Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pinokio atau Pinocchio karya Carlo Collodi merupakan kisah fiksi edukatif. Sedangkan ilustrasi bentuk pinokio dibuat oleh Enrico Mazzanti tahun 1883. Ceritanya diawali sosok seorang tukang kayu bernama Geppeto yang hidup seorang diri di rumahnya yang sederhana. Suatu malam, ia bermimpi memiliki anak laki-laki yang akan menemaninya. Untuk itu, dengan keahliannya dan berbekal kayu pemberian tuan Cherry, ia membuat boneka kayu yang mirip manusia. Hasil karyanya terlihat begitu nyata. Boneka kayu tersebut diberi nama Pinokio. Melalui karyanya, ia berangan-angan andai boneka kayu pinokio hidup layaknya manusia, maka akan dijadikan sebagai anak angkatnya.
Keinginan kakek Geppeto didengar oleh peri biru. Lalu, ia memberikan kehidupan pada pinokio sesuai keinginannya. Namun, sebelum ia menghidupkan pinokio, terjadi “perjanjian” antara peri biru dan pinokio. Ia meminta agar Pinokio jujur dan tak boleh berbohong. Permintaan peri biru tersebut disanggupi oleh pinokio. Dengan janji yang diikrar-kannya, maka peri biru merubah boneka kayu pinokio bisa berbicara layaknya manusia. Proses tersebut terjadi tatkala Geppeto pulas tertidur. Ketika bangun tidur, ia dapati boneka kayu yang dibuatnya bisa berbicara layaknya manusia. Ia sangat senang dan bahagia. Sejak itu, hari-harinya tak lagi sepi dan keduanya selalu bersama. Namun seiring waktu, pinokio tampil sebagai boneka kayu yang nakal dan suka berbohong. Uniknya, setiap pinokio berbohong, hidungnya akan memanjang. Namun, ketika ia berkata dan berprilaku jujur, maka hidungnya akan kembali normal.
Setiap kali hidungnya memanjang, membuat Pinokio malu dan ketahuan berbohong. Tapi ia sulit untuk tidak ber-bohong. Kondisi ini dilakukannya dipengaruhi interaksi dilingkungannya. Menyadari prilaku negatif tersebut, Geppeto dengan sabar mendidik Pinokio agar jujur dan tidak berbohong. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil. Pinokio berubah menjadi anak yang baik, jujur, tulus, empati pada sesama, dan patuh pada orang tuanya (Geppeto).
Meski cerita pinokio sebatas kisah fiksi, sudah lama muncul, dan sangat familiar, namun hanya dikenal sebatas cerita lucu belaka. Padahal, apa yang diceritakan oleh pengarangnya mengandung nilai moral dan edukasi yang justeru luput pada tataran implementasi kehidupan manusia. Ada beberapa nilai yang dipetik dari cerita pinokio, antara lain :
Pertama, Pesan memiliki mimpi dan terus berkarya tanpa dibatasi usia. Sosok kakek Geppeto merupakan simbol kehidupan. Meski sudah tua, asanya untuk selalu berbuat baik (berkarya), berikhtiar, memiliki mimpi, dan upayanya menanamkan kejujuran pada pinokio layak ditiru. Namun, semua upaya yang dilakukan ada kalanya tak sesuai harapan. Paling tidak Geppeto sosok yang optimis dan senantiasa berbuat (berkarya). Meski, ia telah tua dan harapan di luar kebiasaan, tapi ia tetap berbuat, berkarya, dan menggantungkan harapan. Sementara tersisa segelintir manusia justeru hanya berharap tanpa pernah berbuat atau berbuat hanya untuk meraih tujuan yang tersembunyi. Penambahan usia tak menjadi contoh kebaikan bagi yang muda, tapi berkolaborasi memperparah apa yang ada.
Kedua, Pesan menepati janji, amanah, dan jujur. Meski pinokio telah berjanji dan menyanggupi permintaan peri biru agar tak berbohong, tapi janji tersebut dilanggarnya. Ternyata, Pinokio berjanji hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Setelah apa yang diinginkan tercapai, ia lupa pada janjinya. Demikian fenomena potensi yang terjadi manusia. Apa pun janji diucap dan disetujui. Tujuannya bukan pada janji, tapi meraih apa yang diinginkan. Bila hal ini yang mendominasi mindset diri, maka setelah apa yang diinginkan tercapai, janji hanyalah tinggal janji dan berakhir pada pengkhianatan. Pada tataran logika, sekte karakter pinokio sebenarnya telah berbohong sebelum ia berbohong. Kebohongan yang dilakukannya terbangun oleh pertemuan karakter diri dengan realita komunitas luar yang penuh tipu muslihat dalam meraih kesuksesan. Fenomena ini menarik minat pinokio untuk berprilaku hal yang sama. Pinokio mendapati hasil kebohongan ternyata mampu menutupi kesalahannya. Hanya saja, ia lupa dengan perjanjiannya dengan peri biru agar tidak berbohong. Demikian pula atas fenomena yang terjadi pada manusia yang lupa dan khianat atas perjanjiannya dengan Sang Penciptanya untuk meng-akui dan beribadah pada Allah (QS. al-A’raf : 172). Namun, nyatanya justeru mengingkari dan mendustakan-Nya.
Ketiga, Pesan ancaman (dampak) bila berbohong. Setiap pinokio berbohong, maka ditandai hidungnya yang meman-jang. Kondisi ini akan berubah kembali normal tatkala ia melakukan kejujuran. Meski apa yang terjadi begitu nyata, namun pinokio acapkali mengulanginya. Andai apa yang terjadi pada kodrat pinokio yang suka berbohong (hidungnya yang memanjang) terjadi dalam realita kehidupan manusia (dulu, sekarang, dan akan datang), maka pemilik kebohongan akan mudah terdeteksi. Perubahan fisik ketika hidungnya me-manjang setiap kali melakukan kebohongan. Kondisi per-ubahan ini akan berdampak positif ; (1) malu untuk berkata dan berprilaku dusta. (2) terbangun hidup penuh kejujuran. (3) mengurangi peran penegak hukum untuk mengurusi kebohongan yang berakibat pada berbagai pelanggaran. Bila manusia luput dari kebiasaan berbohong, maka peradaban dunia akan membawa kebaikan dan kedamaian.
Keempat, Pesan sifat kejujuran. Kejujuran menjadikan manusia sempurna dalam kodrat-Nya. Sementara prilaku bohong dan menciptakan kebohongan (hoax) merupakan prilaku yang menyalahi kodrat dan dibenci Allah dan Rasul-Nya. Bila kejujuran sirna, maka tumbuh pengkhianatan. Diawali prilaku menyebarkan hoax, membuat hoax (fitnah), dan bermuara perpecahan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu ; dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta” (QS. al-Baqarah : 10).
Kelima, Pesan penanaman nilai moral sejak dini. Kejahilan dan sifat bohong pinokio sejak kecil bisa dirubah dengan contoh konkrit dan ketauladanan yang umumnya dilihat di tengah komunitasnya. Pinokio malu hidungnya yang memanjang setiap ia berbohong. Meski ia berbohong, tapi tersisa rasa malu pada dirinya. Berbeda bila rasa malu telah sirna, maka kebohongan menjadi prilaku umum dan diang-gap biasa (bahkan sangat perlu). Fenomena ini justeru menempatkan pemilik kejujuran akan dianggap aneh, dimusuhi, dicela, dan dikucilkan.
Keenam, Pesan kejelasan reward dan funishment. Bila logika mantiq digunakan, maka muncul silogis kehidupan ala pinokio. Ketika boneka kayu memiliki kejujuran, maka ia diberi anugerah dan diangkat derajatnya sebagai manusia. Namun, bila manusia yang suka berbohong, maka ia akan diturunkan derajatnya menjadi boneka kayu. Andai logika ini digunakan dan terjadi ala fiksi pinokio, maka peradaban manusia akan berbeda dan lebih tinggi.
Meski cerita fiksi pinokio begitu jelas dan familiar, akan tetapi manusia acapkali memilih suka berbohong. Bukan sebatas keterpaksaan berbohong, tapi sengaja merekayasa skenario untuk berbohong, bahkan menjadikan berbohong sebagai profesi untuk mencari keuntungan dan “mata pencaharian”. Manusia yang berprofesi bohong dan menyebar kebohongan tanpa disadari telah membohongi dan menutupi kebenaran yang ada dihatinya. Untuk itu, Allah SWT telah mengingatkan manusia melalui firman-Nya : “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat” (QS. al-Baqarah : 7).
Firman Allah yang demikian jelas, hanya kaya pada tataran bacaan, namun miskin pada implementasi dalam kehidupan.
Fenomena ini telah diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda : ‘Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan, orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah ?” Beliau bersabda: “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan manusia” (HR. Ahmad).
Melalui hadis di atas, jelas terlihat akan hadir suatu masa yang penuh kebohongan dan tipuan menjadi tradisi. Zaman tersebut terjadi tatkala para pembohong (lidah bercabang dan penjilat) dan munafik lebih dipercaya atau memperoleh kepercayaan. Bahkan, pemilik tipikal ini acapkali menjadi rujukan dan dipedomani. Kondisi ini diperparah dengan hadirnya sosok yang disenangi, tapi tidak mumpuni untuk mengurusi persoalan yang tak dipahami. Bila hal ini yang terjadi, maka dapat dibayangkan akibat yang timbul. Mereka lupa semua yang dilakukan akan dipertanggungjawabkannya dipengadilan Allah SWT. Sementara pemilik kejujuran dan amanah acapkali tersingkir. Berbagai upaya fitnah dan peng-khianatan terstruktur dibangun. Semua untuk memuluskan kebohongan yang akan dilakukan
Apa yang diingatkan Rasulullah SAW di atas menegaskan beberapa prilaku manusia setiap masa, antara lain . (a) peringatan tentang bahaya dan dampak berbicara tanpa landasan ilmu (baca QS. al-Baqarah : 168-169 dan QS. al-Isra’ : 36). (b) perintah menanamkan sifat jujur dan peringatan keras bagi para pendusta (khianat dan munafik). Hal ini diperkuat melalui sabdanya : “Hendaknya kalian bersikap jujur, karena kejujuran menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menuntun ke surga. Bila seseorang terus bersikap jujur dan berjuang keras melak-sanakannya, ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (shiddiq). Jauhilah kedustaan, karena ia menyeret kepada keburukan, dan keburukan menjerumuskan ke neraka. Bila seseorang terus berdusta dan mempertahankannya, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Muslim).
Zaman yang dinyatakan Rasulullah SAW di atas terjadi setiap masa. Perbedaannya hanya terletak pada orang, waktu, media, dan bentuknya saja. Sementara substansi kebohong-an “ala pinokio” yang terjadi memiliki kesamaan pada lintas generasi dan waktu. Bahkan, acapkali kebohongan yang dilakukan dan disebarkan di akhir zaman semakin parah dan kejam, seiring dunia semakin tua dan mendekati kiamat. Seakan manusia meninggalkan sisi kemanusiaannya. Semua menerpa lintas status dan derajat. Akibatnya, hadir kemuliaan semu yang sulit dipedomani. Seakan tak lagi berpengaruh ajaran agama dan etika yang seyogyanya dijunjung tinggi. Semua bagaikan debu, seiring semakin kuatnya potensi memilih berprilaku “ala pinokio” yang mendominasi hampir seluruh dimensi kehidupan.
Sayangnya, dampak lahiriyah pinokio tatkala berbohong hanya hadir di dunia fiksi, bukan pada realita. Andai terjadi di dunia realita, maka kebohongan tidak dapat disembunyikan dan diminamisir. Bila tidak, kakrakter pinokio akan terus hadir dan terjadi sepanjang sejarah, bahkan menjadi trend untuk mencari keuntungan. Bahkan, meski demikian nyata kesalahan yang terjadi, kebohongan terus dilancarkan untuk menutupi kebohongan lain yang lebih besar. Akibatnya, bangunan kebiasaan berbohong bagai bola salju (snowball) yang terus menggelinding dan semakin membesar. Semua hanya bisa dirasakan dan dilihat sebagai bagian rutinitas tanpa bisa dikendalikan. Sifat pendusta yang awalnya merupakan perbuatan tak wajar menjadi tradisi yang dianggap wajar dan diperlukan. Justeru sebaliknya, bagi pemilik sifat jujur dan amanah justeru akan tersingkir. Ia akan dianggap sosok penghambat dan tak sesuai dengan tuntutan zaman yang menggila.
Paparan di atas mengisyaratkan bahwa ada beberapa penyebab yang melatarbelakangi “peradaban ala pinokio” yang terbiasa berbohong, antara lain : berbohong karena kondisi, berbohong untuk meraih dan memperkuat diri, atau berbohong sebagai hobi dan profesi.
Andai dampak lahiriyah pinokio terjadi, maka mungkin “penjual dan pembeli” berkarakter pinokio yang suka bohong dan menyebarkan hoax akan dapat diminimalisir. Sayangnya, semua hanya tinggal di dunia fiksi. Sementara dunia realita justeru menawarkan bijak berdusta dianggap biasa, penjilat dinilai terhormat, kolega diposisi singgasana, munafik bernasib baik, pengkhianat hidup tanpa cacat, dan si pongah (sombong) tampil gagah.
Sungguh, Allah SWT selalu menyampaikan pesan-Nya melalui ayat kauniyah untuk menyadarkan dan menegur hamba agar kembali pada ajaran-Nya. Tapi sayangnya, berbagai kejadian yang dialami dan jeritan kebenaran, acap-kali didustakan. Bila hal ini terjadi, tak ada peluang bagi pemilik kejujuran yang berkemampuan tampil pada peradaban ini. Untuk itu, jangan silau pada asssories, ia hanya menutupi karakter berkudis. Jangan terpesona tepukan gemuruh, sebab membuat akal dan hati menjadi lumpuh. Jangan percaya mulut manis (bohong), waspadai sembilu yang akan mengiris. Jangan merona setiap pujian yang menggema, ia akan punah bila kuasa telah tiada. Entahlah, semoga peradaban ala pinokio hanya ada di dunia fiksi semata, bukan di dunia realita.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 25 Desember 2023