Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Tak terasa, setahun sudah Kolom Betuah hadir menyajikan dimensi filosofis, sosiologis, fenomenologis atas alam ciptaan Allah (ayat kauniyah) dan makna kehidupan. Semua tak terlepas atas ilham-Nya untuk menuliskan ayat-ayat-Nya yang tak terbatas. Semua yang ada dan ditulis hanya milik-Nya semata. Tak ada yang dimiliki hamba. Hanya sebatas singgah selama Yang Maha Memiliki berkenan memberikan-nya. Demikian dhaifnya hamba atas semua yang ada.
Terkadang bahasa yang tak tersusun, kata yang tak tepat, makna yang keliru, merupakan bentuk kedhaifan penulis yang tak mampu menangkap pesan yang diilhamkan-Nya. Hanya munajat dipinta memohon pengampunan atas kedhaifan diri hamba. Tak ada maksud mengkritisi fenomena, apatahlagi menyalahkan sesama. Semua narasi ditujukan hanya untuk memperbaiki diri penulis. Bila ada keterkaitan dengan sesama, semua hanya kebetulan belaka, tanpa kesengajaan. Sebab, tak ada hak penulis untuk menilai, apatahlagi menghakimi sesamanya. Disadari bahwa yang dinilai buruk dalam pandangan manusia, mungkin mulia dihadapan Sang Pencipta. Atau sebaliknya, dinilai mulia di-hadapan manusia, namun hina dihadapan Allah. Hanya Allah yang berhak menilai prilaku dan menempatkan hamba atas apa yang dilakukan dengan putusan-Nya Yang Maha Adil.
Setahun sudah sajian disuguhkan. Semakin malu hamba pada Sang Pencipta, semakin takjub atas semua ayat-ayat-Nya, semakin yakin atas kebenaran firman-Nya. Tak pernah kering ide tatkala Allah berkenan mengilhamkan, semakin terang tanda keagungan-Nya. Sungguh benar firman-Nya : “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Maha Bijaksana” (QS. Lukman : 27).
Demikian terang dan nyata keluasan ilmu Allah yang tanpa bertepi. Hal ini diibaratkan, andai seluruh pohon-pohon yang di muka bumi dijadikan pena untuk mencatat ilmu Allah, seluruh air laut dijadikan tintanya, kemudian ditambah dengan tujuh kali, maka ilmu dan nikmat Allah belum habis tertulis. Dalam ayat lain, Allah berfirman :“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (QS. al-Kahf : 109).
Ibnu Katsir menukil perkataan ar-Rabi’ ibnu Anas yang berkata bahwa : “Ayat tersebut menggambarkan perumpamaan ilmu seluruh manusia jika dibandingkan dengan ilmu Allah bagaikan setetes air di tengah seluruh samudera”. Sedemikian luas tanpa batas ilmu Allah dan demikian kerdil dan malu hamba yang menganggap diri berilmu. Allah akan mengilhamkan pada hamba yang diinginkan-Nya. Semua sebagai bukti keagungan qudrat dan iradat-Nya. Apa pun kebenaran yang ditulis melalui kolom Betuah adalah milik-Nya semata. Sementara kesalahan yang ada merupakan kedhaifan penulis sebagai hamba yang tak mampu menangkap pesan-Nya yang agung. Semua ilmu adalah ilmu-Nya, semua gerak adalah gerak-Nya, semua puji hanya milik-Nya, semua pinta adalah perintah-Nya. Penulis hanya hamba yang la haula wa laa quwwata illa billah semata. Semua menyadarkan diri hamba atas kelemahan yang ada. Sebab, apa yang peroleh semata-mata hanya karena kehendak dan pertolongan-Nya semata. Tak sedebu rasa bangga hamba tersisa dan tak sedebu pinta pujian sesama. Mungkin tulisan yang hadir tak banyak penduduk bumi yang menyambut baik, hanya harap pada Allah agar penduduk langit selalu menantikannya. Hamba hanya mengharap ridha-Nya yang demikian luas. Mengingatkan atas firman-Nya : “Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan ”Masya Allah, la quwwata illa billah” (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah, sekalipun engkau anggap harta dan keturunanku lebih sedikit daripadamu” (QS. al-Kahfi : 39).
Melihat demikian luas makna ayat-ayat-Nya yang tak bertepi, mengingatkan penulis sebagai hamba pada kedhaifan diri. Ternyata, ada beberapa tahapan manusia yang berilmu, yaitu :
Pertama, Tahap seorang penuntut ilmu (belajar) dan baru berilmu merasa dirinya paling tau. Ia tidak menyadari keadaan dirinya dan mengira telah mencapai kedudukan yang tinggi dan mulia. Bahkan tak jarang melecehkan (tanpa adab) ulama yang lebih alim darinya. Padahal dirinya justeru masih jahil dan banyak kekurangan. Para ahli ilmu dapat mengetahui jejak orang-orang semacam ini seperti dikatakan Khathib al-Baghdadi : “Orang alim dapat mengenali orang jahil karena dia dulunya juga jahil. Sedangkan orang jahil tidak mengetahui orang alim karena dia belum pernah jadi orang alim”. Demikianlah tahapan awal seorang yang masih pada tingkatan penuntut ilmu. Bak pepatah Melayu mengingatkan “bagai si kudung mendapatkab cincin”. Kemana cincin akan dipasang. Semua karena keangkuhan yang menutupi mata, derajat yang merubah niat, kuasa membuat alpa, dan rasa yang tanpa periksa.
Kedua, Tahap tawadhu’. Pada tahap ini, seorang ulama mulai merasakan bahwa ilmunya tidak seberapa (tak lebih sedebu) dan begitu banyak rahasia ilmu yang belum diketahuinya. Ia sadar akan kekurangan diri dan menuntunnya untuk terus belajar dan menimba ilmu tiada henti. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. al-Isra’ : 85). Demikian Allah mengingatkan manusia sebagai hamba yang dhaif.
Ketiga, Tahap merasa tidak memiliki ilmu. Sebab, hadir rasa bahwa ilmu yang dimiliki hanya setetes dan hanya titipan-Nya. Malu menyatakan diri karena luasnya ilmu bagaikan samudera tak bertepi. Bahkan bila seorang hamba menghabiskan seluruh hidupnya untuk menuntut ilmu, maka yang didapatkan hanya tak seberapa di tengah lautan ilmu tak terhingga luasnya. Seorang penyair menukilkan bait kata : “Tak ada seorangpun yang dapat menguasai semua ilmu yang ada. Tak akan bisa, meskipun ia mempelajarinya selama seribu tahun lamanya”. Bahkan mungkin sepanjang masa selama alam terbentang.
Agar tahap ketiga mampu diperoleh, maka perlu melatih diri melalui 3 (tiga) langkah seorang hamba, yaitu : (1) perbaiki niat menuntut ilmu, maka Allah akan perbaiki diri hamba melalui ilmu yang dititipkan-Nya. (2) sebarkan kabajikan pada sesama, maka Allah akan memberi kebahagiaan dan kebaikan yang tak pernah disangka. (3) senantisa memberi suluh kejalan Allah, maka Allah akan membalas hadirkan cahaya menuju cinta-Nya.
Sungguh sulit menjadi suluh. Angin terkadang berhembus kencang dan sepoi-sepoi, atau basah kuyup oleh hujan. Tapi bangunan peradaban harus terus dilakukan. Bila hembusan angin atau air membuat semangat terhenti, peradaban tak akan pernah mampu dibangun. Bila hal ini terjadi, maka persoalan umat tak pernah terselesaikan. Akibatnya, muncul saling menyalahkan dan menghujat. Semua terjadi karena sering bertindak tanpa difikirkan atau terlalu banyak berfikir tapi tak pernah bertindak. Sungguh, “kebenaran hanya disambut bahagia oleh pemilik kebenaran. Kesalahan hanya disenangi oleh pelaku kesalahan. Sulit kebenaran memperoleh sambutan pelaku kesalahan. Namun, mustahil kesalahan bisa diterima oleh pemilik kebenaran”. Demikian logika akal tentang kebenaran dan kesalahan.
Ketika berbicara hakikat ilmuan, Imam al-Ghazali membagi-nya menjadi empat golongan, yaitu:
Pertama, Seseorang yang tahu –berilmu– dan dia tahu kalau dirinya tahu, namun ia tak pernah bangga dan memamerkan atas ilmu yang dimiliki. Tanpa bermaksud menghujat yang lain, manusia jenis ini merupakan golongan manusia yang paling baik. Sebab, orang yang tahu bahwa dirinya mengetahui merupa-kan perilaku orang pintar, memiliki kemapanan ilmu dengan menjaga sifat tawadhu’ sebagai benteng diri. Ia mengetahui bahwa ilmu yang didapat harus benar-benar dimanfaatkan untuk diri dan umat. Terhadap golongan ini, umat harus mengikuti, menghormati, dan meneladaninya dalam kehidupan sosial, politik, agama dan lainnya. Sayangnya, manusia golongan ini tak bisa diajak “bermain mata”. Konsistensi sifat Istiqomah yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran, menghantarkannya sulit diterima bagi mereka yang penuh kepentingan. Akibatnya, golongan ini hanya berada di luar gelanggang. Meski peradaban yang dilahirkan acapkali tak memperoleh respon dan penghargaan.
Kedua, Seseorang yang tahu –berilmu–, tapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu. Golongan ini sebenarnya memiliki potensi berilmu menuju kemapanan ilmu, akan tetapi tidak menyadari atau mengoptimalkan apa yang dimiliki untuk kepentingan diri dan umat. Akibatnya, ekesistensinya dianalogikan pepatah “bak macan ompong yang tidur”. Ilmunya hanya menerangi diri, namun tak mampu menerangi seisi alam dan peradaban.
Ketiga, Seseorang yang tidak tahu dan mengetahui bahwa ia tidak tahu. Golongan ini merupakan hamba yang sedang mencari ilmu. Ia sadar akan ketaktahuannya dan berupaya untuk mencari ilmu agar ia tau. Untuk memperoleh ilmu yang diharapkan, diperlukan kerja keras tanpa kenal putus asa. Semua rintangan dilalui dengan penuh kesabaran. Adab ta’lim wa muta’allim senantisa dijaga untuk keberkahan ilmu yang diperoleh. Menurut Imam Ghazali, golongan ini masih tergolong baik. Sebab, ia menyadari atas kekurangannya yang belum memiliki kapasitas ilmu yang memadai dan senantiasa berusaha maksimal untuk belajar dan mengejar kekurangannya.
Namun, era modern ditemukan adanya golongan ini dan berupaya belajar untuk mencari ilmu. Namun, segelintirnya hanya berorientasi memperoleh status, bukan ilmu. Akibatnya, tetap menjadi “orang yang tidak tahu dan mengetahui bahwa memang ia tetap tidak tahu”. Tapi golongan ini berupaya menampilkan seakan ia lebih tahu dengan mengandalkan antribut-atribut yang dimiliki. Sayangnya, tipikal ini justeru acapkali “menguasai dan menjadi nakhoda” untuk peradaban. Akibatnya, perahu peradaban terombang-ambing tak pernah sampai ketujuan.
Keempat, Seseorang yang tidak tahu dan tidak mengetahui bahwa ia tidak tahu. Namun, ia berupaya menutupi dengan “atribut dan kursi” yang dimiliki. Golongan ini adalah tipikal manusia paling buruk (merugi). Celakanya manusia model ini susah diingatkan. Sebab, ia selalu merasa paling tahu, merasa paling berilmu, merasa paling berhak menjawab semua persoalan, paling kompeten, dan sikap kehebatan lainnya. Padahal, ia tidak mengetahui apa-apa atas apa yang dikatakannya, apalagi mengamalkan apa yang dikatakan. Akibatnya, manusia tipikal ini terjerumus pada kesombongan dengan mengedepan asesoris untuk memperoleh pengakuan umat atas dirinya. Namun, apa yang dimunculkan tak memiliki landasan keilmuan yang jelas dan tak beradab.
Syekh Abdul Qodir al-Jaelani mengatakan, bahwa agamamu akan hilang maknanya (terhapus) disebabkan oleh 4 (empat) perkara dan tegak kokoh karena 1 (satu) perkara, yaitu : (1) manusia yang tidak mengamalkan apa yang telah diketahui. (2) manusia yang mengamalkan apa yang tidak diketahui. (3) manusia yang tidak mau berusaha mengetahui apa yang tidak diketahui, sehingga tetap bodoh. (4) manusia yang melarang (menghambat) manusia lain untuk berusaha mengetahui apa yang mereka tidak diketahui. (5) manusia yang senantiasa mengamalkan apa yang telah diketahui, senantiasa menuntut ilmu untuk lebih mengerti, dan menyebarkan ilmu kepada mereka yang senantiasa ingin mengetahui dan mengenali-Nya. Type ke-5 harapan dipinta, semoga Allah berkenan menganugerahkan-Nya.
Adapun pilihan terbit setiap hari senin, mengharap syafaat pada Rasulullah. Sebab, pada hari senin mengingatkan bahwa baginda Rasulullah lahir dan diwafatkan. Kerinduan pada Rasulullah melampaui rindu pada hamba dan seluruh isi alam semesta. Harap pinta memperoleh tempat sebagai sosok yang disabdakan Rasulullah : “Aku rindu ingin sekali berjumpa dengan saudara-saudaraku, para shahabat nabi radliyallahu ‘anhum berkata: “Bukankah kami saudara-saudaramu? Beliau menjawab: “Kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang beriman kepadaku walaupun mereka belum pernah berjumpa denganku” (HR. Imam Ahmad).
Sedangkan pilihan kata “Betuah” diambil dari bahasa Melayu yang bermakna mendatangkan kebermanfaatan (keberuntungan). Kata adalah doa. Harapan dan munajat melalui kolom Betuah agar semua yang disajikan membawa kebermanfaatan dan keberkahan bagi penulis, serta semua yang membacanya.
Sungguh pesan ahli hikmah menjadi acuan dalam hidup : “Jadilah rumput di bawah pohon yang rindang. Meski ia tak terlihat, tapi hadir memberi asupan pupuk bagi pohon yang rindang menjulang. Jangan jadi ilalang tinggi menjulang, sombong pada ketinggiannya. Meski terlihat dari kejauhan, tapi tak pernah memberi manfaat apa-apa”.
Beraneka ragam penilaian diberi. Penilaian positif munajat dipinta, semoga bermanfaat dan menjadi amal bagi semua. Meski masih tersisa sedebu hamba yang tak peduli, memandang sebelah mata apa yang disaji, antipati dan menilai hidangan terasa pahit (dinilai kritik) yang perlu dibuang, atau sinis pada sosok yang menulis karena tak pandai memuji dan perlu dibuli. Tak ada hak penulis mengkritik sesama hamba. Hanya Allah yang berhak menilai hamba. Semua yang ditulis berupa firman-Nya yang terbentang. Respon yang ada jadi cemeti tuk tetap istiqomah memperbaiki diri. Segala puji hanya milik-Nya. Sebab, kepantasan dipuji hanya Ilahi Rabbi. Meski penduduk bumi masih tersisa tak banyak yang peduli atas hidangan makna ayat-ayat kauniyah ciptaan Ilahi, tapi hadir keyakinan bahwa penduduk langit akan senantiasa menantikan hidangan yang disuguhkan untuk mengharap berkah Rasulullah dan mengangungkan kuasa Allah. Munajat hamba selalu berharap agar Allah berkenan untuk senantiasa memberikan ilham-Nya pada hamba yang rindu pada kasih sayang-Nya. Sembari pinta istiqomah tak mengharap puji makhluk yang membuat diri alpa atas kebesaran-Nya. Sebab, seluruh puji hanya milik-Nya semata. Penulis hanya hamba yang memiliki segudang kekhilafan kelemahan. Hanya jari disusun sembari maaf yang diharapkan. Semoga Kolom Betuah senantiasa bermanfaat bagi penulis dan seluruh isi alam semesta.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 30 Januari 2023