Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Pasung atau pemasungan merupakan kata yang berkonotasi negatif. Secara bahasa, pasung merupakan alat berbentuk kayu apit atau kayu berlubang yang dipasang pada kaki, tangan, atau leher yang dijadikan untuk memasung seseorang. Sedangkan pemasungan adalah proses, cara, perbuatan memasung. Alasan pemasungan pada umumnya disebabkan berbagai alasan, antara lain orang yang dipasung mengalami gangguan jiwa yang berakibat terjadinya perilaku kekerasan, membahayakan diri atau masyarakat, membantu proses kesembuhan, atau lain sebagainya. Meski tindakan ini dinilai kurang manusiawi, tapi dibeberapa kasus tertentu cara ini masih dilakukan.
Terlepas dari pro kontra, pasung atau pemasungan perlu dilihat secara komprehensif dan bijaksana. Meski pasung digunakan sebagai pilihan terakhir dari rangkaian pilihan yang ada. Namun, tulisan ini mencoba melihat “pasung” pada aspek sosiologis-filosofis. Ada beberapa dimensi pasung atau pemasungan yang hadir kepermukaan, antara lain :
Pertama, Pemasungan dilakukan karena ideologi dan “prilaku liar” yang membahayakan orang banyak atau kedaulatan negara, maka perlu dilakukan pemasungan. Sikap ini suatu keniscayaan dan perlu dilakukan. Hal ini dibuktikan dalam sejarah atas sikap PKI yang berupaya merongrong NKRI. Untuk itu, seluruh elemen bangsa secara bersama bersepakat melakukan “pemasungan” atas PKI, baik ideologi maupun pergerakannya. Apapun alasannya, goresan sejarah hitam yang pernah terjadi tak bisa dihapus dengan dalih dan retorika apapun.
Sungguh, pemasungan atas semua ideologi atau pergerakan yang membahayakan negara (acapkali berdalih agama atau HAM) wajib dilakukan. Kata pemasungan dalam konteks ini berkonotasi positif. Sebab, akibat yang ditimbulkan oleh faham dan pergerakannya sangat membahayakan dan meresahkan, baik terhadap kedaulatan negara maupun stabilitas tatanan kemasyarakatan.
Berkaitan kewajiban membela negara dan menjaga ketertiban masyarakat luas, maka pemasungan semua ideologi atau pergerakan yang membahayakan wajib dilakukan untuk menjaga kedaulatan negara. Hal ini dinyatakan Syekh Ismail Haqqi al-Hanafi (w. 1127 H) dalam Tafsir Ruhul Bayan, bahwa : “Dalam tafsir ayat QS. al-Qashash : 85, terdapat suatu pentunjuk (isyarat) ‘cinta tanah air sebagian dari iman’. Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrah menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata tanah air, tanah air. Kemudian Allah mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Mekah). Hal ini disampaikan Umar bin Khattab RA, ‘Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang) ini. Maka sebab cinta tanah airlah dibangun negeri ini”.
Paparan di atas merujuk pada sabda Rasulullah bahwa : Ubadah berkata, “Aku mendengar nabi Muhammad SAW bersabda : ‘Suatu ketika Nabi SAW memanggil kami, lalu kami mengambil bai’at (janji setia) kepada beliau untuk menjalankan segala sesuatu yang diwajibkan. Kami berbai’at kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat, baik suka atau tidak suka, baik sulit ataupun mudah dan tidak men-cabut ketaatan dari orang yang wajib untuk ditaati, kecuali jika kalian melihat kekufuran nyata yang bisa kalian per-tanggungjawabkan buktinya dihadapan Allah” (HR. Bukhari).
Hadis di atas perlu dipahami secara bijak dan konstitusional. Mekanisme perlu ditaati sesuai aturan yang berlaku. Bila melanggar aturan dan mekanisme yang disepakati dalam bentuk perundang-undangan yang berlaku, maka akan menimbulkan anarkhis. Untuk itu, undang-undang harus mempertimbangkan aspek sejarah, bukan politis belaka.
Kedua, Pemasungan terhadap kaum cendekia yang idealis menyuarakan kebenaran. Meski nasehat yang disampaikan benar dan wajib, tapi Allah mengingatkan manusia agar diberikan dalam bingkai kesantunan, bukan kekerasaan. Nasehat yang diberikan harus bertujuan untuk mengingatkan perilaku yang “liar” dan senang melakukan kesalahan agar kembali pada jalan kebenaran. Tapi, acapkali nasehat kebenaran yang hadir dianggap membahayakan. Sebab, nasehat kebenaran tersebut dinilai membatasi “prilaku liar” bagi mereka yang senang melanggar norma. Untuk itu, kaum cendekia yang memberi nasehat kebenaran dianggap perlu di “pasung”. Sikap ini merupakan penggunaan kata pasung yang berkonotasi negatif dan cermin tradisi diktator ala kekaisaran Romawi kuno atau peradaban Barbar. Pemasungan lahir batin dilakukan agar posisi (kuasa dan variannya) bisa dipertahankan. Akibat kediktatoran yang memasung “kecerdasan” pada gilirannya akan melahirkan titik panas yang akan “melelehkan si kuku besi”. Sebab, komunitas ini akan membentuk bola salju dan “bom waktu” yang memunculkan keberanian kolektif. Masyarakat yang terpasung menunggu hadirnya “ratu adil” dan kaum cendekia yang istiqomah untuk melepaskannya dan membawa perubahan. Dalam sejarah, hal ini terlihat nyata pada perlawanan rakyat Indonesia terhadap semua kaum yang ingin menjajah NKRI.
Dalam konteks Islam, Allah nukilkan fenomena di atas seperti kisah Ashabul Kahfi atas kezhaliman raja Dikyanus, Nabi Ibrahim atas kezhaliman Namrudz, Nabi Musa atas kezhaliman Fir’aun, atau kisah-kisah semisal lainnya. Kisah tersebut menjelaskan bahwa hulunya berawal ketika nasehat (kritik) kebenaran, bukan kritik dekonstruktif yang lebih berdasarkan nafsu (balas dendam, segaja membuka aib sesama, sakit hati, atau sejenisnya) dipasung. Untuk itu, kritik konstruktif yang didasarkan atas kebenaran perintah Allah dan Rasul-Nya perlu diberikan ruang kemerdekaan yang bertanggungjawab. Namun, Allah ingatkan agar nasehat yang diberikan dengan cara yang santun dan berperadaban (ahsan). Langkah ini disampaikan Allah sebagaimana dilakukan oleh nabi Sulaiman terhadap Ratu Bilqis dari negeri Saba’ yang menyembah matahari. Nabi Sulaiman mengajaknya pada jalan kebenaran dengan pendekatan ilmu pengetahuan (kritik ilmiah). Melalui kuasa yang diberikan Allah, nabi Sulaiman memerintahkan jin untuk memindahkan istana Ratu Bilqis. Kekaguman Ratu Bilqis dijawab oleh nabi Sulaiman bahwa semuanya atas izin Allah. Demikian tawadhu’nya nabi Sulaiman. Meski kuasa diberikan, tapi malu pada Zat Yang Maha Kuasa. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri” (QS. an-Naml : 130-131).
Nabi Sulaiman mengingatkan Ratu Balqis dengan cara bijaksana agar Ratu Balqis segera berserah diri pada Allah dan tidak memperlihatkan kesombongan seperti penguasa lain. Pendekatan bijak nabi Sulaiman membuat Ratu Bilqis sadar atas kesalahan yang dilakukan selama ini. Demikian pula yang dilakukan Baginda Rasulullah SAW terhadap kaum kafir Quraisy. Pendekatan kesantunan dan ketauladanan lebih diutamakan. Bahkan pendekatan berperadaban ini dilakukannya di medan peperangan. Perbedaan bukan untuk dihadapi dengan kekerasan dan kebencian, saling menghujat, saling membuka aib, atau semisalnya. Perbedaan perlu disikapi dengan bijak bukan untuk dipijak, hadapi dengan santun bukan dilasung, dekati dengan hati bukan dengan kuasa diri, iringi dengan munajat bukan “disantet”, atau semisalnya. Pendekatan ini menandakan cara manusia beradab, kematangan dalam bertindak, dan kemerdekaan atas keterpasungan nafsu yang membelenggu.
Ketiga, Menutupi ketidakmampuan atau kejahilan kaum mayoritas terhadap “kecerdasan” kaum minoritas pembawa peradaban. Untuk itu, kecerdasan kaum cendekia (minoritas) perlu dipasung agar tak muncul kepermukaan. Hal ini terjadi dalam sejarah penguasa Nasrani yang menyeret Galileo Galilei dipengadilan gereja Katolik. Sebab, pada abad pertengahan meyakini bahwa bumi sebagai pusat tata surya (geo-sentris). Pendapat ini disampul dengan ajaran agama. Sedangkan Galileo Galilei berpendapat yang bertentangan dengan doktrin agama (heleo-sentris). Akibatnya, ia menghadapi dakwaan melakukan perbuatan bid’ah (salah) karena mendukung Copernicus yang menyatakan bahwa bumi yang mengitari matahari. Keteguhannya menyebabkan ia dihukum pancung. Kondisi pemasungan ini menimpa Galileo Galilei (filsuf, astronom, dan pakar matematika asal Italia) pada tanggal 13 Februari 1633 oleh penguasa zhalim yang jahil. Pemasungan terhadap kaum minoritas yang membawa kebenaran cahaya peradaban. Padahal, ketika masa kemajuan ilmu pengetahuan, apa yang dikatakan Galileo Galilei justeru terbukti kebenarannya. Bahkan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, akhirnya Gereja tidak dapat menyangkal kebenaran pendapat Galileo dalam sains. Pada 1758, gereja mencabut larangan sebagian besar karya yang mendukung teori Copernicus. Demikian sejarah peradaban terkebelakang pernah terjadi di muka bumi telah memasung intelektualitas. Semua dilakukan agar kejahilan penguasa tak terlihat.
Berangkat dari data historis di atas, terlihat nyata bahwa bila peradaban ingin maju, pemasungan intelektual harus dihindari. Justeru, ciri-ciri peradaban maju adalah memberikan ruang dan menjamin kemerdekaan intelektual menemukan dan mengatakan kebenaran (ilmu pengetahuan). Hanya saja, kemerdekaan yang dimiliki intelektual perlu dibangun secara beradab dan bertanggungjawab, bukan bebas tak batas. Sebab, bila kemerdekaan intelektual tanpa adab dan batas, justeru mencederai peradaban. Hal ini dinukilkan Allah dalam firmannya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”(QS. an-Nahl : 125).
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ajaklah manusia ke jalan Allah dengan kelembutan dan kebijaksanaan (hikmah). Bila berbeda pendapat, terangi dengan dalil dan argumen yang tepat. Jangan merasa paling benar dan mulia atas apa yang disampaikan. Tugas hamba hanyalah memberi peringatan dan menyampaikan risalah kebenaran. Sedangkan kebenaran hakiki adalah milik Allah semata.
Memang, berbuat benar sangat perlu, tapi merasa paling benar patut disingkirkan. Apatahlagi bila merasa paling benar menjadi alasan memasung kebenaran lainnya. Ada 3 (tiga) penyebab keterpasungan intelektualitas personal yang menghambat peradaban cerdas, yaitu :
Pertama, Keterpasungan iman atas nafsu. Akibatnya, menjadikan “kekuatan”, pangkat, kekayaan, status, gelar, dan semisal secara serakah dan sombong. Keterpasungan jenis ini diperparah tatkala komunitas sekitarnya berkualitas rendah. Akibatnya, diri merasa paling hebat dan merasa paling pantas. Apatahlagi bila hadir sosok “pencari muka” yang menabur “genderang pujian” membahana membuat kesombongan semakin tumbuh subur, seiring suburnya “benalu” sekitar pohon yang mengambil keuntungan. Karakter diri jenis ini acapkali tak mampu keluar dari keterpasungan yang telah “diciptakannya” sendiri.
Kedua, Keterpasungan oleh kebodohan diri (intelektual dan agams) yang berakibat ketergantungan dengan “teman seputar tali pinggang”. Type ini disadari diri hanya sebatas “boncengan” dan dimanfaatkan oleh mereka sekitar diri. Ia akan disanjung (di tengah kebodohannya) ketika memberi manfaat atau tepukan meriah karena “keanehannya” bukan karena kecerdasan. Tatkala tak lagi memiliki “kuku” dan memberi manfaat, maka ia akan disingkirkan dan dihujat. Sebab, komunitas yang berkarakter ini hanya melahirkan generasi “kacang yang lupa kulit”. Bahkan, ketika estafet telah diperoleh, generasi seperti ini akan berupaya mengubur semua prestasi dan peradaban yang pernah dibangun generasi yang dipuja sebelumnya.
Agar pemasungan atau merasa terpasung type ini bisa dilepaskan, diperlukan kecermatan memilih kualitas dan bijak memilih “teman”. Berinteraksi dan berkomunikasi dengan pemilik kebenaran yang dititipkan Allah secara luas merupakan langkah bijak untuk keluar dari ketergantungan dan keterpasungan “teman seputar tali pinggang” yang berkarakter bunglon. Sebab, semakin lama diri terpasung, semakin tinggi pula ketergantungannya pada si “pemasung”.
Ketiga, Keterpasungan oleh sistem yang anti kecerdasan dan peradaban. Ketika kecerdasan tak lagi dijadikan ukuran, ketika karya tak lagi dipedulikan, maka bersamaan hadir kebodohan yang dijadikan teman, pintar bersilat lidah dengan pujian mengangkasa jadi ketertarikan. Bila hal ini terjadi, maka peradaban akan terkebiri dan mati. Aturan dibuat untuk membuka peluang “transaksi” meraih asesoris tak bermutu, bukan kualitas diri yang sebenarnya.
Untuk keluar dari ketiga bentuk pemasungan di atas, perlu dilakukan perubahan mindset diri dengan menghidupkan critical thinking. Hadirkan diri pada komunitas hamba Allah yang mencerdaskan (diri dan umat) dan “memerdekakan”. Interaksi ini akan menyadarkan demikian kerdil dan dhaifnya diri. Sikap ini akan mendorong terbangunnya sikap selalu ingin belajar dan memperbaiki diri. Bangunkan diri bak tanaman rerumputan tumbuh di antara pepohonan tinggi nan rimbun. Selalu belajar menjadi orang hebat tanpa pernah menyatakan diri hebat.
Hilangkan rasa diri paling hebat. Jangan menjadi pohon tinggi menjulang. Angkuh karena tingginya, lupa pada tumbuhan di bawah yang ikut memberi asupan dan melindungi akar agar pohon tetap tegak. Ketika tak ada lagi rumput yang menahan akar, pohon akan tumbang dan mati. Demikian manusia yang terbelenggu oleh kesombongan diri selalu merasa paling sempurna. Ingatlah komunitas “akar tunjang” (generasi sebelumnya) sebagai peletak dasar kekuatan. Jangan lupakan “akar rumput” (masyarakat kecil) di bawah yang telah membuat pohon (diri) tegak menjulang.
Ketiga jenis pemasungan di atas bila berdiri secara parsial masih mudah dilepaskan. Tapi, tatkala ketiganya kokoh dan mengkristal pada sosok diri, maka kehancuran dan kenestapaan yang akan muncul dan dilahirkan. Meski penyebab utama terjadi pemasungan adalah jenis pertama. Keterpasungan oleh kesombongan dan kebodohan diri yang disebabkan oleh nafsu keserakahan. Jenis ini akan semakin menggiring manusia lupa diri. Apatahlagi tatkala “hadir dan diperkuat” oleh dua jenis lainnya. Bila ketiganya berkelindan dalam satu-kesatuan yang penuh kepentingan nafsu duniawi, maka manusia akan semakin sulit melepaskan diri dari “pasung” yang menyebabkan terpasungnya sisi kemanusiaan diri yang hakiki. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 16 Januari 2023