Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Ketika kata “kursi” dimunculkan, secepat kilat muncul dalam fikiran pada makna kursi sebagai tempat duduk yang berkaki dan memiliki sandaran, serta kursi yang dianalogikan (majazi) pada kekuasaan (singgasana). Seakan, kedua makna tersebut melekat sederhana dan mudah dipahami. Padahal, bila ditelusuri secara filosofis, kedua arti tersebut belum menjelaskan varian makna kursi secara komprehensif dan terlupakan. Apatahlagi bila dikaitkan dengan realitas kehidupan.
Kursi pada makna majazi sebagai kekuasaan, dinyatakan Allah melalui firman-Nya pada ayat Kursi : “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya (kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar” (QS. al-Baqarah : 255).
Merujuk ayat di atas, kursi berarti kekuasaan Allah atas seluruh ciptaan-Nya. Namun, dalam konteks makhluk arti kekuasaan bukan hanya pada aspek kekuasaan politik, tapi juga pada aspek ekonomi, sosial, bahkan ilmu pengetahuan, dan varian lainnya. Bila aspek politik, ekonomi dan sosial acapkali dibicarakan, namun aspek ilmu pengetahuan jarang dikaji. Bila aspek politik, ekonomi, dan sosial menuai persoalan ketika hadir monopoli kekuasaann, maka aspek ilmu pengetahuan menuai persoalan ketika pemilik ilmu pengetahuan yang semula menjaga moralitas berubah menjadi lembaga profit oriented. Hal ini seiring kekuatan kuasa pada aspek politik, ekonomi, dan sosial membuat dunia pendidikan tergerus pada “kepentingan kursi-kursi”, baik internal maupun eksternal. Akibatnya, dunia pendidikan menjadi kehilangan otoritas keilmuan yang ideal, bergeser sebatas otoritas legalitas formal dengan ijazah dan gelar yang dikeluarkan, serta akreditasi yang disandang.
Menurut Imam al-Ghazali (Ihya’ ‘Ulumuddin, 1 : 80), per-geseran nilai di atas menghadirkan dua jenis ilmuan, yaitu :
Pertama, “ilmuan formalistik”. Kuasa keilmuan yang dimiliki sebatas label (gelar) untuk menyatakan diri “pakar” pada bidang tertentu. Apalagi tampilan lahiriyah yang meyakinkan. Hal ini diperkuat oleh balutan retorika yang memukau, posisi karir menjulang, dan dominasi pengaruh politis yang luas. Tapi, ilmuan tipe ini miskin realitas karya nyata dan rendah adab keilmuannya. Mengatakan diri pakar merupakan tanda tiada beradab, sebab ilmu hamba sebatas “fakir”. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit” (QS. al-Isra’ : 85).
Ayat di atas secara tegas mengingatkan manusia. Pada yang berilmu saja dilarang sombong dan merasa paling berilmu, apatahlagi atas kesombongan yang digunakan oleh mereka yang berilmu formalistik yang memanfaatkan label dan asesories untuk menutupi kebodohannya.
Gelar berjejer oleh kekuatan “duitokrasi, otokrasi, politokrasi, dan krasi-krasi lainnya” begitu gampang diperoleh. Seakan demikian mudah dan murahnya gelar dimiliki. Hilang marwah lembaga pendidikan, runtuh motivasi menuntut ilmu. Tak perlu berproses mendapatkan gelar dan ijazah, sebab semua mudah diperoleh bila ada “krasi-krasi dan kursi”. Akibatnya, gelar tak selamanya (bahkan tak menjadi) cerminan utama keilmuan seseorang. Demikian gelar diberikan dan mudah diperoleh, selama ada “krasi” dan kepentingan “kursi” yang diharapkan.
Kedua, “ilmuan substantif”. Kemampuan keilmuannya tak diragukan, adab dan obyektivitas keilmuannya senantiasa terjaga, pemikirannya cemerlang dalam bingkai kesantunan, dan karyanya demikian luas terbentang. Namun, posisinya acapkali berada pada komunitas minoritas dan terpinggirkan. Hal ini disebabkan kokohnya idealisme yang dimiliki menjadi alasan eksistensinya kurang “populer” dan diperhatikan, serta tak diperlukan. Eksistensinya tersingkirkan oleh komunitas “ilmuan formalistik” yang lebih dominan kepermukaan.
Secara teori, kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan sesuai dengan batas kewenangan yang diberikan. Kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh. Untuk itu, Imam Ghazali mengingatkan, “kekuasaan adalah menguasai hati rakyat sehingga mereka dapat menaati dan menghormati semua peraturan yang telah ditetapkan”. Bila kekuasaan ditujukan untuk meraih popularitas dan melakukan kesewenangan, maka hal tersebut merupakan perbuatan tercela yang akan menimbulkan sifat tamak, sombong dan menggiring pada kesyirikan. Padahal, semua atas kehendak-Nya pada hamba. Dalam Islam, posisi tertinggi bukan ilmu apatahlagi hanya simbol gelar. Kualitas tertinggi terletak pada adab (varian kata dan perbuatan) yang mulia dan peradaban mencerdas-kan yang dihasilkan.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah bagian dari perintah syariat yang sangat penting dan menjadi potensi (media) ladang amal kebaikan menuju surga-Nya. Tapi sebaliknya, jika kekuasaan disalahgunakan dengan melanggar ajaran agama, maka akan mendapat murka Allah dan siksa neraka (dunia dan akhirat).
Merujuk pada pengertian “kursi” di atas, maka perlu dikembangkan varian ideal yang berkaitan dengan kursi yang selalu terlupakan. Ternyata, ada aspek “kursi” lainnya yang terlepas dari perhatian, antara lain :
Pertama, Kursi tegak perlu penyangga berupa 4 kaki kursi. Keempatnya harus kokoh dan harmonis. Bila salah satu atau semuanya lapuk, maka kursi akan roboh. Bila tak harmonis, kursi akan hilang keseimbangan. Keempatnya perlu harmonis pada ukuran dan kekuatan.
Simbol kekuatan keempat kaki kursi bagi yang “menduduki kursi” bagai sosok sahabat Rasulullah. Adalah sosok Sayyidina Abu Bakar Siddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Usman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Keempat sahabat Rasulullah tersebut mewakili kokohnya kursi dan menunjang terlaksananya amanah yang diemban. Keempat kekuatan bila ingin kekuasaan berjalan baik. Hadirnya sosok Abu Bakar Siddiq yang bijak dan jujur, sosok Umar bin Khattab yang tegas menegakkan kebenaran (hukum), sosok Usman bin Affan yang menjaga stabilitas ekonomi, dan sosok Ali bin Abi Thalib yang luas ilmunya.
Jangan pilih empat penyangga tipikal Abu Lahab (arogan tanpa ilmu), Fir’aun (rakus kekuasaan), Abu Jahal (mengingkari kebenaran), Qorun (rakus materi). Bila empat kaki kursi bersifat tipikal tersebut, maka akan berpengaruh atas sosok yang akan duduk pada kursi. Pengaruh tersebut antara lain : (1) menambah kokohnya oligarkhi dan kesewenangan bagi yang mendudukinya. Keempat penyangga akan merapat “manis” selama memberi manfaat sesuai karakter kepentingan keempat (atau lebih) “kaki kursi”. (2) bila yang menduduki kursi jatuh, keempat kaki kursi penyangga akan keluar dari ikatan kursi dan menyelamatkan diri masing-masing seiring runtuhnya kedudukan kursi. Kaki kursi tak pernah ikut bersama, meski kejatuhan kursi umumnya disebabkan oleh “kaki-kaki kursi”.
Kedua, Setiap kursi akan lebih nyaman jika dilengkapi dengan sandaran di belakangnya. Salah satu fungsi sandaran pada kursi selain memperindah bentuk adalah menjaga agar yang duduk di situ tidak jatuh jika ada gangguan dari depan.
Bagian sandaran dapat menopang tulang punggung dan membantu postur tubuh tetap tegak selama bekerja dalam waktu yang cukup lama. Kursi yang memiliki sandaran akan membuat “sosok yang menduduki” akan fokus pada ketuntasan kerja (amanah). Bila kursi tanpa sandaran, membuat pinggang dan punggung kelelahan. Akibatnya, “sosok yang menduduki” akan kehilangan fokus. Untuk itu, eksistensi sandaran sangat diperlukan agar mampu menopang pinggang dan punggung sanggup memikul amanah. Sandaran kursi amanah yang dimaksud adalah sosok yang senantiasa menjaga “pemilik kursi” dengan ajaran agama. Bila penjaga agama telah disingkirkan bagai kursi tanpa sandaran yang menyebabkan sosok yang duduk akan mudah jatuh terlentang. Hati-hati sandaran kursi yang dijaga sosok penjilat penjaga kepentingan. Ia hanya terlihat menjadi sandaran, tapi terbuat “kayu lapuk” yang sebatas asesories indah tapi tak memiliki kekuatan apa-apa untuk membantu menahan punggung duduk di kursi.
Ketiga, Sesuaikan kursi dengan “kualitas dan bobot” yang akan menduduki. Setiap manusia memiliki kursinya dan tak semua kursi cocok diduduki setiap manusia. Muhasabah diri sebelum menduduki sebuah kursi merupakan sikap bijaksana. Jangan duduk pada kursi yang bukan sepantas-nya untuk diduduki. Sama halnya dengan memilih baju yang seharusnya sesuai dengan ukuran yang memakai. Bila kekecilan akan merana badan. Tapi bila kebesaran akan terlihat aneh ketika dipandang.
Bila beban yang menduduki setara atau di bawah kekuatan kursi, maka kursi akan tetap utuh. Tapi, bila beban yang menduduki melebihi (akibat serakah) kekuatan kursi, maka kursi akan patah. Apatahlagi bila kursi terus digoyang, maka segera lakukan introspeksi diri. Bila kemashlahatan lebih dominan dan kegagalan diri memelihara amanat kursi, maka sebaiknya jangan lagi diduduki. Serahkan pada yang lebih berhak dan pantas untuk mendudukinya. Tapi, bila selama kursi diduduki semakin baik dan banyak memberi manfaat peradaban, maka dudukilah sesuai batas yang telah ditentukan. Untuk itu, berkaitan kursi, setidaknya ada 3 (tiga) kekuatan yang harus dimiliki setiap diri, yaitu :
(1) kuat untuk memperoleh kursi. Kuat dalam konteks ini berupa kekuatan “rayuan-rayuan” yang menawarkan cara untuk memperoleh kursi. Bila kuat dengan kejujuran sebagai pondasi, maka kejujuran pula yang akan dikembangkan. Bila dominasi “permainan” meluluhlantakkan kejujuran, maka ketidakjujuran pula yang akan dikembangkan. Hal yang sama terjadi pada bibit pohon yang manis, maka akan berbuah yang manis. Tapi, bila bibit yang ditanam berasal dari biji yang pahit, maka akan berbuah kepahitan pula ;
(2) kuat ketika menduduki kursi. Kuat dalam konteks ini berupa kekuatan atas rayuan “peluang pundi dan janji” atas kekuasaan yang dimiliki. Tatkala kuat hal ini bisa dijaga, maka selamatlah diri. Namun, ketika peluang tersebut (bertentangan dengan agama dan norma aturan yang berlaku) sebagai pilihan utama, maka binasalah diri ;
(3) kuat melepas kursi untuk tetap berdiri dan berjalan meski tanpa kursi. Semua ada waktunya. Hidup mengajarkan semuanya. Bahkan, jasad yang dijaga pada waktunya akan berpisah.
Tatkala ketiga aspek kesabaran di atas mampu dimiliki. Kuat dalam konteks ini berupa kekuatan melepas kekuasaan yang selama ini diperoleh. Sebab, ia sadar bahwa semua hanya sebatas titipan Allah yang pada waktunya akan berakhir. Semua dijalani secara ikhlas dan penuh kesyukuran. Bila ketiga aspek tersebut dimiliki oleh setiap manusia, maka selamatlah diri dalam keshalehan. Namanya akan ditulis dengan tinta emas dalam goresan lembar peradaban. Tapi, bila tidak sabar untuk memperoleh dan melaksanan “kursi”, maka nestapalah diri dalam kesalahan. Namanya akan ditulis dengan tinta merah yang dicerca sepanjang sejarah. Ingatlah pesan Rasulullah :“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Meski kursi memiliki daya tarik memikat, namun ternyata tak selamanya kursi didambakan manusia. Ada kursi yang dihindari oleh manusia, yaitu “kursi pesakitan” yang diperuntukkan bagi pelaku kejahatan mempertanggung-jawabkan perbuatannya di depan hukum (pengadilan). Ada pula hukum menempatkannya di kursi beraliran listrik tempat menghukum mati para pelaku kejahatan. Dua kursi ini selalu dihindari dan tak pernah ada manusia menginginkannya. Untuk itu, bijaklah menggunakan “kursi” agar tak roboh atau mencelakakan diri dan orang lain.
Sungguh nyata ayat Allah, baik tertulis dan terbentang telah menyuguhkan semuanya. Namun, anehnya manusia acapkali mendustakan semua ayat-ayat-Nya dengan membuat “ayat” sendiri sesuai keinginannya. Apakah ini yang dimaksudkan Allah melalui firman-Nya pada QS. al-Baqarah : 8 ?. Tak ada hak hamba untuk menilai dan menghakimi sesama. Tak ada hak menyatakan diri paling mulia dan benar. Hanya setiap diri yang masih tersisa keimanan yang mampu menjawab-nya. Biar Allah yang memutuskan semua “kursi” yang diamanahkan. Ketika masih percaya pada Allah dan Rasulullah, masihkah memilih “kursi” dengan jalan kesesatan yang dimurkai-Nya ?. Pilihan tentu sesuai kualitas diri setiap insan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 23 Januari 2023