masa melalui tauhid dan akhlak mulia. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji” (QS. Ibrahim : 1).
Demikian jelas makna kemerdekaan telah disampaikan melalui firman-Nya dan begitu terang akhlak yang ditampil-kan oleh Rasulullah. Bahkan, semangat kemerdekaan secara konstitusi (hukum) telah pula disusun secara bijak oleh para pendiri negeri ini. Hanya tinggal mengimplementasikan atas apa yang telah ada secara konsisten dan berkeadilan.
Sungguh, hakikat merdeka yang sebenarnya ketika seorang manusia sadar dan memposisikan dirinya sebagai hamba Allah melalui ajaran yang difirmankan-Nya dan akhlak Rasulullah dalam semua dimensi, baik penciptaan, peng-hambaan, kecintaan, pengharapan, perasaan, perkataan, dan perilakunya yang terbebas dari sifat tercela dengan menjalan-kan aturan (negara) yang ada. Ketika makna kemerdekaan pada dimensi ini mampu diraih dan dimiliki, maka ia akan memperoleh hakikat kemerdekaan yang sebenarnya. Ia akan terhindar dari sifat keserakahan, kezaliman, kemunafikan, ketidakadilan, dan sifat sejenis lainnya. Sebab, ia telah mampu memerdekakan dirinya dari sifat dan tindakan tercela dengan membawa pesan kebajikan pada seluruh alam semesta. Secara personal, kemerdekaan bukan dimaknai bebas berbuat apa yang diinginkan, meski dengan dalih dan berlindung dengan aturan yang multi tafsir kepentingan. Kemerdekaan diri harus memperhitungkan dan menghargai hak-hak kemerdekaan bagi yang lain sebagai-mana diatur dalam dasar negara (NKRI).
Paling tidak, kemerdekaan perlu dipahami (minimal) dalam 2 (dua) perspektif, yaitu : (1) teoritis. Kemerdekaan pada bangunan ruh anak negeri yang membara untuk membangun negeri ini. Ruh yang bersemayam pada merahnya darah dan putihnya tulang sebagai pengikat persatuan. (2) implemen-tatif. Wujud nyata kemerdekaan dengan terciptanya keadilan dan peradaban yang memakmurkan seluruh unsur yang ada di wilayah NKRI meliputi manusia, flora, fauna, tanah dan air berikut isinya, budaya, cagar alam, udara, dan sebagainya. Sebab, tujuan kemerdekaan akan tercapai tatkala keamanan (keadilan) dan kemakmuran diperoleh. Konsep ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. al-Baqarah : 155).
Kata kunci kebutuhan manusia pada ayat di atas meliputi rasa “ketakutan” (perlu rasa aman yang berkeadilan) dan rasa “kelaparan” (membangun kesejahteraan rakyat). Ketika minimal dua persoalan ini tercapai, maka hakikat kemerdeka-an akan dapat diraih. Bagai sebuah perahu yang berlayar ke pulau impian. Semua tergantung keinginan bersama seluruh elemen yang ada. Bila ada elemen yang berbeda arah, lurus-kan dengan bijak dan adil dengan timbangan aturan yang ada. Bila seluruh elemen memiliki mimpi dan ikhtiar yang sama, harapan dan cita-cita kemerdekaan yang telah dititipkan dan diamanahkan oleh para syuhada dan para pahlawan negeri ini akan berbuah manis sepanjang masa. Mereka akan bangga dan tersenyum bahagia. Tak sia-sia pengorbanan yang telah mereka berikan. Untaian amal jariyah mereka sedang dinikmati oleh penerus yang shaleh dan tidak terbersit melakukan kezaliman atau pengkhianatan.
Bangsa yang merdeka mampu membangun peradaban tinggi dan mensejahterakan. Semua elemen sibuk berupaya untuk membangun negerinya. Tak ada waktu untuk saling meng-hujat, menyalahkan, apatahlagi mencari kesalahan sesama. Perbedaan dijadikan media untuk lebih dewasa, saling menghormati, menghargai, dan bersikap bijaksana.
Perbedaan bukan untuk saling menyalahkan dan menyakiti, tapi menjadi media untuk mencari titik kesamaan dan saling menghargai. Bila perbedaan dijadikan alasan untuk tidak bersatu, maka perahu akan hancur dan tenggelam. Negeri ini adalah perahu dan penumpangnya adalah seluruh rakyat. Andai terdapat tikus dalam perahu, bila hanya dalam jumlah terbatas, tikus perlu musnahkan dengan cara bijak dan cepat. Tapi, bila tikus dalam jumlah yang banyak, maka segera lokalisir geraknya. Sangat tidak bijak tatkala murka dengan tikus, tapi perahu ditenggelamkan dengan peng-khianatan. Sikap ini justeru akan membunuh seluruh penumpang yang ada. Bila hal ini yang dipilih, maka tak ada bedanya diri yang mengaku benar tapi “menjajah”, dengan pelaku kesalahan yang jelas-jelas berbuat salah. Untuk itu, merdekakan diri dari belenggu prasangka dan mengkhianati.
Dirgahayu negeriku yang ke-78 tahun. Engkau akan selalu kujaga, kurawat, dan kupertahankan. Tersenyumlah wahai para syuhada dan pahlawanku. Membuatmu bangga adalah cara kami membalas budi. Tak akan kubiarkan engkau menangis meski setetes. Sebab, tangisanmu hanya akan mengundang petaka dan azab-Nya. Melalui senyuman dan doamu, nikmat dan kemuliaan akan diturunkan oleh Allah untuk seluruh negeri ini. Bijak bila setiap peringatan HUT Kemerdekaan RI selalu diperingati dengan kesyukuran pada Allah, serta untaian terimakasih atas jasa para syuhada dan pahlawan bangsa dengan cara merawat martabat dan persatuan negeri ini.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 14 Agustus 2023