Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Perjalanan Isra Mi’raj merupakan peristiwa mulia yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran pada dua surat berbeda yakni, QS. al-Isra’ : 1 dan QS. an-Najm : 13-18. Peristiwa agung yang dianugerahkan Allah di keheningan malam dengan memperjalankan hamba-Nya yang mulia, yaitu nabi Muhammad SAW. Hal ini Allah nukilkan pada firman-Nya : “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” (QS. al-Isra’ : 1).
Melalui peristiwa mulia ini, Allah perlihatkan pada Rasulullah atas kebesaran-Nya dengan berbagai macam pelajaran (i’tibar) bagi seluruh manusia. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu’ (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar” (QS. An Najm ayat 13-18).
Merujuk pada ayat di atas, paling tidak ada beberapa pelajaran yang dapat diambil bagi manusia, antara lain :
Pertama, Perjalanan menghibur kesedihan Rasulullah setelah wafatnya istri tercinta (Siti Khadijah). Jawaban Allah pada hamba yang selalu mengingat-Nya dengan penuh kerinduan (terutama senang), maka ketika hamba dalam keadaan susah, Allah hadir memberi “kegembiraan” pada hamba-Nya. Sementara pada umumnya, hamba baru ingat dan mengapungkan munajat pada-Nya tatkala dalam kesusahan, namun lupa pada Allah tatkala memperoleh kesenangan. Bahkan, kesenangan yang diperoleh justeru acapkali melupakan Zat Yang Maha Pemberi. Karenanya, tatkala hamba dalam keadaan kesusahan, maka Allah akan melupakannya. Pilihan prilaku hamba yang melupakan Allah tatkala memperoleh nikmat akan menghantarkan hamba menjadi kufur nikmat. Dalam hadis Qudsi Allah jelaskan secara jelas bahwa : “Aku bersama prasangka hambaku dan Aku akan selalu bersamanya. Selama dia mengingat-Ku, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dengan begitu banyaknya, maka Aku akan mengingatnya lebih banyak darinya. Dan apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari” ( Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi ).
Dari ayat dan hadis di atas, terlihat jelas perbedaan substansial yang demikian nyata antara “diperjalankan” dan “minta dijalankan”. Bila “diperjalankan” karena kualitas hamba yang mampu membangun peradaban tanpa harus membawa “tas berisi”. Sementara jika “minta dijalankan” karena dukungan komunitas pembawa “tas berisi” yang acapkali tanpa kualitas dan hanya merusak peradaban. Sungguh demikian nyata ayat Allah menjelaskan semuanya.
Kedua, Peristiwa dibersihkan hati Rasulullah oleh Malaikat Jibril merupakan perlambang pada manusia untuk membersihkan hati sebelum menuju Yang Maha Suci. Sebab, menuju Yang Maha Suci hanya bisa dirasakan bagi hamba yang mampu mensucikan dirinya, baik jasmani maupun (terutama) rohani. Hal ini merupakan sesuatu yang disenangi oleh Allah. Untuk itu, Allah berfirman : “… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah : 222). Sementara manusia akhir zaman justeru memilih mengotori diri dengan menjual agama, “menginjak” ajaran agama, dan menjadikan agama sebagai hiasan atau topeng semata. Hal ini yang dikhawatirkan Ibnu Rusyd, bahwa : “sampai masanya manusia menjadikan agama sebagai bisnis yang menguntungkan. Ia jual agama (dengan berbagai variasinya) pada orang awam. Melalui upaya ini, ia akan mampu mempengaruhi dan menguasai orang-orang awam dengan membungkus kejahatan melalui kemasan agama”. Pesan seorang filosuf dan sufi yang melampaui zamannya dan terjadi di akhir zaman.
Ketiga, Perjalanan isra’ mi’raj lambang proses menuju Allah. Perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa merupakan lambang mengawali perjalanan menuju Allah berawal dari tempat yang suci menuju tempat yang suci. Kesucian diri yang mengangkat derajat hamba menuju tempat yang tinggi (sidratil muntaha) menemui Yang Maha Suci.
Secara zahir, jarak Mekah dan Palestina demikian jauh (1.500 km / 40 hari naik unta). Banyak energi, biaya, cobaan, dan waktu untuk sampai ke tujuan. Simbol perjalanan menuju kebaikan secara lahiriyah memerlukan energi, biaya, cobaan, dan waktu. Untuk itu, diperlukan keyakinan, istiqomah, proses waktu yang panjang, dan kesabaran untuk sampai ketingkat kerinduan pada Allah. Meski pada hamba tertentu ada yang hanya memerlukan waktu singkat tatkala Allah berkehendak memberikannya hidayah. Sementara ada segelintir manusia yang ingin melakukan jalan pintas untuk memperoleh predikat taqwa di mata manusia, namun hampa dihadapan Allah.
Keempat, Derajat mulia tanpa publikasi yang gegap gempita dan dipaksakan. Ketika di langit pertama bertemu dengan nabi Adam dan seluruh malaikat shalat bersama Rasulullah. Ketika itu, justeru Rasulullah diminta menjadi imam. Posisi yang didasarkan pada kemuliaan, bukan senioritas. Hal ini terjadi dikeheningan malam yang mengangkat derajat hamba dengan izin Allah semata. Derajat oleh kualitas bukan disebabkan “tumpukan kertas perjanjian” atau kuantitas yang bisa dibeli.
Kelima, Kemuliaan yang dianugerahkan Allah. Ketika Allah memperlihatkan kemuliaan yang dianugerahkan, sementara manusia acapkali memilih membeli anugerah untuk dimuliakan. Walhasil, apa yang dikhawatirkan Rasulullah justeru yang dipilih. Akibatnya, sabda Rasulullah seakan dinafikan. Padahal demikian jelas sabda Nabi SAW : “Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat” (HR. Bukhari).
Tatkala kemuliaan karena kualitas seorang hamba yang tunduk pada Allah, maka keselamatan dan kemuliaan akan diperoleh. Namun, bila kemuliaan dipaksa dengan menghalalkan segala cara, maka kemuliaan manipulatif akan berbuah kehinaan dan petaka pada akhirnya.
Keenam, Potret kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka sebagai bentuk cinta Allah pada umat Muhammad. Video balasan Allah atas semua amal perbuatan manusia untuk menjadi pilihan setiap hamba. Potret surga yang membangun kerinduan mengharap nikmat-Nya yang tiada tara dan siksa neraka yang menyurutkan langkah dengan kepedihan yang nyata. Namun, anehnya manusia hanya dibibir berharap surga, tapi pada hati dan perbuatannya merindukan neraka. Sungguh aneh manusia yang berprilaku seakan menantang azab Allah dan menolak kasih sayang-Nya. Makanan surga memang diinginkan, tapi hidangan neraka yang dipilih untuk disantap lahap dan dimakan. Indikasinya demikian jelas sebagai warna realitas kehidupan. Mencari aib sesama menjadi profesi, KKN menjadi tradisi, bermulut manis sebagai upaya menutupi kelemahan diri, menyombongkan diri melalui berbagai publikasi, dan berbagai varian lainnya.
Ketujuh, Kepedulian Rasulullah menerima nasehat nabi Musa menjadi lambang sosok adab Rasulullah yang mau menerima nasehat kebenaran. Meski nasehat yang hadir dari kualitas seorang nabi yang berada di bawahnya. Rasulullah melihat isi nasehat, bukan siapa yang memberi nasehat. Hal ini dinukilkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib :“Perhatikanlah terhadap apa yang dikatakan, jangan memperhatikan siapa yang berkata”. Nukilan untuk menggambarkan akhlak Rasulullah yang mau mendengar nasehat kebenaran. Sementara manusia modern justeru memilih“memperhatikan siapa yang berkata, bukan memperhatikan apa yang dikatakan’. Akibatnya, manusia akhir zaman hanya mau mendengar nasehat penuh kepentingan dan kemunafikan. Bila ada maksud, perhatian hanya pada pemilik kuasa meski yang dikatakan tak ada manfaatnya. Jika maksud yang diinginkan tak diperoleh atau pemilik kuasa telah runtuh, perhatian berubah menjadi celaan dan makian, seiring pujian pindah pada pemilik kuasa selanjutnya.
Kedelapan, Keistimewaan umat nabi Muhammad bisa melakukan isra’ mi’raj setiap waktu melalui ibadah shalat. Perintah shalat yang dijemput langsung oleh Rasulullah sebagai inti isra’ mi’raj merupakan tangga bagi hamba menuju “bertemu” dengan Allah. Bila shalat mampu menjadi jembatan dialog hamba pada Khaliq, maka akan terbangun dan terpancar totalitas karakter yang mulia. Hadir kesadaran pengharapan memperoleh cinta-Nya, muncul kerinduan berdialog dengan-Nya, tumbuh kenikmatan bersama-Nya, kokoh pengharapan hanya pada-Nya, dan bercermin wujud akhlak pada Rasulullah yang dimuliakan-Nya. Tak tersisa keraguan pada Rahman dan Rahim-Nya, serta pengakuan atas la haula wa la quwwata illa billah.
Kesembilan, Kebenaran hanya bisa diterima pemilik kebenaran (Sayyidina Abu Bakar as-Shidiq) dan tidak mungkin kebenaran bisa diterima pemilik kesesatan (Abu Jahal dan Abu Lahab). Demikian kehidupan dunia antara fujur dan taqwa. Prilaku fujur acapkali mendominasi, berdiri tegak, dan dilindungi. Sementara prilaku taqwa menjadi objek yang selalu dicurigai dan dianggap penghalang. Pemilik sifat fujur hanya bisa mengolok-olok dan berlindung dengan “kekuatan” untuk menutupi kejahilannya dengan skenario dan sandiwara yang dipentaskan. Demikian rapi “dalang” mensutradai dagelan agar terlihat benar. Lidahnya menari-nari memutar kata palsu. Namun di mata Allah, semua tipu daya yang dipertontonkan tak akan berhasil untuk dikelabui. Semua tipu muslihat begitu nyata terlihat, bagai mudahnya melihat beda antara minyak dan air dalam sebuah bejana.
Sungguh, monentum isra’ dan mi’raj merupakan petunjuk cara hamba menuju Khaliq , terutama bila munajat dilakukan dikeheningan malam. Bagaikan perjalanan isra’ dan mi’raj baginda Rasulullah, di keheningan malam meletakkan diri sebagai hamba yang hina dihadapan Allah Yang Maha Agung. Menempa hati merasakan getaran yang bersimpuh kerinduan pada-Nya. Mensucikan fikiran untuk memikirkan kebesaran-Nya. Demikian Rahman dan Rahim-Nya memuliakan baginda Rasulullah untuk menjadi tauladan bagi semesta. Berkat syafa’at Rasulullah, semua tercurah pada ummatnya. Umat yang mentauladani Rasulullah, mengikuti ajaran yang dibawanya, menjadikan shalat untuk mi’raj hamba yang merindukan nikmatinya komunikasi dan mengagungkan kebesaran Sang Khaliq.
Bila sekembalinya Rasulullah melakukan perjalanan isra’ mi’raj, kebenaran peristiwa ini direspon pada 2 (dua) bentuk, yaitu : Pertama, sebagai perjalanan yang benar. Respon ini diawali oleh Sayyidina Abu Bakar as-Shidiq. Kedua, sebagai perjalanan yang ditolak dan mustahil. Respon ini dikomandoi oleh Abu Lahab dan Abu Jahal. Namun era modern muncul fonemona respon ke-3 (ketiga), yaitu menerima peristiwa Isra’ mi’raj bahkan memperingatinya dengan gegap gempita, namun pada implementasi justeru meninggalkan tujuan isra’ dan mi’raj dalam realita kehidupan. Seakan isra’ dan mi’raj hanya sebuah cerita dan rutinitas tahunan yang tak memberi pengaruh apa-apa. Indikasi fenomena ini mudah terlihat. Peringatan isra’ dan mi’raj dilakukan, namun bagaikan air di daun talas yang tak memberi bekas sedikit jua. Bahkan, anehnya kerinduan pada nikmat surga dan ketakutan pada siksa neraka yang dikhabarkan oleh Rasulullah melalui peristiwa isra’ dan mi’raj, seakan berubah pada “kerinduan pada siksa neraka dan ketakutan mendapatkan surga”. Fenomena keanehan prilaku manusia atau manusia telah berubah menjadi makhkuk aneh yang semakin kentara. Na’uzubillah tsumma na’uzubillah.
Sungguh, bila manusia dianalogikan sebuah handphone, ada waktunya perlu penambahan batree. Rangkaian peringatan perjalanan isra’ mi’raj merupakan peristiwa yang “menyentak” guna mengisi bateree dan mengembalikan kompas manusia pada keimanan yang hakiki. Idealnya, setelah batree diisi, komunikasi vertikal dan horizontal bisa dilakukan. Jangan sampai setelah batree diisi tapi tak ada tanda-tanda terjadi penambahan daya. Bila hal ini terjadi, berarti batree iman telah mengalami kerusakan. Kembalikan diri pada kompas kehidupan untuk memperbaiki batree diri agar kembali memiliki daya keimanan. Bila hal ini dimiliki, maka komunikasi bisa kembali dilakukan. Peliharalah diri agar batree keimanan jangan sampai kosong dan soak. Caranya, senantiasa melakukan perjalanan isra’ mi’raj melalui shalat yang memperkokoh keimanan dan membekaskan bukti shalat (keshalehan vertikal dan horizontal) dalam kehidupan. Bila hal ini tidak dilakukan, maka berakibat batree keimanan mengalami kerusakan dan kompas kehidupan kehilangan fungsinya. Tentu semua tergantung pada pilihan setiap diri setelah Allah memperlihatkan ayat-ayat-Nya sedemikian jelas dan nyata.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 13 Pebruari 2023