Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Semua orang tau ketika bertemu dan ditanya tentang sebatang pohon. Jangankan masyarakat yang tinggal di pedesaan, masyarakat yang tinggal di perkotaan pun mengenal karakteristik dan unsur-unsur pohon. Meski hampir semua tau berbagai varian pohon, namun tak semua faham pelajaran yang ingin Allah sampaikan pada manusia. Sebab, ternyata ada kaitan unsur pohon dan kualitas keberagamaan manusia. Padahal, sebatang pohon mengajarkan satu kesatuan iman, Islam, dan ihsan sebagai wujud kualitas seorang hamba, sekaligus alat ukur menuzulkan firman-Nya dalam diri hamba.
Adapun filosofi pohon terhadap kualitas spritual seorang manusia dapat dilihat pada beberapa dimensi, antara lain :
Pertama, Akar adalah wujud dimensi iman. Eksistensinya menjadi pondasi kekuatan dan kesuburan sebatang pohon. Semakin menjunam ke dalam tanah, semakin kuat akar, semakin kokoh pohon. Sebalinya, bila setang pohon mudah tumbang atau hidup bagai “kerakap tumbuh dibatu”, pertanda akar tidak sehat sehingga tak mampu memberikan nutrisi ke seluruh pohon. Sungguh, demikian nyata ayat kauniyah yang Allah hamparkan untuk menjadi pelajaran bagi hamba yang berfikir. Begitu jelas kebenaran firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya” (QS. an-Nisa’ : 136).
Akar pohon sebagai lambang kualitas iman seorang hamba. Kualitas yang mempengaruhi kadar implementasi Islam sebagai rangakaian aktivitas ‘ubudiyah” dan ihsan setiap hamba. Posisi iman bagai akar yang tersembunyi. Semakin dalam tertancapnya iman seorang hamba, semakin kokoh dan sehat Islam dan ihsan pada dirinya. Sebaliknya, semakin terlihat dan berupaya “mempertontonkan iman” bagai akar yang muncul kepermukaan. Kondisi ini memungkinkan mudahnya akar mengalami kerusakan dan “terbongkar” dan tumbang. Untuk itu, iman bukan untuk dipamerkan, tapi disembunyikan untuk mampu merasakan nikmatnya ikhlas bersama apa yang diimaninya.
Kedua, Batang, dahan, ranting, dan daun adalah wujud dimensi Islam. Wujud pengejawantahan iman melalui ajaran Islam yang dimunculkan melalui aktivitas ibadah yang difirmankan Allah dan disampaikan Rasulullah. Manivestasi yang berwujud berbagai bentuk amaliah wajib maupun sunnah. Semua berasal dari ruh nutrisi iman yang dimiliki. Semakin sehat dan kokoh akar iman, semakin bervariasi bentuk wujud ke-Islam-an yang dilaksanakan. Bagai sehatnya akar yang mampu menumbuhkan pohon, cabang, ranting, dan daun yang sehat, rindang, dan lebat. Hal ini akan terlihat demikian sehat dan lebatnya amaliah hamba atas wujud sabda Rasulullah SAW : “Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa ramadhan” (HR. Bukhari).
Kelima sendi Islam di atas apabila dilaksanakan secara utuh, maka ia akan menjadi pohon Islam dengan berbagai varian wujud sebagaimana tumbuhnya dahan, ranting, dan daun. Wujud syahadatain menumbuhkan seluruh aktivitas hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Ibadah yang dilakukan ikhlas hanya untuk Sang Maha Pencipta. Pujian shalawat yang disenandungkan untuk lebih mengenal, mencintai, dan meniru akhlak Rasulullah, bukan sebatas euforia yang tak membekas. Wujud shalat (dengan berbagai variannya) menumbuhkan kepatuhan, ketundukan dan tawadhu dihadapan Allah. Wujud zakat menumbuhkan dahan syukur atas nikmat-Nya dan semangat menolong sesama sebagai bentuk keshalehan sosial. Wujud haji menumbuhkan dahan ketundukan, kecintaan, “ketakjuban, dan keikhlasan. Sedangkan wujud puasa menumbuhkan dahan amanah dan kejujuran yang menghadirkan Allah sebagai Zat Yang Maha Melihat. Varian wujud tersebut akan menumbuhkan berbagai ranting dan daun wujud-wujud penghambaan dan kekhalifahan lainnya. Kesemua tak terlepas dari kokohnya akar (iman) yang menopang dan tegaknya batang pohon (Islam) dengan dahan, ranting, dan daun yang sehat pula.
Bila akar iman tidak kuat dan sehat, maka pohon ibadah hanya sebatas ada dan tak lebih bentuk rutinitas belaka, tanpa makna dan membekas. Bentuk rutinitas yang tak banyak melahirkan dahan, apatahlagi ranting dan daun amaliah seakan gersang dan sebatas wujud adanya pohon (sebatas tanda beragama) semata.
Ketiga, Buah adalah wujud dimensi ihsan sebagai buah iman dan Islam. Sebab, ihsan tidak dapat dipisahkan dari iman dan Islam. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh ditinggalkan untuk mencapai kesempurnaan. Perilaku ihsan perlu tertanam di dalam hati yang menumbuhkan baik sangka dan diimplementasikan dengan perbuatan terpuji dalam kehidupan (akhlak mulia).
Dimensi ihsan merupakan bukti kualitas iman dan Islam. Hal ini dinukilkan oleh malaikat Jibril dengan menyandarkan kedua lututnya ke arah lutut Rasulullah dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas dua paha beliau. Lalu, ia bertanya, “Ya Muhammad, jelaskanlah padaku tentang ihsan?” Rasulullah SAW menjawabnya: “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat kamu.” (HR. Muslim)
Ulama sufi membagi ihsan pada tiga tingkatan, yaitu : (1). Tingkatan musyahadah, yaitu golongan hamba yang melakukan ibadah seakan-akan merasakan sedang melihat dan menyaksikan (kekuasaan) Allah. Tingkatan ini menghadirkan seakan senantiasa “bersama” Allah SWT secara langsung. Mereka merasa Allah benar-benar hadir dalam setiap aktivitasi yang mereka lakukan. Allah dirasakan hadir pada semua ciptaan-Nya yang ada di alam semesta dan senantiasa berdialog dengannya. (2). Tingkatan Muraqabah, yaitu golongan hamba yang melakukan ibadah merasa seluruh gerak-geriknya dan getar hatinya diawasi oleh Allah SWT. Meski belum “bersama” dengan Allah, namun telah mampu berkomunikasi dengan Allah melalui mata kepatuhan. (3). Tingkatan Ihsan paling rendah adalah golongan hamba yang beribadah bagaikan seorang “pedagang”. Setiap amaliah ibadah yang dilakukannya bertujuan untuk mencari keuntungan berupa pahala yang dijanjikan-Nya. Meski tingkatan ini paling rendah, namun tegak oleh keikhlasan, tanpa riya’, dengki, iri hati, khianat, fitnah, atau sifat negatif lainnya yang merusak tujuan amal.
Ketiga tingkatan tersebut di atas hadir pada hamba sesuai kadar keimanan yang dimiliki dan anugerah yang diberikan Allah padanya. Sebuah tingkatan dan kualitas yang tak bisa direkayasa, apatahlagi sebatas pengakuan diri yang penuh hasrat kepentingan. Tingkatan yang tak bisa dibahasakan, tapi dapat dirasakan sesuai kualitas iman dan Islam seorang hamba. Eksistensinya secara zahir hanya dapat terlihat pada karakter diri yang ditampilkan. Sedangkan secara batin akan dirasakan oleh diri dan disaksikan Zat Pemilik Diri. Untuk itu, Syekh Abdurrahnan as-Sya’di RA dalam kitab Bahjatu Qulubi al-Abrar, membagi ihsan dalam dua dimensi, yaitu ihsan secara vertikal kepada Allah (ketundukan dan penghambaan) dan ihsan secara horizontal kepada sesama makhluk ciptaan-Nya sebagai wujud khalifah rahmatan lil ‘aalamiin. Pada dimensi horizontal, Allah SWT mengibgatkan melalui firman-Nya : “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya” (QS. Ali Imran : 19).
Bagi hamba yang mencapai kualitas ihsan, wujud zikir membuat tak ada waktu sedetikpun baginya tanpa penghambaan dan pengabdian. Aktivitasnya hanya membawa pesan kebaikan. Tak tersisa waktu sedikit jua melihat kelemahan sesama, apatahlagi berbuat aniaya (kezaliman). Ia khawatir atas janji ancaman Allah yang telah difirmankan-Nya. Untuk itu, bagi hamba yang berharap (roja’ dan khauf) akan senantiasa merangkai harapan berwasilah dengan memperbanyak shalawat pada nabi Muhammad SAW agar mampu meraih ihsan vertikal dan horizontal.
Shalawat pada junjungan alam ia wujudkan dengan merujuk dan mengikuti cermin akhlak Rasulullah. Setiap untaian shalawat terasa hadir Rasulullah menjawab shalawat umat. Ia malu bila mempermainkan untaian shalawat yang justeru sebatas pada pamer kata, tapi jauh dari akhlak Rasulullah. Untuk itu, ia tak ingin mempermainkan shalawat bila tak mampu bershalawat dengan adab yang bercermin pada akhlak Rasulullah.
Sungguh, sebatang pohon menjadi cermin dan ukuran (muhasabah) melihat atas kualitas iman, Islam, dan ihsan setiap diri. Timbangan atas kualitas akar (iman) yang dimiliki apakah menjunam kokoh kedalam bumi, atau sekedar ada dan keluar kepermukaan yang mudah roboh bila angin menerpa, atau tanpa akar dan hanya lumut yang disangka akar. Timbangan atas kualitas pohon (Islam) yang dimiliki apakah besar dan kuat, tinggi menjulang “menembus awan”, berdahan dan beranting dengan daunnya lebat merimbun yang menjadi tempat berlindung. Atau mungkin sebatas pohon yang tumbuh bak “kerakap di batu”, berulat dan berpenyakit, dahan dan ranting yang mudah patah, serta dedaunan yang kuning bak dimakan ulat. Timbangan atas kualitas buah (ihsan) yang dimiliki apakah berbuah lebat, manis, harum, lezat, dan menyehatkan siapa pun yang menikmatinya. Atau berbuah lebat tapi masam, busuk, berulat, dan menjadi penyakit siapa pun yang memakannya.
Atau tak berbuah sama sekali, hanya mengandalkan dedaunan yang menjadi sampah bagi lingkungan. Sungguh cermin besar dan demikian nyata bila ingin melihat diri. Zikir yang dipanjatkan dan shalawat yang disampaikan berkorelasi pada karakter terpuji. Bila kualitas iman, Islam, dan ihsan diri dimuliakan oleh Allah, maka hamba semakin tunduk dan berupaya menyembunyikannya agar tak “mengganggu dan mengurangi” kenikmatan diri bermunajat dengan Allah dan harap bersama Rasulullah. Namun, nistalah diri bila iman, Islam, dan ihsan sebatas “khayalan dan mimpi”. Sebab, acapkali “kesombongan” yang dimiliki Iblis telah menutupi kaca besar yang dibentang Allah pada hamba. Akibatnya, jadilah manusia bak “katak di bawah tempurung” di tengah hamparan alam semesta yang demikian luas. Merasa diri paling hebat, paling benar, paling mulia, paling pantas, paling sempurna, dan varian ujub lainnya. Sikap ini menghantarkan tumbuhnya sifat berburuk sangka pada sesama, dengki, fitnah, mengadu domba, munafik, khianat, dan lainnya. Karakter buruk ini tanpa disadari telah menghinakan diri sendiri. Kehinaan pada dimensi vertikal dan horiziontal. Begitu rugi manusia yang mengotori diri yang berakibat semakin jauh dari Allah Yang Maha Suci dan Rasulullah hamba-Nya yang mulia. Meski asesoris bagai manusia mulia, namun hilangnya ihsan pada diri berakibat menjadi manusia terhina melebihi hinanya hewan. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (lebih hina). Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf :179).
Anehnya, perilaku ini justeru lebih digemari dan banyak yang mengikuti. Mungkin kelompok manusia seperti ini yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman” (QS. al-Baqarah : 8).
Sungguh demikian jelas firman terlulis telah Allah wahyukan. Merugilah hamba yang sebatas membaca tapi tak memahami. Hinalah hamba yang memahami tapi tak mengamalkan. Demikian pula firman terbentang jelas dipelupuk mata. Tak bermanfaat ilmu yang ada bila tak mampu menangkap pesan Ilahi dan adab yang dituntun Rasulullah. Celakalah diri bila pesan telah ditangkap namun tak mampu mewujudkan dan menyampaikan pada seluruh alam. Begitu rapi Allah “menghidangkan” firman-Nya guna dinikmati untuk “menuzulkan” firman-Nya pada diri hamba. Nuzul yang memancarkan ihsan yang terpuji. Sebuah cermin untuk melihat dan timbangan untuk mengukur diri. Dengan cermin dan alat ukur tersebut diharapkan menjadi kompas setiap diri menuju pada yang “hak” bukan berprilaku hoax penuh tipuan dan kemunafikan. Semua tergantung kualitas totalitas “pohon diri” dihadapan Zat Pemilik Semesta yang tak pernah ingkar janji.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 10 April 2023