Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pohon merupakan salah satu makhluk hidup yang merasa-kan sebagaimana apa yang dirasakan setiap manusia. Meski pohon membantu mengurai karbondioksida (C0²) dan memberikan oksigen (O²) untuk kelangsungan manusia, memberikan buah yang dihasilkannya, menghisap air agar tak terjadi banjir, menjadi bahan bakar untuk memasak makanan, tempat berteduh, dan kebermanfaatan lainnya, namun acapkali manusia berbuat zalim terhadap pohon. Hanya didorong kepentingan pribadi dan ekonomi, keindahan dan kehidupan pohon (derita) tak lagi diperhatikan. Apatahlagi ketika semarak musim publikasi politik dan sosialisasi sektor ekonomi yang dilakukan segelintir manusia. Tak sedikit pohon menjerit atas penderitaan yang menimpanya. Di antara penderitaan tersebut tatkala segelintir manusia menjadikan pohon sebagai “media gratis” untuk mempublikasikan diri dan meraih peluang ekonomi. Akibatnya, pohon “memikul derita” atas ulah segelintir oknum manusia berperadaban rendah. Tak sedikit pohon yang menderita, bercucuran darahnya (getah) yang keluar, membusuk bekas tusukan, berguguran daunnya, dan mati.
Ada beberapa bentuk derita dan jeritan pohon yang disebab-kan ulah segelintirnmanusia untuk mempublikasikan kepen-tingan dirinya, namun tak banyak yang peduli dan memberi-kan reaksi, antara lain :
Pertama, Bentuk publikasi yang tak memperdulikan derita dan secara sengaja menyakiti pohon akan memberi peluang mengecewakan atau menyakiti makhluk hidup lainnya (termasuk manusia). Banyak pohon yang dipaku (tanpa peduli jeritan pohon) yang dilakukan manusia untuk mempublikasi kepentingannya. Perilaku seperti ini berpotensi terjadinya kerusakan tatanan lingkungan. Sebab, tak sedikit pohon yang mati karena kesakitan yang berulang. Padahal, perilaku ini dilarang dalam agama (Islam). Hal ini merujuk pada firman-Nya :“Dan jangan-lah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.an) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan” (QS. al-A’raf : 56).
Dalam logika sederhana, terhadap pohon yang telah memberikan sejuta kebaikan justeru disakiti. Pohon tak pernah menyakiti dan berbuat salah, namun acapkali diperlakukan seakan bersalah dan seenaknya dianiaya. Apatahlagi terhadap sesama yang menyakiti dan berbuat salah padanya. Sementara pelaku aniaya terhadap pohon tak pernah merasa bersalah, mengaku salah, dan dianggap salah. Semua terjadi seakan tanpa beban yang berarti dan dianggap bukan masalah yang patut dibesar-besarkan. Padahal, andai pohon bisa berbicara, maka akan terdengar teriakan sakit yang diderita akibat ulah oknum manusia yang menderanya dengan zalim.
Kedua, Merusak keindahan. Tata ruang lingkungan menjadi berantakan. Tumpukan sampah tak bisa dihindarkan. Bahkan, adakalanya iklan yang dipublikasi ikut berkontribusi membahayakan pengguna jalan. Tatkala publikasi telah dipasang dan tujuan telah selesai, tak jarang (hampir semua) publikasi tak pernah dibersihkan kembali, apatahlagi diperbaiki. Semua “masa bodoh” atas apa yang dilakukan. Padahal, perilaku yang ditunjukkan telah merusak tatanan keindahan lingkungan. Sikap kerusakan seperti ini telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum : 41).
Meski demikian jelas ayat dinyatakan dan menjadi peman-dangan rutin, namun manusia seakan “hilang ingatan” dan tak peduli atas kerusakan yang terjadi. Semua sibuk bereuforia, tapi tanpa karya dan manfaat. Hasrat mencari keuntungan dengan biaya murah lebih mendominasi hadirnya ketidakperdulian. Mereka tak perduli dampak atas lingkungan yang ditimbulkan atas perbuatannya.
Ketiga, Membahayakan keselamatan sesama tanpa rasa tanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan. Acapkali publikasi yang ditempel pada pohon dan/atau fasilitas umum berpotensi mengakibatkan bahaya bagi pengguna fasilitas umum yang lainnya. Mulai media yang digunakan untuk menempelkan publikasi yang terbuat dari bahan yang membahayakan sampai tata letak yang acapkali ikut meng-halangi pandangan pengguna fasilitas umum lainnya. Akibatnya, beberapa kasus akibat publikasi yang membahayakan dan menjadi penyebab terjadi kecelakaan menimpa pengguna fasilitas umum. Padahal, Rasulullah SAW telah melarang perbuatan yang demikian. Rasulullah bersabda : “Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan al-Khudri RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Tidak boleh melakukan perbuat-an (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“ (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni).
Hadis di atas bersifat umum, yaitu semua perbuatan yang menyebabkan timbulnya mudharat bagi sesama. Demikian halnya publikasi yang tak memikirkan keselamatan sesama dan alam semesta. Seharusnya, tugas kekhalifahan yang diemban menjadikan manusia peduli pada lingkungan dan semua makhluk. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : “Aku melihat seorang lelaki yang bolak-balik di dalam surga diakibatkan dia memotong sebuah pohon di jalan yang banyak mengganggu kaum muslimin” (HR. Muslim).
Demikian jelas sabda Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berbuat baik dan menjaga keselamatan sesama. Manusia seperti ini ditunggu surga untuk dijadikan penghuni-nya. Namun, acapkali ajakan Rasulullah justeru dilakukan umat dengan tindakan sebaliknya. Meraih keuntungan dengan merusak alam dan menimbulkan mudharat bagi sesama. Andai ketika asa memperoleh tujuan dilakukan dengan kezhaliman, maka hasil yang diperoleh merupakan buah dari kezhaliman pula.
Keempat, Pelanggaran rutin setiap pentas politik dan upaya publikasi ekonomi yang merusak pepohonan (makhluk hidup), namun semua tanpa perubahan kesadaran dan penindakan hukum yang terukur. Semua terjadi berulangkali, tanpa kesadaran dan keinginan untuk memperbaikinya. Apatahlagi publikasi yang dilakukan tanpa kontrol (pemeliharaan) dan tanggungjawab atas kemungkinan terjadi kerusakan alam dan dapat membahayakan orang lain. Sebab, dampak publikasi model ini acapkali berdampak kerusakan makhluk hidup (pohon), merusak tata keindahan, dan penumpukan sampah pasca “tercapainya tujuan”. Semua acapkali terbiar menjadi pemandangan yang lumrah dan dianggap wajar. Padahal, segelintirnya ada yang menyebabkan terjadinya “petaka” bagi orang lain.
Kelima, Indikasi pelanggaran sebelum menjaga dan mengawal pelanggaran atau meraih keuntungan ekonomi dengan merugikan orang lain atas akibat yabg ditimbulkan. Bila hal ini terjadi, apa yang diharapkan atas penegakan hukum yang ada, perbaikan sektor ekonomi yang dilakukan, atau upaya menjaga keselamatan alam semesta.
Keberpihakan terhadap lingkungan mutlak menjadi tanggung-jawab bersama. Ketidakberpihakan terhadap lingkungan justru merupakan indikasi ketidakberpihakan (kelak) pada sesama. Sebab, andai semua pohon sepakat melakukan protes atau demonstrasi terhadap ulah manusia yang membuatnya menderita, maka dampaknya akan menimpa semua makhluk di muka bumi. Andai semua pohon sepakat tak lagi mensuplai oksigen (O²), maka semua makhluk akan mati. Andai semua pohon sepakat tak lagi berbuah, semua makhluk akan menderita. Andai semua pohon sepakat meng-gugurkan daunnya, maka tak ada tempat untuk berlindung dari sengatan panas matahari. Andai semua pohon sepakat tak lagi menyerap air, maka bumi akan tenggelam.
Sungguh, amanah yang Allah titipkan pada manusia sebagai khalifah fi al-ardh merupakan tugas yang berat. Setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diamanahkan. Bila berhasil melaksanakan amanah sesuai aturan Allah, maka selamatlah diri dan semua yang diamanahkan. Akan tetapi, bila salah dan khianat dalam melaksanakan amanah, maka akan hancurlah diri dan semua yang diamanahkan. Untuk itu, Allah telah meng-ingatkan manusia melalui firman-Nya :“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Duhai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemim-pin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar” (QS. al-Ahzab : 66-68).
Begitu jelas ayat Allah, namun masih menyisakan manusia yang bersikap menantang dan mendustakan ayat Allah. Sikap kesombongan manusia seperti ini acapkali melampaui prilaku kesombongan yang pernah dilakukan iblis.
Derita pohon dalam konteks luas juga terjadi tatkala musim kemarau tiba. Kebakaran hutan menjadi fenomena rutin terjadi. Meski ada unsur ketidaksengajaan, namun tak sedikit yang terjadi secara sengaja. Meski terdapat rakyat kecil yang melakukannya, namun tak sedikit pemilik modal besar yang memfasilitasi dan mengeruk keuntungan. Semakin luas derita pohon yang berdampak pada derita semua makhluk alam semesta (manusia dan hewan).
Derita pohon atas perilaku manusia yang egois untuk mem-publikasikan diri dan meraih keuntungan ekonomi, menanda-kan pemilik peradaban rendah. Hal ini menunjukkan upaya instan untuk mengeruk keuntungan dengan biaya murah. Ia tak peduli atas dampak kemudharatan yang ditimbulkan.
Baginya, semua dilakukan hanya untuk meraih keuntungan pribadi semata. Sementara, bagi pemilik peradaban tinggi, upaya untuk mempublikasikan diri dilakukan dengan kesantunan dan dibangun melalui proses panjang. Ia dikenal bukan melalui publikasi instan, tapi interaksi kemanusiaan yang menyebarkan kabajikan. Ia bangun kepercayaan masyarakat dengan kualitas diri yang mengayomi (bukan sebatas janji) dan prilaku yang bijaksana. Ia tak pernah menonjolkan diri dengan “jualan murahan”, tapi ia dihadirkan dan ditonjolkan oleh masyarakat atas kualitas kepribadian yang dimiliki. Ia berbuat kebaikan sebagai wujud melaksana-kan amanah yang diberikan Allah padanya, bukan untuk maksud terselubung penuh tipuan. Sikap ini merujuk pada hadis Rasulullah : Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidak-kah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat). Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau (Rasulullah) menepuk bahuku dengan tangan.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan). Padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia akan memperoleh kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak (sesuai aturan *pen) dan melaksanakan tugas dengan benar” (HR. Muslim).
Meski hadis di atas berkaitan pada jabatan, namun berlaku pada aspek yang luas, termasuk sektor publikasi diri dan ekonomi. Bila dilakukan dengan cara yang baik tanpa menzhalimi sesama, maka akan baik hasil amanah yang dipikul. Namun, tatkala dilaku-kan dengan cara yang batil dan menimbulkan mudharat bagi sesama, maka berarti tak mampu memikul amanah sebagai khalifah di muka bumi. Semua prilaku pasti akan diminta pertanggungjawabannya kelak dihadapan Allah. Meski di dunia bisa selamat atas kezhaliman yang dilakukan dengan membutakan hati, akal, bahkan hukum, namun semua tak akan mengalpakan pengawasan Allah Yang Maha Melihat.
Fenomena perilaku manusia selalu berulang sepanjang sejarah. Bagaimana kadigjayaan dan kemuliaan Fir’aun yang dipuja dan ditakuti ternyata hancur pada waktunya. Tersisa sejarah kelam yang akan dikenang menjijikan sepanjang zaman. Berbeda dengan sejarah para nabi dan Rasul yang membangun peradaban dengan kemuliaan. Sejarah akan mencatat kemuliaannya dan selalu dikenang sepanjang masa sebagai penyelamat alam semesta. Untuk itu, jangan menjual keselamatan makhluk bumi untuk kepentingan pribadi atau komunitas terbatas. Seyogyanya, jadilah diri untuk tampil sebagai penyelamat seluruh ciptaan-Nya.
Semua pilihan tergantung pada kualitas setiap manusia. Pilihan bijak menghasilkan kebijaksanaan. Sementara, pilihan salah akan menciptakan kesalahan dalam berbagai variannya. Namun, setiap pilihan pasti akan diminta pertang-gungjawaban atas pilihan yang diambil. Sebab, demikian banyak ayat-Nya telah disampaikan pada manusia sebagai dasar menentukan pilihan bijak. Untuk itu, “jangan melihat apa yang terjadi, tapi bagaimana menyikapi yang terjadi sebagai ayat Ilahi untuk memperbaiki diri”. Semoga derita pohon tak lagi diperpanjang dengan jeritan pilu menanggung sakit yang menimpanya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 20 Nopember 2023