Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Tanaman kacang panjang (vigna sinensis) merupakan salah satu tanaman yang sangat familiar dan mudah dikenali. Buahnya berwana hijau dan memanjang dengan polong-polong biji di dalamnya. Kacang panjang dan daunnya (lembayung) dapat dikonsumsi sebagai bahan makanan yang di masak menjadi sayur atau lalapan. Ia merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang populer dalam kuliner pada masyarakat Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dengan ciri khasnya sebagai tanaman yang hidup merambat atau melilit, tanaman kacang panjang memerlukan media untuk bisa memanjat. Ia merambat sesuai pola media yang ada di sekitarnya. Bila media bercabang, maka ia akan ikuti lilitan sesuai cabang media yang ada. Meski ia sesuaikan rambatannya sesuai media rambatan, namun ia hasilkan buah kacang panjang yang menjulur ke bawah. Demikian sifat tanaman kacang panjang, ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil bagi manusia menjalankan fungsinya di muka bumi. Pelajaran yang bisa diambil antara lain :
Pertama, Beradaptasi dengan lingkungan. Meski awalnya tanaman kacang panjang berasal dari India dan Afrika, namun tanaman ini mudah beradaptasi dan tumbuh subur di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Demikian manusia yang berakal seyogyanya mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian terhadap kondisi, adat, budaya, dan cara pandang yang dianut komunitas masyarakat, baik pada wilayah sempit (tempat tinggal) maupun wilayah yang lebih luas (negara). Manusia yang bijak beradaptasi akan peka dan menghargai komunitas lingkungannya. Keberhasilannya beradaptasi akan berpengaruh terhadap eksistensinya pada sebuah komunitas. Ia akan dihargai, dihormati, dilindungi, dan lain-nya. Namun, bila manusia gagal beradaptasi, maka lingkung-an akan mengucilkan dan menjauhinya. Hal ini sesuai pepatah Melayu “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Kearifan lokal yang menghadirkan sikap berkepatutan.
Kedua, Hidup memberi manfaat pada manusia dan lingkungan. Tanaman ini bukan saja bermanfaat bagi manusia, tapi juga bagi tumbuhan lain yang ada disekitarnya. Bila untuk manusia, ia suguhkan buahnya yang mengandung gizi yang baik (protein, kalori, vitamin A dan vitamin B), serta mengkonsumsi daunnya dapat memperbanyak ASI. Sedang-kan bagi lingkungan sekitarnya dapat memanfaatkan nitrogen alami yang berasal dari bintil-bintil akarnya, memutus siklus hama penyakit, dan meningkatkan kesubur-an tanah. Kearifan kacang panjang dengan memberi manfaat mengimplementasikan firman Allah : “Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu (akan) kembali kepada dirimu sendiri” (QS. al-Isra’ : 7).
Kebaikan yang diberikan tanaman kacang panjang mengingatkan manusia terhadap sabda Rasulullah : “Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. al-Qadlaa’iy dan ath-Thabraniy).
Demikian seyogyanya manusia. Senantisa memberi manfaat pada seluruh isi alam, bukan menyebar mudharat bagi isi alam semesta. Ketika ia dipupuk, maka ia hasilkan buah yang lebat. Bila ia diterlantarkan, maka ia hasilkan buah yang terbatas, bahkan bisa membuatnya mati. Demikian sifat manusia. Bila ia dipupuk dengan komunikasi dan kebijak-sanaan, maka akan tumbuh saling menghargai. Ketika sisi kemanusiaannya disentuh dengan kesantunan, maka muncul kebajikan yang diberikan. Jangan sampai manusia justeru kalah dibanding kacang panjang dalam memberi manfaat. Dengan akal dan kesempurnaan potensi yang dimiliki justeru membuat kesengsaraan dan menyuburkan rasa kebencian.
Ketiga, Merambat sesuai kondisi media yang ada disekeliling-nya. Pola ini menghantarkan tanaman panjang memiliki kearifan dan menghargai yang ada disekitarnya. Bila media sekirarnya tinggi, maka ia akan menjalar tinggi. Sementara bila media sekitarnya rendah, maka ia akan menjalar rendah. Sebuah sifat hidup yang “berpatutan” dan mengedepankan kearifan sesuai tumbuhan sekitarnya. Ia mengikuti media sekitarnya secara bijak, tanpa melukai perasaan sesama, terutama disekitarnya. Allah berfirman : “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (QS. al-Furqan : 63).
Demikian Allah berfirman pada ayat yang lain : “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir” (QS. al-Baqarah : 264).
Penegasan larangan riya’ pada ayat di atas, menurut Imam Nawawi sebagai dasar pengharaman riya’ yang dimunculkan dalam berbagai varian publikasi. Semua yang dilakukan semata untuk memperoleh pujian, sanjungan, ketenaran, pengakuan atas apa yang dimiliki atau dilakukan, dan lain sebagainya. Sifat riya’ yang ditampilkan akan menghilang-kan sifat empati dan sikap “berpatutan” (sesuai atau selaras) pada kondisi sesama disekitarnya.
Secara bahasa, empati adalah sebuah keadaan mental seseorang atas pikiran, perasaan, atau keadaan yang sama dengan orang lain. Namun, fenomena ini justeru telah tercerabut pada kehidupan era digital, seiring tumbuh subur sifat riya’ yang semakin “menjulang” tinggi. Trend riya’ yang dipublikasi di media sosial seakan telah mengikis habis sifat empati dan kearifan lokal yang berpatutan. Pola pamer yang dilakukan diri dan keluarga seakan ingin menunjukkan “kejahilan” yang nyata. Demikian Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar” (QS. al-Anfal : 28).
Trend riya’ dalam bentuk flexing style yang diunggah di media sosial seakan menjadi trendy komunitas masyarakat berperadaban rendah untuk menunjukkan status sosial dirinya. Berbagai kegiatan dipamerkan untuk memperlihat-kan harta, pencapaian prestssi, dan berbagai hal lainnya kepada orang lain. Flexing style biasanya dilakukan oleh orang yang mengharapkan agar dirinya dianggap hebat, sukses, dan digjaya. Gaya glamour dipertontonkan, mulai pamer kekayaan, pamer prestasi, pamer kedudukan, pamer pelesiran, pamer barang branded, sampai pamer kehidupan anggota keluarga berpola hidup mewah (hedonism). Tampilan riya’ yang membuat manusia termotivasi untuk mencari materi dan status –dengan segala cara dan menabrak hukum– untuk menyombongkan diri.
Ada 2 (dua) bentuk flexing style era digital, yaitu : (1). Flexing semu. Gaya ini dilakukan dengan memanfaatkan milik orang lain seakan miliknya. Menampilkan kemewahan harta, kendaraan, sampai pakaian. Namun, semua yang ditampilkan pada umumnya bukan miliknya, tapi milik orang lain. Semua dilakukan untuk mengangkat statusnya seakan sosok yang hebat. (2). Flexing nyata. Gaya ini dilakukan untuk menampilkan status sosialnya dengan menggunakan semua harta dan apa yang dimiliki. Gaya hidup mewah ditampilkan untuk menunjuk kekayaan yang dimiliki. Bahkan, dalam beribadah (vertikal dan horizontal) terkadang ikut dipublikasikan agar dinilai pemilik keshalehan.
Kedua jenis riya’ era digital di atas merupakan bentuk prilaku manusia yang berperadaban rendah (low civilization). Menampilkan kekayaan dan apa yang dimiliki dengan kehidupan glamour seiring pertanda rendahnya empatinya sebagai manusia terhadap sesama. Di tengah masyarakat sekelilingnya sedang menderita atas situasi yang terjadi, fenomena riya’ yang dilakukan segelintir manusia telah melukai dimensi kepatutan komunitas mayoritas lainnya. Apalagi bila flexing yang dipublikasikan bertujuan untuk menyombongkan diri, menunjukkan derajatnya, atau “menipu” orang lain agar terobsesi dan terpengaruh padanya. Berbagai kasus belakangan ini hanya “sedang apes” belaka. Sebab, semua merupakan praktek “tradisi lama” yang telah menjadi “rahasia umum”. Bahkan, terkadang gaya mewah yang ditampilkan ternyata merupakan kekayaan yang berasal dari “perampokan dan penipuan” yang melanggar hukum dan merugikan orang lain.
Apa yang terjadi belakangan ini atas oknum tertentu hanya bak “bola salju”. Bila ditelusuri secara berkeadilan dan serius dengan hukum obyektif, maka gelindingannya akan menghasilkan bola salju yang semakin besar. Meski akan membuka medan area yang membesar aib “kawah gunung merapi” yang menyakitkan, tapi apa yang dilakukan akan membersihkan dan menyehatkan peradaban untuk menjadi lebih baik. Tergantung karakter dan keinginan “bersama” untuk melaku-kan penyelesaian atas kasus yang muncul kepermukaan. Bila penyelesaian dilakukan pemilik karakter mulia, maka gelindingan bola salju akan terus dilakukan, hingga “duri” yang mengotori jalan dapat dibersihkan. Namun, bila penyelesaian dilakukan pemilik karakter yang sama dengan pelaku kasus yang terjadi (karakter hina), maka “bola salju” yang –lagi apes– muncul hanya akan sebatas menjadi “kambing hitam” atau borok “dipeti eskan” agar tak menyeret gumpalan bola salju yang jauh lebih besar.
Meski mengggunakan kekayaan dan apa yang dimiliki dapat dibenarkan, namun prilaku “kepatutan” (kearifan lokal) perlu dikedepankan. Sikap hidup “berpatutan” dengan berempati pada sesama seyogyanya lebih dikedepankan. Dengan sikap hidup “berpatutan” akan muncul pola hidup tawadhu’ dan sederhana ala kacang panjang yang menjalar sesuai media sekitarnya, dan tidak melukai sesama yang sedang menderita atau dalam keadaan yang memprihatinkan.
Sungguh, prilaku pamer (riya’) –bahkan berlebihan- di era flexing style yang dipertontonkan di dunia maya sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Baginda bersabda : “Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian” (HR. Mutafaq ‘Alaih).
Meski demikian jelas hadis di atas, namun nafsu untuk memamerkan diri ternyata lebih dominan menguasai manusia. Sebuah tontonan pencitraan pemilik peradaban rendahan. Akibatnya, pedoman agama sebatas identitas, aturan sebatas tulisan, dan ilmu pengetahuan hanya sebatas asesoris belaka. Dominasi ingin dipuja dan dihormati sebagai orang kaya, hebat, pintar, kuat, bahkan keshalehan-nya. Semua ternyata telah menyingkirkan ajaran agama dan nilai-nilai kepatutan. Sungguh, kacang panjang lebih bijak memilih hidup “berpatutan” ketimbang manusia. Ketika kacang panjang menyesuai lilitan untuk merambat sesuai media sekitarnya, namun manusia memilih lilitan untuk merambat melampaui media sekitarnya agar terlihat lebih hebat. Ketika kacang panjang menampilkan kearifan lokal yang berkepatutan, sementara manusia tampil berlawanan dengan kearifan lokal disekitarnya. Tampilan mewah nan angkuh di tengah komunitas sekitarnya yang justeru sedang menderita. Tak peduli apakah makhkuk sekitarnya terlukai oleh perilakunya, semua tak pernah dihiraukan.
Keempat, Melilit media yang ada disekitarnya, tapi bukan menjadi parasit. Lilitan pohon kacang panjang pada media sekitarnya merupakan bentuk “ketergantungan dengan sesama”. Ia tak membunuh media yang dililit untuk menjalar. Bahkan, ia beri manfaat dengan memutus siklus perkembangan hama dan penyakit, serta meningkatkan kesuburan tanah. Demikian tanaman kacang panjang mempraktekan hidup saling memberi manfaat pada lingkungan sekitarnya (simbiosis mutualism). Manusia seyogyanya meniru kacang panjang. Sebagai makhluk sosial yang saling “tepa selera”. Namun prakteknya seakan tak perlu dengan sesama. Andai berinteraksi acapkali penuh kepentingan. Bagai parasit menghisap yang diinginkan. Bila tak ada yang diharapkan, ia menyingkir mencari tempat singgah lain yang menguntungkan.
Kelima, Berbuah menjulur ke bawah. Ia hadir untuk memberi manfaat dengan menjulur ke bawah agar mudah diambil dan dimanfaatkan manusia. Buahnya menjulur ke bawah mengisyaratkan sifat tak lupa asal kehidupan yang membuat akarnya kokoh menyalurkan nutrisi keseluruh batangnya untuk menghasilkan buah yang enak. Simbol tanaman kacang panjang ingin berterimakasih pada tanah yang mem-beri kesempatan padanya untuk tumbuh dan berbuah. Prilaku kacang panjang mengimplementasikan firman Allah : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik” (QS. al-Hasyr : 19).
Ayat di atas mengingatkan agar manusia senantiasa melaksanakan perintah-Nya dan jangan tenggelam dalam kemaksiatan karena tergiur kelezatan dunia. Sebab, tatkala manusia lupa pada Allah, maka ia akan lupa terhadap kemaslahatannya sendiri. Kondisi yang demikian seakan sulit dihentikan, sampai Allah mengambil nyawanya. Demi-kian hina dan meruginya diri.
Begitu indah Allah ingatkan manusia melalui tanaman kacang panjang. Pelajaran dari tanaman yang demikian dekat dan familiar. Namun, apa yang dibentangkan Allah acapkali tak diperhatikan. Wajar tatkala Allah mengulang sebanyak 31 kali firman-Nya dalam QS. ar-Rahman :“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”. Sementara sebagian oknum manusia justeru lupa oleh kesombongannya yang sibuk mempertontonkan kehebatan diri. Akibatnya, ia lupa pada Pemilik Yang Maha Pemberi. Demikian pula begitu jelas ketauladan Rasulullah hidup sederhana sebagai sikap berpatutan.
Meski demikian jelas ayat-Nya dan contoh kehidupan Rasulullah yang demikian sederhana, namun seakan tak dijadikan pedoman, bahkan bertolak belakang. Akibatnya, sikap manusia semakin tak terkendali. Kondisi ini berkorelasi semakin menipis sifat empati, rendah rasa syukur, hilang tawadhu’, sirna kejujuran, punah keadilan, hancur kebajikan, tak tersisa kebijakan. Sebaliknya, semakin tumbuh subur keangkuhan, kemunafikan, ketamakan, fitnah, kezaliman, antipati, ketidakadilan, dan varian sifat nista sejenisnya. Lalu, sudah saatnya bercermin (muhasabah) atas sifat dan prilaku setiap diri dengan membandingkan sifat kacang panjang dan fenomena manusia modern. Mumpung masih diberi Allah kesempatan untuk memperbaiki diri.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 20 Maret 2023